Menginterupsi Negara
AWAL tahun 1999, tepatnya di Anjong Mon Mata Banda Aceh. Syarwan Hamid, Menteri Dalam Negeri ketika itu, tercekat tenggerokannya
AWAL tahun 1999, tepatnya di Anjong Mon Mata Banda Aceh. Syarwan Hamid, Menteri Dalam Negeri ketika itu, tercekat tenggerokannya karena pidatonya diinterupsi oleh Aguswandi. Alasan Agus menginterupsi Syarwan, karena dia mengganggap pidato yang telah disampaikan tidak memiliki relevansi dan jauh dari subtansi dengan persoalan yang sedang dihadapi Aceh saat itu. Interupsi Agus itu memang berhasil, acara yang semula berbicara tentang hal-hal yang bersifat normal saja, berubah kemudian untuk mendiskusikan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh selama DOM di Aceh. Saat itu Aguswandi masih belia sekali, semasa menjadi aktivis SMUR.
Setelah Aguswandi, maka tanggal 26 Maret 1999, giliran Fuadri, kala itu sebagai Ketua Senat Mahasiswa Unsyiah, yang kini menjadi Wakil Bupati Aceh Barat, berbicara lantang di depan Presiden Habibie tentang kemestian referendum untuk Aceh, sebagai upaya penyelesaian masalah konflik. Tidak seperti Aguswandi, Fuadri ketemu batunya karena yang dihadapinya adalah Habibie. Bukannya mendiskusikan tuntutan itu, malah Habibie menasihati Fuadri agar lebih respek kepada orang tua.
Ketika Megawati, sebagai Presiden Republik Indonesia, berpidato di hadapan rakyat Aceh, beberapa aktivis mahasiswa dari IAIN Ar-Raniry melakukan interupsi. Tidak jelas apa yang diteriakkan oleh mahasiswa-mahasiswa tersebut. Yang pasti terdengar, malah mereka dihardik oleh Mega ‘Saya di sini tamu!’ Mungkin saat itu Mega beranggapan bahwa dia hadir bukan sebagai pemimpin rakyat, sehingga cepat naik darah ketika diperlakukan demikian.
Interupsi pertama saya anggap sukses. Selain Syarwan harus mengubah haluan pidatonya, media massa-pun memuatnya secara penuh. Wajar, saat itu mahasiswa Aceh masih bisa bersuara lantang, bahkan ada cerita yang berkembang, tentara tidak berani masuk ke lokasi pengungsian bila melihat ada jas almamater mahasiswa yang digantung di sana. Interupsi kedua saya anggap kurang beruntung, walau apa yang disampaikan Fuadri sangat bagus, namun Habibie lebih lihai dalam menanggapinya. Tidak lama kemudian, Fuadri yang dipenuhi rasa bersalah, dan dalam wawancaranya dengan tabloid Kontras, dia meminta maaf atas ucapanya mengenai orang tua yang tidak lama lagi akan ‘selesai’.
Interupsi terakhir saya anggap sial. Pertama, media tidak memuat apa yang diinterupsikannya, padahal situasinya sungguh heroik; menginterupsi Presiden ketika berpidato. Kedua, malah yang ditangkap oleh publik bukan subtansi interupsinya, malahan hardikan Megawati terhadap aktivis mahasiwa itu.
Interupsi memang memiliki makna secara bebas sebagai cara menghentikan, menyela, atau memotong pembicaraan yang bisa dianggap tidak sesuai alur atau pun perlu ada penajaman yang lebih secara subtansial. Bila kita menarik lebih jauh lagi, interupsi bisa dimaknai meluruskan sebuah situasi yang dianggap tidak baik dan bisa menjadi sedemikian buruk. Dan seringakali interupsi berfungsi untuk melawan lupa dan memilihara ingatan. Bila demikian, maka interupsi ini harus diletakkan dalam posisi yang teramat penting.
Di dalam negara yang sudah sakit parah sedemikian rupa ini, maka interupsi perlu dilakukan secara mendesak. Interupsi dalam pemaknaan agar negara harus dikelola sedemikian rupa untuk kemashalatan masyarakat secara luas. Berbagai persoalan yang timbul di negara ini, seperti pemimpin yang lemah, pelanggaran HAM, korupsi yang semakin menggurita kemiskinan yang menjadi-jadi, serta kebebasan sipil yang makin hari makin tergerus oleh sekterianisme adalah hal membutuhkan interupsi tanpa henti.
Interupsi atas persoalan persoalan di atas sekiranya, ini minimal sekali, bahwa negara diingatkan tentang ke mana arah yang harus dilakukan oleh negara ini. Interupsi harus dilakukan secara subtansial dan tidak malah menyentuh hal-hal yang remeh temeh. Interupsi tanpa henti ini akan semakin membuat negara tidak sesuka hatinya untuk bertindak, sebab ada yang melihat dan memberikan pengawasan serta pengawalan yang sangat kritis.
Di akhir tulisan ini, kita tentu berharap bahwa interupsi interupsi yang kita lakukan tidak bernasib kurang beruntung seperti Fuadri atau sial seperti beberapa aktivis mahasiswa IAIN itu. Kita berharap, interupsi kita sesukses Aguswandi. Di mana interupsi mampu membawa alur dari yang simbolik kepada yang subtansial. Dengan demikian maka negara akan terus berada di jalan yang lurus, keberadaan jalan yang seharusnya ada ketika negara ini disepakati untuk dibentuk.
* Penulis adalah pegiat di Kelompok Studi Darussalam.