Opini
Abu Paya Pasi dan Menghidupkan Masjid Raya
Masjid Raya Baiturrahman terlalu besar nilainya jika hanya diperlakukan sebagai monumen sejarah dan destinasi wisata.
Wahyu Ichsan, Direktur Islamic Civilization In Malay Archipelago Forum
PERGANTIAN Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman kepada Abu Paya Pasi adalah peristiwa besar bagi Aceh. Ini bukan sekadar pergantian imam, bukan pula sebatas siapa yang berdiri di shaf paling depan saat shalat berjamaah. Ini adalah momentum peradaban. Imam Besar bukan hanya pemimpin shalat, tetapi juga penentu arah, pewaris warisan Nabi saw dalam menjadikan masjid sebagai mercusuar umat.
Masjid Raya Baiturrahman terlalu besar nilainya jika hanya diperlakukan sebagai monumen sejarah dan destinasi wisata. Masjid ini adalah jantung Aceh, simbol kejayaan Islam, saksi bisu jihad melawan kolonialisme, hingga tempat bernaung umat kala tsunami mengguncang. Namun, apakah hari ini Masjid Raya masih berdenyut sebagai pusat ilmu, pusat ekonomi, dan pusat peradaban? Ataukah ia mulai membeku, menjadi sekadar bangunan indah yang difoto turis, sementara ruhnya kering dari kehidupan umat?
Masjid dan pasar
Sejarah Islam mengajarkan kepada kita: masjid dan pasar adalah dua entitas yang tidak terpisahkan. Rasulullah saw ketika hijrah ke Madinah, langkah pertamanya adalah membangun Masjid Nabawi. Masjid itu bukan hanya untuk shalat, tetapi juga pusat pendidikan, pusat pemerintahan, bahkan pusat strategi militer. Namun Nabi saw tidak berhenti di situ. Beliau juga membangun pasar.
Pasar Madinah yang didirikan Rasulullah saw adalah pasar wakaf. Tidak ada monopoli, tidak ada rente, tidak ada pajak menindas. Semua orang bebas berdagang dengan adil. Hasilnya bukan hanya menyejahterakan umat, tapi juga menghidupkan masjid. Dengan pasar wakaf itu, umat punya sumber ekonomi, masjid punya aliran kehidupan. Inilah yang sering dilupakan: masjid hidup dari umat, dan umat hidup dari masjid.
Pedaganglah yang mengalirkan darah kehidupan ke masjid. Wakaf, zakat, infaq, dan sedekah menghidupi umat dari tangan-tangan mereka yang berdagang.
Tidak ada peradaban Islam besar tanpa masjid dan pasar berdampingan. Di Andalusia, Masjid Cordoba berdiri tegak di tengah hiruk pikuk pasar, melahirkan ilmuwan yang menginspirasi dunia.
Di Baghdad, masjid-masjid besar selalu dikelilingi souq—pasar tempat ulama dan pedagang saling bertemu. Di Kairo, Damaskus, hingga Samarkand, pola ini sama: masjid di jantung kota, pasar di sekitarnya, dan keduanya menjadi pusat peradaban. Masjid adalah rumah Allah, pusat ketundukan total manusia kepada Sang Pencipta. Pasar adalah ruang kehidupan umat, tempat mencari rezeki yang halal. Ketika keduanya menyatu, lahirlah sebuah peradaban yang kuat.
Mari kita lihat Aceh hari ini. Apakah hubungan itu masih ada? Ternyata iya. Masjid Raya Baiturrahman berdiri megah di jantung Banda Aceh, persis di sebelah Pasar Aceh. Masjid Lambaro bersebelahan dengan Pasar Lambaro. Masjid Baitusshalihin dekat dengan Pasar Ulee Kareng. Hampir semua masjid besar di Aceh berdiri berdekatan dengan pasar.
Apakah ini kebetulan? Tidak. Ini adalah warisan sejarah yang hidup. Para leluhur kita sadar, masjid tidak boleh steril dari denyut kehidupan umat. Pasar dan masjid harus berdekatan, karena dari situlah lahir keterhubungan antara ruh dan jasad, antara ibadah dan muamalah, antara doa dan nafkah.
Namun, sayangnya, di masa kini hubungan itu mulai dirusak. Pedagang kecil yang mencoba mencari rezeki di halaman masjid sering kali diusir, dianggap mengganggu keindahan, diperlakukan seolah-olah mereka perusak kesucian. Padahal sejarah justru membuktikan: pedaganglah yang menghidupi masjid. Dari wakaf, zakat, dan sedekah merekalah masjid berdiri tegak. Jika pedagang dipinggirkan, maka masjid kehilangan denyut nadinya.
Kita harus berani bertanya: apakah kita ingin Masjid Raya hanya menjadi masjid indah nan rapi, steril dari umat, tapi kosong dari ruh peradaban? Ataukah kita ingin Masjid Raya menjadi masjid hidup—dengan ilmu, dakwah, dan perdagangan halal yang mengalirkan kehidupan?
Masjid yang hanya mengandalkan infak mingguan adalah masjid yang miskin visi. Masjid yang menolak keberadaan pedagang kecil adalah masjid yang menutup diri dari denyut umat. Sedangkan masjid yang membuka diri, mengelola wakaf, zakat, infaq, dan perdagangan, itulah masjid yang benar-benar hidup.
Momentum Abu Paya Pasi
Di tangan Imam Besar Abu Paya Pasi, Masjid Raya Baiturrahman punya peluang untuk kembali menjadi mercusuar peradaban. Masjid ini harus hidup, bukan sekadar megah di mata, tetapi mati di ruhnya. Ia harus menjadi pusat ilmu: halaqah tafsir, hadis, sejarah, hingga diskusi intelektual yang membangkitkan generasi muda. Sejarah telah memberi teladan. Masjid al-Qarawiyyin di Fes, didirikan oleh Fatimah al-Fihri pada 859 M, bermula sebagai masjid jami‘ untuk belajar Al-Qur’an dan fiqh.
Lambat laun, masjid itu menjadi universitas pertama di dunia yang masih beroperasi, melahirkan ilmuwan besar yang mengubah wajah peradaban. Masjid al-Azhar di Kairo pun demikian; halaqah-halaqah ilmu di dalam masjid berkembang menjadi universitas terkemuka dunia Islam. Bahkan istilah jāmi‘ah (universitas) sendiri berasal dari jāmi‘—masjid jami‘—menegaskan bahwa kampus Islam sejatinya lahir dari masjid.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.