Jurnalisme Warga
Ketika Karya Besar Aceh Jadi Warisan Dunia
Terlepas dari dinamika yang menyertai perjalanannya, daerah di ujung Pulau Sumatra ini telah menjadi salah satu daerah yang sudah melegenda
MELINDA RAHMAWATI, M.Pd., alumnus Pendidikan IPS, Pascasarjana-Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta
MENULIS tentang Aceh bagi saya tidak akan pernah ada habisnya. Dari pelbagai perspektif, akan sangat banyak tulisan yang dihasilkan untuk menjelaskan tentang “Tanoh Aulia” tersebut. Terlepas dari dinamika yang menyertai perjalanannya, daerah di ujung Pulau Sumatra ini telah menjadi salah satu daerah yang sudah melegenda dari masa ke masa. Saya akan coba untuk menuliskan pandangan lain saat karya besar yang dimiliki oleh Aceh telah diakui sebagai warisan dunia (memory of the world).
Pada tahun 2023 lalu, Provinsi Aceh dan Indonesia mendapatkan kabar baik bahwa Hikayat Aceh telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia melalui program “Memory of The World”. Naskah tersebut merupakan sebuah kumpulan tulisan yang merekam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh pada masa Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Kumpulan tulisan tersebut yang hari ini menyampaikan kembali pada kita generasi penerus tentang kondisi sosial, ekonomi, politik, hingga perkembangan Islam di wilayah yang kini dikenal sebagai “Serambi Makkah”.
Dilansir dari laman anri.go.id., Hikayat Aceh menjadi salah satu manuskrip langka yang ditulis pada abad ke-17 M. Dengan merekam perjalanan hidup Sultan Iskandar Muda plus sederet pencapaiannya dalam memerintah kesultanan tersebut hingga era pemerintahannya menjadi masa kegemilangan rakyat Aceh.
Dalam naskah yang ditulis dalam aksara Jawi itu, kita dapat melihat contoh harmonisasi kehidupan bermasyarakat yang dibangun bersama oleh sultan beserta pejabat negara di bawahnya, ulama, rakyat yang dipimpin, adat, dan agama. Sama seperti halnya saat umat Islam berada pada masa Dinasti Abbasiyah yang mencerahkan. Kini, masa itu menjadi masa keemasaan bagi umat Islam.
Kembali ke era Sultan Iskandar Muda, sangat banyak pencapaian yang diraih, seperti Kesultanan Aceh masa itu telah dikenal dan diakui bangsa asing sebagai bagian dari pusat perdagangan rempah di kawasan Timur, Aceh menjadi titik awal berkembang dan meluasnya jaringan Islam di Asia Tenggara, serta Kesultanan Aceh semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda secara filologi telah menggunakan gaya sastra Melayu klasik dengan pengaruh dari Persia.
Dari karya besar tersebut, kita dapat melihat dengan jelas pentingnya integrasi sosial yang mendorong keterlibatan aktif antara pemerintah, masyarakat, agama, dan adat. Toleransi antara masyarakat lokal dan pendatang yang singgah atau menetap di wilayah kesultanan (contohnya seperti subetnis Tamiang dan Aneuk Jamee), justru mendorong hadirnya budaya baru yang turut memperkaya khazanah budaya Aceh. Segregasi budaya justru nyaris tidak ditemukan. Akulturasi dan sinkretisme yang berlangsung di tengah masyarakat Aceh, membuatnya memiliki pandangan terbuka dengan perbedaan budaya. Puncaknya, hasil dari akulturasi dan sinkretisme tersebut adalah produk-produk kebudayaan yang kita lihat dan nikmati saat ini. Mulai dari kuliner, kesenian, bahasa, pengetahuan, dan lainnya.
Dari salah satu karya besar Aceh tersebut, sejatinya kita di masa kini dapat melihat DNA asli dari kelompok masyarakat Aceh secara antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, historiografis, dan linguistik. Seluruh unsur tersebut menyatu menjadi kearifan lokal masyarakat yang hingga kini terus dijaga, dirawat, dan dilestarikan antargenerasi.
Budaya Aceh sesungguhnya telah mengajarkan kita arti pentingnya hidup saling berdampingan dalam sebuah bingkai integrasi. Pemerintah dan masyarakat hidup berdampingan dengan minim konflik. Hal tersebut disebabkan kepatuhan akan peraturan yang berlaku hadir karena kesadaran dari masyarakatnya. Antarsesama masyarakat (masyarakat lokal dan pendatang), sangat minim konflik disebabkan rasa toleransi yang mendorong hadirnya penerimaan terhadap budaya dan/atau nilai lain dari luar kelompok mereka. Berbagai bentuk penerimaan tersebut yang nantinya hadir dari dua jalur, yakni:akulturasi dan sinkretisme.
Selain Hikayat Aceh, masyarakat Aceh juga memiliki manuskrip lain yang juga umum dikenal oleh para peneliti regional, nasional, dan mancanegara. Manuskrip tersebut, di antaranya, Bustanus Salatin, Hikayat Perang Sabil, Mir’atul Thulab, Tazkirat al-Salatin, Tafsir al- Jalalain, dan berbagai karya lain yang memuat tentang tauhid dan tasawuf.
Saat kita coba menganalisis secara komprehensif, masing-masing dari manuskrip tersebut menunjukkan urgensi dari isi manuskrip terhadap ekosistem kebudayaan Aceh. Selain menjadi sebuah karya sastra, manuskrip yang ditulis oleh masyarakat Aceh mengandung pelbagai isi, antara lain, sejarah, kepemimpinan, nilai keislaman (termasuk tasawuf dan fikih), serta semangat perjuangan untuk membela tanah airnya. Artinya, masyarakat Aceh pada era kesultanan sudah lebih dulu mendorong peradabannya dengan keilmuan yang mengakar pada nilai-nilai keislaman.
Secara perlahan dan turun-temurun antargenerasi, masyarakat Aceh menjadikan manuskrip-manuskrip tersebut sebagai pedoman dalam kehidupannya bermasyarakat.
Julukan “Serambi Makkah” pada akhirnya tidak sekadar menginterpretasikan kegemilangan Tanoh Aulia ini sebagai titik awal perkembangan ajaran Islam di Asia Tenggara. Lebih lanjut, julukan tersebut menyampaikan pada kita semua tentang kehidupan masyarakat Aceh yang mengakar pada tuntunan ajaran Islam.
Semangat mendorong peradaban melalui pendidikan, menghadirkan kesetaraan gender, keterbukaan dan sikap positif terhadap dinamika perubahan global, serta kebijakan ekonomi yang memaksimalkan potensi alam dan menjaga keseimbangan ekosistem lingkungannya. Kesejahteraan masyarakat yang hadir dari perdagangan rempah dengan bangsa asing, tidak eksplisit menghadirkan monopoli perdagangan yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Keterbukaan dalam perdagangan tersebut telah memperluas peluang pertukaran komoditas yang dapat memajukan kedua belah pihak.
Pengalaman saya dalam memulai pengkajian mengenai masyarakat Aceh melalui Hikayat Perang Sabil, telah membuka mata dan memperluas pemahaman saya tentang masyarakat Aceh dari sisi historis. Semangat perjuangan untuk menegakkan keadilan atas tanah airnya, memperjuangkan tegaknya ajaran Islam agar tidak dihilangkan oleh penjajah, dan seruan dakwah mengenai arti penting sebuah kemerdekaan yang berdaulat bagi sebuah bangsa adalah harga mati yang tidak dapat ditawar dengan apa pun.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.