Jurnalisme Warga
Saat Guru dan Siswa Belajar Tulis Opini dan Feature
Fakta kasatmata, hampir setiap hari di warung kopi dan tempat-tempat umum lainnya, kaum intelek Generasi Z Aceh merasa lebih nyaman
HERMANSYSAH, S.Pd., Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Jeunieb, melaporkan dari Jeunieb, Bireuen
Aula Seulanga Meeting Room pada hari Sabtu, 21 September 2025, tampak berbeda dari biasanya. Ruangan yang sering digunakan sebagai tempat pertemuan, kini dijejali wajah-wajah penuh semangat dari guru dan siswa SMKN 1 Jeunieb.
Kursi-kursi ditata rapi, panggung kecil dihiasi spanduk besar bertuliskan “Peningkatan Kompetensi Literasi Guru dan Siswa SMKN 1 Jeunieb”.
Para siswa dari berbagai jurusan, mulai dari Teknik Kapal Penangkap Ikan (TKPI), Agribisnis, Perhotelan, Desain Produksi Busana, hingga Teknik Mesin, berdatangan dengan penuh antusias. Tidak ketinggalan para guru yang hadir dengan wajah berseri, siap menerima ilmu baru untuk kemudian dibagikan kembali kepada peserta didik mereka.
Fakta kasatmata, hampir setiap hari di warung kopi dan tempat-tempat umum lainnya, kaum intelek Generasi Z Aceh merasa lebih nyaman belajar mengandalkan mesin pencari daripada belajar dari buku yang lengkap atau membaca media cetak.
Hal ini menyiratkan bahwa tantangan yang dihadapi Aceh mempersiapkan generasi mudanya dalam menghadapi persaingan global tidaknya mudah. Atas dasar inilah Kepala SMKN 1 Jeunieb menggagas "Workshop Peningkatan Kompetensi Literasi Guru dan Siswa SMKN 1 Jeunieb” dengan harapan peserta makin gandrung berliterasi, khususnya menulis di media massa.
Workshop ini resmi dibuka dengan sambutan hangat dari Kepala SMKN 1 Jeunieb, Bapak Feri Irawan SSi, MPd. Dalam pidatonya, beliau menekankan betapa pentingnya literasi dalam era globalisasi saat ini.
Menurutnya, literasi bukan lagi sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan sudah mencakup kemampuan berpikir kritis, menafsirkan informasi, dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat.
"Literasi itu tanpa batas generasi," ujarnya lantang.
"Artinya, kemampuan literasi harus terus dikembangkan, baik oleh guru maupun siswa, tanpa mengenal ruang dan waktu. Di era digital, literasi bukan hanya urusan sekolah, melainkan juga bekal untuk menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Jika kita ingin generasi Aceh, khususnya Jeunieb, mampu bersaing di kancah nasional, bahkan internasional, maka peningkatan kompetensi literasi haruslah menjadi prioritas."
Kata-kata itu sontak mendapat tepuk tangan meriah dari hadirin. Para siswa tampak terinspirasi, sedangkan para guru mengangguk mantap, menyadari tanggung jawab besar yang mereka emban.
Acara semakin menarik ketika menghadirkan narasumber yang tak asing lagi di kalangan pendidikan Aceh, yaitu Bapak Yarmen Dinamika. Sosok yang dikenal aktif di dunia jurnalistik (Redaktur Serambi Indonesia dan Pembina Forum Aceh Menulis/FAMe) ini tampil bersahaja, tapi berwibawa.
Beliau menyajikan materi gabungan tentang artikel opini dan bedanya dengan jurnalisme warga, penulisan feature, serta kemahiran berbahasa Indonesia sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Dalam penyampaiannya, Yarmen menjelaskan jenis-jenis opini. Mulai dari opini pribadi, opini publik, hingga pendapat ahli, ‘second opinion’, maupun ‘dissenting opinion’ lengkap dengan contoh-contohnya yang aktual.
Ia ingatkan bahwa artikel opini tidak termasuk sebagai karya jurnalistik, keccuali opini media (editorial atau tajuk rencana) yang memang ditulis awak media untuk menegaskan pendirian, sikap, atau pandangan lembaganya terhadap sebuah isu, ide, atau peristiwa yang aktual.
Ia juga menjelaskan bagaimana opini sering kali bercampur dengan fakta di media sosial, bahkan di media cetak ataupun online. Maka, di situlah pentingnya masyarakat, khususnya guru dan siswa, memiliki kecakapan literasi yang kuat. Paling tidak, tahu membedakan mana kalimat fakta, mana pula kalimat opini.
"Opini adalah pendapat atau pandangan pribadi, sedangkan jurnalisme warga adalah laporan dari warga masyarakat tentang sebuah peristiwa atau objek tertentu. Tentang apa yang dilihat, didengar, dialami, atau yang dilakukan. Keduanya harus dipahami agar kita tidak terjebak mencampuradukkan jurnalisme warga yang pada prinsipnya adalah laporan pandangan mata atas fakta dengan artikel opini yang sifatnya subjektif," papar Yarmen.
Feature pun, lanjut Yarmen, meski ditulis dengan gaya sastrawi, berbunga-bunga atau bersayap-sayap, ia tetap merupakan reportase tentang fakta atau kejadian unik. Khususnya kejadian yang mengandung ‘human interest story’ (HIS), karena itu pula feature disebut sebagai karangan khas. “Dan feature itu bukanlah cerita fiksi, melainkan murni karya jurnalistik yang bersandar pada fakta. Cuma, peristiwanya unik dan menarik, bahkan terkadang mengandung misteri,” ujar Yarmen.
Selain itu, beliau juga mengingatkan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap karya tulis, tak terkcuali karya jurnalistik.
Menurutnya, bahasa adalah jendela pikiran. Jika bahasa digunakan dengan tepat, maka gagasan yang disampaikan akan lebih jelas dan bernilai. Sebaliknya, kesalahan dalam ejaan, diksi, atau penalaran bisa menimbulkan makna yang berbeda, bahkan salah kaprah.
Dengan gaya penyampaian yang interaktif, Yarmen mengajak siswa untuk memperbaiki kalimat yang salah tulis, lalu membandingkannya dengan bentuk yang benar. Para siswa tampak bersemangat menjawab, bahkan beberapa guru ikut serta, sehingga suasana aula menjadi hidup dan penuh gelak tawa.
Kehadiran narasumber dan kepala sekolah memberi motivasi kuat menjadikan acara ini begitu bermakna. Guru dan siswa duduk berbaur tanpa sekat, menandakan bahwa literasi adalah tanggung jawab bersama. Dari wajah-wajah yang hadir terlihat jelas semangat untuk terus belajar dan mengembangkan diri.
Salah seorang guru, Ibu Dahliani MM, ketika diminta menyampaikan kesan dan pesan, mengaku sangat terkesan dengan kegiatan ini.
"Acara seperti ini sangat penting, bukan hanya untuk menambah wawasan guru, tetapi juga untuk membangun budaya literasi di kalangan siswa. Saya melihat anak-anak kita begitu antusias. Ini tanda bahwa literasi sudah mulai tumbuh sebagai budaya. Harapan saya, kegiatan ini tidak berhenti sampai di sini, melainkan berlanjut dalam bentuk nyata di kelas maupun kegiatan ekstrakurikuler," ujarnya penuh semangat.
Dari keseluruhan rangkaian acara, ada satu benang merah yang bisa ditarik: literasi adalah jalan menuju peradaban maju. Bagi guru, literasi memperkaya cara mengajar, memperluas wawasan, serta membantu mereka menyampaikan materi pelajaran dengan lebih menarik. Bagi siswa, literasi menjadi bekal untuk berpikir kritis, menulis kreatif, dan berani menyampaikan pendapat.
Kegiatan ini bukan sekadar acara seremonial, melainkan juga menjadi titik awal bagi SMKN 1 Jeunieb untuk meneguhkan komitmennya sebagai sekolah berbasis literasi. Kepala sekolah menegaskan bahwa ke depan, program-program literasi akan terus digalakkan, baik dalam bentuk 'reading corner', diskusi rutin, maupun lomba penulisan karya tulis ilmiah dan opini.
Penutup
Menjelang penutupan acara, suasana di Seulanga Meeting Room masih terasa hangat. Para peserta enggan beranjak, seakan masih haus akan ilmu dan inspirasi. Kepala sekolah kembali menyampaikan pesan singkat yang penuh makna, "Jangan pernah berhenti belajar karena literasi adalah jembatan menuju masa depan. Baik guru maupun siswa punya tanggung jawab untuk terus membaca, menulis, berpikir kritis, dan menyebarkan pengetahuan. Hanya dengan cara itu, kita bisa membangun generasi Jeunieb yang cerdas, berkarakter, dan siap bersaing di masa depan."
Peningkatan kompetensi literasi di SMKN 1 Jeunieb ini telah menegaskan satu hal penting: bahwa literasi adalah hak sekaligus kewajiban setiap insan. Dengan semangat literasi tanpa batas generasi, maka cita-cita mencetak generasi emas Indonesia akan semakin dekat dengan kenyataan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.