Opini
Kebijakan Pembangunan Aceh dan Realita Implementasi Lapangan
Syariat harus lebih ditunjukkan dalam pembangunan sistem pendidikan yang unggul dan
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
SETIAP kali wacana pembangunan nasional digaungkan dari Jakarta, Aceh berdiri dengan kekhasannya yang paling mencolok: otonomi khusus yang di dalamnya bersemayam kewenangan untuk menerapkan syariat Islam.
Sejak disahkannya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan diperkuat dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, provinsi ini telah menempuh jalan pembangunannya sendiri, dengan syariat Islam sebagai pedoman hidup.
Namun, perjalanan dari teks peraturan yang sarat nilai ilahiah menuju realita pembangunan di lapangan menyisakan sebuah pertanyaan besar: sejauh mana kebijakan pembangunan yang berlandaskan syariat ini benar-benar terimplementasi dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat?
Dualisme Kebijakan: Antara Pembangunan Fisik dan Penegakan Identitas
Dalam teorinya, kebijakan pembangunan di Aceh tidak boleh lepas dari nilai-nilai syariat Islam. Ini adalah "jiwa" yang seharusnya menjiwai setiap program, dari pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga pengentasan kemiskinan.
Qanun-qanun (peraturan daerah) yang diterbitkan kerap kali memiliki dua tujuan sekaligus: mencapai target pembangunan fisik sekaligus memperkuat identitas keislaman.
Namun, dalam praktiknya, terjadi ketegangan dan kerap kali pemisahan antara kedua hal ini. Kebijakan pembangunan fisik seperti pembangunan jalan, jembatan, dan puskesmas seringkali berjalan dalam logika teknis-administratif yang serupa dengan daerah lain.
Sementara itu, aspek "syariat" lebih banyak diwujudkan dalam kebijakan yang bersifat regulatif dan simbolis, seperti penerapan jam malam bagi wanita non-mahram, kewajiban berbusana muslim, dan operasirazia maksiat.
Ketika Teks Suci Bertemu Realita Sosial-Ekonomi
Implementasi kebijakan pembangunan berbasis syariat di Aceh menghadapi tantangan yang kompleks, yang menyebabkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Pertama kompleksitas birokrasi dan "Salah Urus" prioritas. Rantai birokrasi di Aceh tidak kalah berlikunya. Sebuah kebijakan dari Banda Aceh harus menempuh perjalanan panjang ke kabupaten/kota, lalu ke kecamatan, dan akhirnya ke gampong (desa).
Pada setiap tahap ini, terjadi proses interpretasi. Sumber daya dan perhatian politik seringkali lebih terkonsentrasi pada aspek-aspek syariat yang terlihat (visible), seperti operasi penertiban, karena hasilnya cepat dilihat dan politically rewarding.
Sementara itu, implementasi nilai-nilai syariat dalam pembangunan yang subtantif seperti memerangi korupsi (sebagai bentuk melawan ghulul), menjamin transparansi (amanah), dan memastikan keadilan distributive seringkali terabaikan.
Kapasitas SDM aparatur yang terbatas dan beban administrasi yang tinggi memperparah kondisi ini, membuat mereka fokus pada "mengejar laporan" daripada menyelami esensi kebijakan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.