Opini
Mobil Esemka dan DPRA
Mobil jenis SUV berkapasitas 1500 cc itu dinamai dengan nama mobil Esemka, sebagai tanda bahwa dia lahir dari tangan siswa-siswa SMK
Oleh Muhammad Taufik Hidayat
BEBERAPA hari yang lalu negeri Indonesia tercinta ini berbangga hati dengan keberhasilan putra-putrinya memproduksi mobil yang komponennya 80 persen adalah buatan dalam negeri. Mobil jenis SUV berkapasitas 1500 cc itu dinamai dengan nama mobil Esemka, sebagai tanda bahwa dia lahir dari tangan siswa-siswa SMK.
Tak urung tokoh-tokoh politik nasional menyampaikan rasa bangganya dan ingin cepat-cepat memiliki mobil yang lahir dari tangan anak bangsa tersebut. Tercatat Walikota Solo, Joko Widodo langsung menggunakan mobil itu sebagai mobil dinasnya. Tak ketinggalan, tokoh nasional seperti Marzuki Alie dan Megawati juga tertarik untuk memilikinya.
Namun kebanggaan itu terasa hambar ketika membaca berita tentang impor SUV bekas melalui pelabuhan Malahayati Krueng Raya (Serambi, 4 Januari 2012). Sebanyak 48 unit SUV bekas dari Singapura rupanya telah dipesan oleh anggota dewan yang terhormat, untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Sungguh suatu kondisi yang sangat bertolak belakang dan tentunya membuat muka kita merah. Ada apa gerangan dengan anggota dewan Aceh ini?
Ada teori ekonomi yang menyatakan bahwa motivasi seseorang membeli suatu barang terutama barang-barang kebutuhan sekunder dikarenakan orang lain menggunakan barang tersebut. Dalam konteks beli mobil, makanya kita mengenal mobil sejuta umat dimana semua orang membeli mobil merek yang sama. Tak mau ketinggalan mode, begitulah singkatnya. Agaknya anggota dewan kita tidak termasuk dalam kelompok ini.
Selain teori mengatakan bahwa seseorang membeli barang karena orang lain tidak memakai barang tersebut, alias dia ingin tampil beda. Dalam konteks mobil, tentulah orang ini enggan menggunakan mobil sejuta umat, mobil orang kebanyakan. Makanya dia membeli mobil jenis lain untuk membedakan antara dia dan orang kebanyakan.
Tentunya berharap ada perhatian lebih padanya dan ada citra yang lain yang diharapkan. Atau berharap statusnya naik satu derajat dari orang lain. Sepertinya anggota dewan di Aceh berpikir seperti ini. Walaupun banyak SUV yang beredar di pasar lokal, rasanya sudah terlalu biasa sehingga kalau pakai SUV lokal tak akan ada bedanya dengan masyrakat kebanyakan. Harus beda dong, anggota dewan!
Ada lagi teori yang mengatakan bahwa orang mengkonsumsi sesuatu untuk mempertahankan penerimaan kelompok atau lingkungannya.
Biasanya untuk bisa diterima di suatu kelompok sosial tertentu ada kualifikasi yang ditetapkan oleh kelompok tersebut seperti mobil jenis dan kelas tertentu. Jadi supaya bisa tetap dianggap bagian dari kelompok, anggota harus tetap memiliki mobil tertentu dengan kelas tertentu. Kalau tidak, pastilah dianggap “nggak level.”
Mungkin hal ini terjadi juga pada anggota dewan kita yang terhormat. Supaya bisa dianggap sejajar dengan kolega setingkat dengannya, maka harus punya mobil SUV import. Malu lah, masak pimpinan eksekutif punya mobil CBU import, anggota dewan cuma pakai mobil sejuta umat. Walaupun rasanya sama, tapi gengsinya tentu berbeda.
Lantas apa hubungannya dengan mobil Esemka? Mobil yang digadang-gadang menjadi cikal bakal mobil nasional ini tentunya menyimbolkan sesuatu. Salah satunya adalah menunjukkan kesederhanaan dan kerakyatan karena harganya yang murah dan hampir seluruhnya produksi dalam negeri. Walikota Solo, orang pertama yang menggunakan mobil Esemka untuk mobil dinas patut diacungi jempol bukan karena sensasinya tapi kemampuannya menunjukkan kepada rakyatnya bahwa dia tidak perlu sesuatu yang mewah-mewah seperti SUV mewah import untuk melayani rakyatnya. Dengan mobil 90 jutaan buatan lokal pun dia sudah bisa melayani rakyat. Selain itu, dia
juga menunjukkan dukungannya terhadap kreasi anak bangsa.
Mobil Esemka juga menunjukkan bahwa negeri kita ini punya marwah. Mampu berdiri dengan kaki sendiri dan tidak mesti selalu tergantung dan berbangga dengan hasil bikinan orang lain. Selama ini kita selalu didikte oleh orang luar dan malah bangga dengan hal itu.
Semua harus berbau-bau luar negeri. Mobil harus impor langsung dari luar atau CBU, completely built up. Walaupun masyarakat di kampung masih makan ubi. Adanya mobil Esemka ini marwah bangsa naik, kita bukan bangsa kelas teri yang hanya bisa jadi pengguna saja. Kita juga bangsa pencipta.
Sangat kontras dengan kondisi di Aceh. Di saat rakyat sedang galau dengan kondisi ekonomi, sosial dan keamaan. Di saat rakyat masih galau akan apa yang terjadi menjelang dan paska pilkada nanti.
Malah anggota dewan memamerkan mobil-mobil mewah impor, walaupun bekas, tetap saja mobil itu adalah mobil mewah. Tentunya ini sangat melukai perasaan rakyat. Alasan yang ditampilkan pun terkesan dibuat-buat. Sangat sederhana sekali alasannya, cuma karena anggota dewan sangat membutuhkannya.
Selama ini melalui berbagai proyek di Aceh kita selalu menggadang-gadangkan Aceh untuk mandiri bisa menghasilkan produk layak ekspor. Namun potret impor SUV bekas di Krueng Raya ini menunjukkan kebalikannya. Alih-alih mengekspor, malah barang impor yang masuk.