Opini

Pentingnya Penguatan Kapasitas HAM bagi Pengusaha Aceh

Di sinilah tantangan besar bagi pelaku usaha muncul. Mereka dihadapkan pada kebutuhan

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

ACEH dikenal sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki keistimewaan menerapkan Syariat Islam. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA), penerapan syariat mencakup ibadah, hukum keluarga, muamalah (ekonomi), hingga hukum pidana. Namun, keistimewaan ini tidak berarti Aceh dapat berjalan sendiri tanpa merujuk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin konstitusi Indonesia dan instrumen internasional seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Di sinilah tantangan besar bagi pelaku usaha muncul. Mereka dihadapkan pada kebutuhan menjalankan bisnis sesuai syariat sekaligus menghormati hak-hak dasar pekerja, konsumen, dan masyarakat luas. Tanpa pemahaman yang memadai, kebijakan internal perusahaan bisa menimbulkan praktik diskriminatif yang justru mencederai nilai-nilai Islam itu sendiri.

Syariat dan HAM: Dua Prinsip yang Saling Menguatkan

Sering muncul anggapan bahwa Syariat Islam dan HAM berada di dua kutub berbeda. Padahal, jika ditelaahdengan seksama keduanya memiliki banyak titik temu. Prinsip keadilan (‘adl), kemaslahatan (maslahah), kejujuran (amanah), dan tanggung jawab sosial dalam ekonomi Islam sejatinya selaras dengan nilai HAM seperti non-diskriminasi, kesetaraan gender, dan hak atas pekerjaan yang layak.

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 3 Tahun 2020 menegaskan bahwa penerapan syariat dalam aktivitas muamalah wajib memperhatikan hak-hak dasar manusia, termasuk hak pekerja, konsumen, dan perempuan. Ulama dayah Aceh juga sepakat bahwa tidak ada ajaran Islam yang membenarkan eksploitasi pekerja atau diskriminasi terhadap non-Muslim dalam bisnis.

Contoh nyata datang dari Bank Syariah Aceh yang memberikan cuti melahirkan enam bulan bagi karyawannya lebih panjang dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan menyediakan ruang laktasi. Kebijakan ini tidak hanya sesuai dengan semangat syariat yang melindungi ibu dan anak, tetapi juga menjunjung hak reproduksi perempuan.

Fakta di Lapangan: Pemahaman HAM Masih Lemah

Meski titik temu syariat dan HAM jelas, data menunjukkan bahwa pemahaman pelaku usaha masih terbatas. Survei Komnas HAM (2022) menemukan 43 persen pelaku UMKM di Aceh tidak memahami hubungan antara syariat dan HAM. Di sektor ritel dan jasa, 37 persen pekerja perempuan mengaku mengalami diskriminasi jam kerja atas nama “penyesuaian syariat”. Laporan Ombudsman Aceh tahun 2023 mencatat 12 kasus pelanggaran HAM di sektor pariwisata dan perhotelan, termasuk pemotongan gaji tanpa alasan dan larangan berjilbab bagi non-Muslim ironisnya, ini justru melanggar kebebasan beragama yang dijamin konstitusi.

Data Dinas Tenaga Kerja Aceh pada 2023 memperkuat temuan ini: dari 89.000 laporan sengketa ketenagakerjaan, 28 persen terkait diskriminasi gender dan 15 persen menyangkut kebebasan beragama di tempat kerja. Di sisi lain, studi Bank Indonesia (2023) menunjukkan 76 persen pelaku usaha syariah di Aceh mengaku ingin memahami lebih dalam prinsip HAM agar bisnis mereka diterima di tingkat nasional dan global.

Angka-angka ini menjadi alarm penting: ketidaktahuan atau kekeliruan memahami batas syariat dan HAM bukan hanya berisiko hukum, tetapi juga merugikan reputasi bisnis Aceh di mata investor.

Mengapa Penguatan Kapasitas HAM Mendesak

Pertama, penguatan kapasitas HAM akan meningkatkan daya saing bisnis Aceh. Dunia usaha kini menempatkan kepatuhan HAM sebagai salah satu indikator investasi. Perusahaan yang terbukti diskriminatif akan dijauhi pasar global, termasuk pasar halal internasional yang justru menjadi peluang emas bagi Aceh.

Kedua, pemahaman HAM mencegah konflik internal perusahaan. Perlakuan yang adil terhadap pekerja dan konsumen akan menciptakan iklim kerja harmonis, meningkatkan produktivitas, dan menurunkan risiko sengketa.

Ketiga, integrasi HAM dan syariat akan memperkuat citra Aceh sebagai daerah yang mampu menjadi model bisnis Islami yang inklusif. Aceh tidak hanya dikenal karena kekhasan syariatnya, tetapi juga sebagai pelopor praktik bisnis yang adil secara kemanusiaan.

Strategi Penguatan: Sinergi Pemerintah, Ulama, dan Dunia Usaha

Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan langkah nyata yang melibatkan banyak pihak. Pertama, edukasi dan sosialisasi melalui pelatihan integratif Syariah-HAM perlu diperluas. Modul pelatihan yang menggabungkan nilai-nilai syariat dengan standar HAM nasional dan internasional harus melibatkan MPU, Komnas HAM, KADIN, dan akademisi.

Kedua, pemerintah Aceh perlu mendorong program sertifikasi “Bisnis Ramah HAM dan Syariah” dengan insentif pajak atau kemudahan perizinan bagi perusahaan yang lulus sertifikasi. Sertifikat ini bukan sekadar formalitas, melainkan jaminan bahwa bisnis tersebut mempraktikkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan transparansi.

Ketiga, revisi regulasi daerah juga penting. Qanun syariat terkait muamalah dapat dilengkapi pasal-pasal yang menjamin hak pekerja, perempuan, dan minoritas. Kota Banda Aceh sudah memulai langkah ini dengan Perwali No. 23/2021 tentang Perlindungan Pekerja Perempuan yang mengintegrasikan nilai syariah dan HAM.

Selain pemerintah, lembaga seperti MPU, Komnas HAM, Ombudsman, dan asosiasi pengusaha (KADIN, HIPMI) harus menjadi motor pemantauan, advokasi, dan kampanye publik. Media lokal dan influencer Aceh juga dapat menggerakkan opini masyarakat melalui kampanye “Bisnis Syariah dan HAM”.

Belajar dari Praktik Baik

Sejumlah pelaku usaha di Aceh sudah membuktikan bahwa bisnis syariah dan HAM bisa berjalan beriringan. Koperasi BMT Baiturrahman di Banda Aceh, misalnya, memberikan pinjaman tanpa bunga kepada UMKM perempuan sekaligus menyelenggarakan pelatihan literasi keuangan dan HAM bagi anggotanya. Hasilnya, 98 persen anggota perempuan merasa haknya dihargai dan omzet koperasi naik 40 persen dalam dua tahun.

Contoh lain datang dari Hotel Sabang Heritage yang memberi kebebasan beribadah bagi karyawan Muslim dan non-Muslim, serta menyediakan ruang ibadah multireligi. Kebijakan ini membuat hotel mendapat penghargaan “Hotel Ramah HAM dan Syariah” dari Pemerintah Aceh pada 2023 dan meningkatkan rating tamu internasional hingga 4,8 dari 5.

Saatnya Aceh Menjadi Teladan

Penerapan syariat di Aceh seharusnya menjadi penguat, bukan penghalang, dalam membangun sistem bisnis yang adil, beretika, dan berkelanjutan. Nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dan kasih sayang sejalan dengan semangat HAM yang mengedepankan martabat manusia.

Penguatan kapasitas HAM bagi pengusaha Aceh bukan hanya kebutuhan moral, tetapi juga strategi ekonomi. Di tengah kompetisi global, hanya pelaku usaha yang mampu menunjukkan kepatuhan pada standar HAM dan syariat yang akan bertahan.

Aceh memiliki semua modal: landasan hukum, dukungan ulama, serta kekayaan budaya dan religiusitas. Yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan kolektif untuk menjadikan bisnis syariah Aceh sebagai contoh dunia bahwa Islam dan HAM dapat berjalan beriringan, menciptakan kemaslahatan, dan menghadirkan keadilan universal di bumi Serambi Makkah.

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved