Opini
Jabatan Bukan Mahkota Untuk Dibanggakan
Pandangan umum masyarakat, bahkan di kalangan terpelajar, sering menyamakan begitu saja perolehan suatu jabatan dengan sebuah prestasi
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
BERBAGAI jabatan yang disandang, atau jabatan struktural apapun yang diemban dalam dunia akademik maupun birokrasi, kerap dianggap sebagai puncak prestasi. Upacara pelantikan, ucapan selamat, dan sorotan kamera seolah mengukuhkan narasi kesuksesan. Namun, ada kegelisahan filosofis dan spiritual yang mendalam di balik euforia ini. Apakah benar amanah itu adalah prestasi? Atau justru kita sedang terjebak dalam sebuah kesalahan persepsi yang berbahaya, kesalahan yang bukan hanya merusak esensi kepemimpinan tetapi juga mendatangkan murka Ilahi?
Pandangan umum masyarakat, bahkan di kalangan terpelajar, sering menyamakan begitu saja perolehan suatu jabatan dengan sebuah prestasi. Padahal, dalam perspektif yang lebih jernih dan mendalam, terdapat dua kesalahan mutlak dalam anggapan yang melekat pada persepsi Masyarakat pada umumnya.
Kesalahan Pertama: Menyamakan Amanah dengan Prestasi
Secara hakiki, mendapatkan Amanah apapun bentuknya, dari ketua RT hingga presiden, dari koordinator mata kuliah hingga rektor, bukanlah suatu prestasi itu sendiri. Ia adalah starting point, garis start dari sebuah ujian panjang. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Mulk ayat 2: “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.”
Ayat ini dengan tegas menempatkan seluruh kehidupan, termasuk setiap amanah yang diberikan, sebagai medan ujian. Tujuannya adalah untuk melihat siapa yang ahsan ‘amala yang paling baik amalannya. Seorang professor yang diamanahkan untuk meneliti dan mendidik, atau seorang dekan yang diberi tanggung jawab memimpin fakultas, sedang diuji oleh Allah: mampukah ia menjalankan tugasnya dengan integritas, keikhlasan, dan keadilan?
Prestasi sesungguhnya baru teraih ketika ujian itu berhasil dilalui dengan baik. Prestasi itu adalah ketika amanah itu ditunaikan dengan penuh tanggung jawab, ketika kekuasaan yang melekat pada jabatan digunakan untuk menebar kemaslahatan, bukan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Kalimat “akan dimintai pertanggungjawaban” ini menjadi kunci. Jabatan professor, misalnya, bukanlah gelar final untuk disombongkan, melainkan beban tanggung jawab untuk memastikan ilmu yang dimiliki bermanfaat bagi peradaban, untuk mendidik generasi dengan keteladanan, dan untuk menjaga marwah dunia akademik dari praktik-praktik non-ilmiah seperti plagiarisme atau jual beli gelar. Data Kementerian Pendidikan pada 2022 mencatat setidaknya 150 kasus pelanggaran etik dosen yang diproses, mulai dari pemalsuan data penelitian hingga penyalahgunaan wewenang. Ini adalah bukti nyata bahwa amanah ilmu pengetahuan sering kali gagal dijalankan, sehingga gelar yang disandang justru menjadi bumerang di hari pertanggungjawaban.
Kesalahan Kedua: Membanggakan Amanah sebagai Sebuah Prestasi
Kesalahan kedua, yang merupakan konsekuensi dari yang pertama, adalah menjadikan amanah sebagai bahan kebanggaan dan kesombongan. Sikap ini adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Allah SWT secara gamblang mencela orang-orang yang membanggakan diri dalam Surah Luqman ayat 18: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Membanggakan jabatan, gelar, atau amanah adalah bentuk dari ukhruf (sombong) dan fakhur (membanggakan diri). Gelar professor, misalnya, bisa menjadi “jubah kesombongan” yang justru menjauhkan seseorang dari esensi ilmu itu sendiri yaitu kerendahan hati. Seorang yang sombong dengan gelarnya akan sulit menerima kritik, enggan belajar lagi, dan memandang rendah orang lain. Padahal, dalam dunia akademik yang sehat, skeptisisme dan kritik adalah napas dari kemajuan ilmu pengetahuan.
Fakta di lapangan menunjukkan bagaimana “kebanggaan atas jabatan” ini bisa menjadi pintu masuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga 2023 mencatat bahwa sektor pendidikan, termasuk perguruan tinggi, bukanlah area yang steril dari praktik korupsi. Banyak kasus yang berawal dari mindset keliru bahwa jabatan adalah “hadiah” atau “hasil keringat” yang sah untuk dimanfaatkan secara pribadi. Ini memperkuat thesis bahwa ketika amanah disalahartikan sebagai prestasi yang pantas dibanggakan, maka hilanglah rasa takut untuk menyalahgunakannya.
Lalu, Apa Solusinya? Merombak Paradigma
Lantas, bagaimana seharusnya kita memandang amanah? Paradigma yang sehat adalah dengan melihatnya sebagai tugas suci (sacred trust) dan ibadah. Setiap jabatan adalah medan untuk mengabdi, beramal shaleh, dan membuktikan kualitas diri di hadapan Allah.
Pertama, kita perlu mengingat kembali pesan agung dalam Surah Al-Anfal ayat 27: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Kedua, budaya meritokrasi harus dibangun dengan benar. Meritokrasi bukan sekadar tentang siapa yang paling pintar atau berprestasi secara kognitif, tetapi lebih tentang siapa yang paling amanah dan memiliki track record integritas yang kuat. Proses promosi jabatan akademik harus mampu menyaring bukan hanya kapasitas intelektual, tetapi juga kualitas moral dan spiritual calon pemegang amanah.
Ketiga, sebagai individu, kita harus terus-menerus melakukan muhasabah. Setiap gelar, setiap jabatan, harus diiringi dengan pertanyaan reflektif: “Sudah sejauh mana aku menunaikan amanah ini dengan adil? Sudahkah aku rendah hati di hadapan ilmu Allah yang maha luas?”.
Kesimpulan
Menyamakan amanah dengan prestasi adalah sebuah kesalahan logika dan spiritual yang berbahaya. Amanah adalah ujian untuk “naik kelas” dalam kehidupan, sementara prestasi adalah hasil dari lulusnya ujian tersebut yang ditandai dengan penunaian kewajiban secara adil dan ikhlas. Membanggakannya adalah bentuk kesombongan yang dibenci Allah.
Bireuen 26 Tahun: Menakar Capaian, Menyusun Harapan |
![]() |
---|
Kebijakan Pembangunan Aceh dan Realita Implementasi Lapangan |
![]() |
---|
Meneguhkan Keadilan Ekologis dan Kesadaran Pelestarian Alam |
![]() |
---|
Aceh Bangkit: Menyiapkan Putra Daerah Jadi Pemimpin di Sektor Migas dan Pertambangan |
![]() |
---|
Membangun Kemitraan Strategis Produk Halal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.