Jurnalisme Warga

11 Tahun ISBI Aceh, Mau Dibawa ke Mana Lagi?

Sebelas tahun sudah ISBI Aceh tegak berdiri di Kota Jantho, ibu kota Kabupaten Aceh Besar, lalu mau dibawa ke mana (quo vadis) ISBI Aceh esok?

Editor: mufti
IST
ICHSAN, M.Sn., Dosen Institut Seni Budaya Indoensaia (ISBI) Aceh, melaporkan dari Kota Jantho, Aceh Besar 

Sebelas tahun sudah ISBI Aceh berkarya, kini Indonesia pun tengah bermimpi menuju Indonesia Emas 2045. Bonus demografi disebut menjadi kunci. Jika ISBI Aceh ingin bermimpi juga menjadi ISBI Aceh Emas 2045 pada usia ISBI Aceh 31 tahun. Tentu dibutuhkan beberapa langkah konkret dalam 20 tahun ke depan.

Pertama, kejernihan arah akademik. ISBI tidak boleh puas menjadi kampus festival. Ia harus menjadi pusat riset seni, laboratorium kebudayaan, dan produsen gagasan global tentang estetika.

Kedua, kualitas sumber daya manusia. Dosen tidak boleh sekadar pelaksana tridarma perguruan tinggi. Mereka harus menjadi homo universalis, seniman yang juga ilmuwan, ilmuwan yang juga seniman. Mahasiswa harus ditempa bukan hanya untuk piawai menari atau melukis, tapi juga menulis, meneliti, dan menafsirkan kebudayaan.

Ketiga, kepemimpinan visius. Rektor masa depan harus mampu menciptakan ekosistem seni, ruang di mana mahasiswa, dosen, dan masyarakat merasa terhubung dalam satu lingkar peradaban.

Jika tiga hal ini terpenuhi, bukan mustahil ISBI Aceh suatu hari dapat melampaui PTN besar lainnya. Namun, berapa lama? Setidaknya butuh 15 s.d. 20 tahun konsistensi, bukan sekadar proyek lima tahunan.

Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah sikap pemerintah. Mari jujur, ISBI Aceh kerap merasa berjalan sendiri. Pemerintah pusat tampak sibuk dengan jargon, sedangkan pemerintah daerah masih gagap melihat seni sebagai investasi. Padahal, seni bukan sekadar hiburan. Ia adalah fondasi identitas bangsa.

Clifford Geertz, antropolog asal San Fransisco, pernah menulis bahwa kebudayaan adalah jaring makna yang manusia tenun sendiri, dan kita berada di dalamnya. Jika jaring itu robek, masyarakat pun akan kehilangan arah. Maka, pemerintah yang acuh pada ISBI Aceh sejatinya sedang merobek jaring makna peradaban Aceh dan sedang menggali kubur kebudayaan sendiri.

Sebelas tahun adalah usia remaja bagi ISBI Aceh. Remaja yang masih mencari jati diri, masih labil, masih rawan terpengaruh. Lalu, ho keu ISBI ukue? Mau dibawa ke mana ISBI kita? Apakah akan menjadi kampus besar yang melahirkan maestro dunia atau sekadar institusi yang hidup dengan seremoni tahunan? Apakah ia akan menjadi pusat pemikiran budaya atau hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah pendidikan Aceh?

Jawabannya bergantung pada kita semua, dosen, mahasiswa, pemimpin kampus, pemerintah, dan masyarakat. ISBI Aceh tidak boleh berjalan dengan setengah hati. Ia membutuhkan visi yang lebih besar daripada sekadar gedung baru atau sarana tambahan. Ia membutuhkan keberanian untuk bermimpi dan ketekunan untuk mewujudkan mimpi itu.

ISBI Aceh sudah sebelas tahun. Mari kita menoleh ke belakang, menghitung prestasi dan kekurangan. Dan kini waktunya menatap ke depan, menyiapkan masa depan. Jika benar ingin ISBI lebih hebat daripada hari ini, maka mimpi harus dihidupkan, bukan hanya diucapkan. Jika pertanyaan mau dibawa ke mana ISBI Aceh belum memiliki jawaban pada dies natalis tahun ini, maka ulang tahun ke-11 ini bukan perayaan, melainkan peringatan.

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved