Guru Perlu Berpolitik

KABAR ini memprihatinkan! Sumberdaya manusia (SDM) Indonesia telah tertinggal jauh dibandingkan dengan SDM Malaysia dan Singapore

Editor: bakri
Oleh Jarjani Usman

KABAR ini memprihatinkan! Sumberdaya manusia (SDM) Indonesia telah tertinggal jauh dibandingkan dengan SDM Malaysia dan Singapore.   Catatan terbaru Human Development Index menunjukkan, Singapore berada di peringkat 25, Malaysia pada 61, dan Indonesia peringkat 111. Hal ini tak terlepas dari berbagai praktik politik yang dilaksanakan di Indonesia, termasuk juga politik di kelas yang dilaksanakan guru.    

Dunia pendidikan, termasuk pembelajaran dalam ruangan kelas, tak bisa lepas dari politik, meskipun banyak yang melarang politik di dunia pendidikan. Alasannya, apa yang diajarkan di kelas dan bagaimana mengajarnya adalah hasil-hasil dari keputusan politik.  Termasuk juga keputusan politik dalam mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran di kelas.  Perubahan kurikulum dari KBK ke KTSP dan pelaksanaan sertifikasi guru juga merupakan hasil kesepakatan politik. Melaksanakan KTSP dengan pembelajaran aktif juga bukan tidak berhubungan dengan politik, terutama persaingan SDM Indonesia. Para politisi bekerjasama dengan para ahli pendidikan mencermati sejumlah fenomena yang menunjukkan ada masalah dengan SDM dan pola pengembangan SDM Indonesia sehingga tertinggal dari SDM negara-negara tetangga, misalnya. Menyadari hal ini, para politisi yang handal dan polite bekerjasama dengan sejumlah aktivis dan pemikir pendidikan berpikir untuk mengadakan perubahan, baik secara secara parsial maupun secara keseluruhan.

Selanjutnya dirumuskan sejumlah rekomendasi bagaimana melaksanakannya. Di antara rekomendasi penting itu ialah penerapan pembelajaran aktif, yang kemudian disebut PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) atau PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Dengan pembelajaran seperti ini, diharapkan akan lahir SDM Indonesia yang aktif, kreatif, dan inovatif di masa-masa yang akan datang. Tentunya ini akan memerlukan perubahan dalam paradigm mengajar yang agak berbeda dengan yang lazim dipraktikkan sebelumnya, yang sifatnya lebih berpusat pada guru.  

Pembelajaran aktif ini berpusat kepada murid atau siswa.  Maksudnya, segala pengalaman, bakat, dan belajar yang dibawa siswa ke kelas perlu dijadikan dianalisa. Tujuannya agar bakat dan kemampuan siswa berkembang. Guru membantu siswa dalam belajar.  Pembelajaran inilah yang disebut sebagai pembelajaran bermakna (Krause dkk, 2006), karena memang memiliki makna bagi pengembangan kemampuan siswa. Menurut sejumlah hasil penelitian yang telah dilakukan (Campisi & Finn, 2011; Lee & Jabot, 2011), pembelajaran seperti ini bisa meningkatkan hasil dan motivasi siswa untuk belajar, sekaligus membangun lulusan yang kreatif dan inovatif.  

Bila berhasil, penduduk Indonesia yang jumlahnya sudah mencapai 230 juta akan mampu bersaing dan bersanding dengan kualitas penduduk-penduduk negara-negara maju. Yang lebih penting lagi, Indonesia tidak akan risih lagi menghadapi era perdagangan bebas, seperti Perdagangan Bebas antara Cina dan Negara-negara ASEAN (ACFTA) dan persaingan bebas tingkat dunia. Apalagi ke depan, sumber daya alam Indonesia akan habis, apalagi sekarang sedang gencar-gencar dikeruk di mana-mana dengan melibatkan perusahaan-perusahaan besar multinasional. Satu-satunya harapan ke depan ialah beralih kepada sumberdaya manusia yang berdaya saing tinggi.

Bila berhasil pembelajaran aktif, suatu saat tenaga kerja yang akan dikirim ke luar negeri bukan tenaga-tenaga yang kurang ketrampilan, seperti pembantu rumah tangga atau buruh kasar seperti selama ini.  Tetapi tenaga-tenaga terampil yang gajinya setara dengan tenaga-tenaga kerja dari negara-negara lain. Di dalam negeri pun, pembangunan akan dilaksanakan oleh orang-orang berkualitas. Bukan oleh orang-orang yang tak jelas kapasitasnya.

Namun, para ahli pendidikan seperti Fullan (2006) mengingatkan, apapun keputusan politik yang dibuat tentang pendidikan dan pembelajaran, akan sia-sia kalau para guru tidak mau menerjemahkan keputusan politik tersebut dalam kelas. Yaitu, keputusan politik yang mengharapkan guru melaksanakan pembelajaran aktif untuk menghasilkan peserta didik yang tidak pasif.

Memang pada awalnya agak susah melaksanakan pembelajaran aktif bagi guru-guru yang terbiasa melaksanakan pembelajaran pasif. Apalagi bagi guru yang tidak ingin belajar lagi. Namun demikian, peluang untuk melaksanakannya masih terbuka lebar, lebih-lebih banyak pelatihan pembelajaran aktif telah dilaksanakan selama ini, baik oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun oleh lembaga-lembaga pemerintah serta perguruan tinggi.

Itupun masih ada kendalanya. Menurut hasil penelitian Bjork (2006), tidak sedikit inovasi yang berkenaan dengan pendidikan dan pembelajaran di Indonesia kadangkala tidak sepenuhnya dimengerti dalam implementasinya di lapangan. Kekurangmengertian itu bukan hanya dialami oleh para guru, tetapi juga oleh pihak-pihak yang berwenang di pemerintahan.  

Memang terdapat sejumlah miskonsepsi tentang pembelajaran aktif, termasuk oleh dosen perguruan tinggi. Misalnya, pembelajaran aktif difahami sebagai pelaksanaannya sebagai transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) oleh dosen yang merasa dirnya sudah mahir dalam PAKEM dan sering menjadi fasilitator pada sejumlah pelatihan guru. Ini merupakan sebuah keyakinan yang sangat bertolak belakang dengan pembelajaran aktif. Kalau pun selama ini telah menjadi instruktur pelatihan pembelajaran aktif, maka jelas telah melakukan sesuatu yang kontradiktif.

Secara teoritis, pembelajaran aktif sifatnya mengkonstruksi ilmu pengetahuan, yang dilakukan peserta didik dengan bantuan guru atau pihak lain yang dianggap lebih mampu di bidang yang sedang dipelajari. Untuk itu, guru perlu terlebih dahulu mengenal Zone of Proximal Development (ZPD) atau batas yang menjembatani kemampuan siswa dengan ketidakmampuannya (Kozulin, 2003; Krause dkk, 2006; Lee & Smagorinsky, 2000; Vygotsky, 1962, 1976, 1978). Setelah mengenal batas ini, guru perlu merancang bahan yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi dari kemampuan siswa yang sudah ada, sehingga otak siswa akan tertantang untuk berpikir kritis.  

Namun semua ini terserah kepada guru dan pihak-pihak yang menyelenggarakan pendidikan. Maukah mereka dan kita semua berpolitik untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita adalah pertanyaan yang perlu dijawab bersama. Maukah para politisi membantu guru berpolitik di kelas dengan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang layak?  Maukah pemerintah mengangkat guru-guru yang berkualitas agar mampu menerjemahkan keputusan politik di kelas? Maukah para aktivis menggugat malpraktik dalam dunia pendidikan? Maukah guru-guru menjadi murid seumur hidup dengan cara terus belajar untuk meningkatkan profesionalismenya agar selalu mampu melaksanakan hasil kesepakatan politik di kelas?

* Penulis adalah dosen IAIN Ar-Raniry; sedang mengambil program doktor pendidikan di Deakin University, Australia. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved