Opini

Menjaga Agar Bahasa Aceh tidak Punah

Bahasa Aceh menjadi kekuatan yang sanggup menghimpun masyarakat Aceh yang memiliki keragaman bahasa daerah selain Bahasa Aceh.

Editor: mufti
zoom-inlihat foto Menjaga Agar Bahasa Aceh tidak Punah
FOR SERAMBINEWS.COM
Muslim Khadri SSTP MSM, ASN Disbudpar Aceh

Muslim Khadri SSTP MSM, ASN Disbudpar Aceh

BAHASA Aceh merupakan jati diri masyarakat Aceh dan identitas sebuah bangsa yang memiliki Sejarah dan peradaban. sebagai daerah khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Aceh sebagai simbol keacehan menjadi cerminan keistimewaan daerah di dalam tata kenegaraan Indonesia. Bahasa Aceh bukan hanya sekadar pengakuan atas Aceh sebagai daerah khusus, melainkan menjadi lambang pemersatu daerah yang patut dibanggakan masyarakat Aceh.

Bahasa Aceh menjadi kekuatan yang sanggup menghimpun masyarakat Aceh yang memiliki keragaman bahasa daerah selain Bahasa Aceh. Klasifikasi Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, lebih tepatnya dalam kelompok bahasa Melayu-Polinesia Barat. Bahasa ini memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa lain yang berada di sekitar Selat Malaka, seperti: Bahasa Cham (digunakan di Vietnam dan Kamboja), Bahasa Minangkabau, Bahasa Gayo (di Aceh Tengah). Bahasa Aceh juga memiliki banyak serapan dari bahasa Arab, Persia, Portugis, Belanda, dan tentu saja bahasa Melayu, yang dipengaruhi oleh sejarah panjang interaksi Aceh dengan dunia luar.

Bahasa Aceh memang cenderung berkembang menjadi bahasa perhubungan luas di Provinsi Aceh, yang penggunaannya oleh semua masyarakat, harusnya meningkat dari waktu ke waktu dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Aceh. Fenomena yang terjadi saat ini, akibat perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu Pendidikan berdampak pada penggunaan bahasa daerah, yang sudah tidak memiliki kedudukan yang setara dengan bahasa nasional dan bahasa asing.

Terutama di kalangan generasi usia muda gen Z dan Gen Alfa, di dunia pendidikan atau pekerjaan, akan berpotensi terjadi kepunahan bahasa daerah di masa yang akan datang. Keadaan ini tentu memerlukan perhatian yang serius dari berbagai kalangan guna membina dan mengembangkan bahasa daerah sebagai identitas Aceh.

Namun kini Bahasa Aceh menghadapi ancaman serius terhadap kelestariannya ke depan. Penelitian dari badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan status Bahasa Aceh sebagai “Definitely Endangered” sangat terancam, adalah klasifikasi yang digunakan UNESCO untuk mengategorikan bahasa yang tidak lagi dipelajari oleh anak-anak sebagai bahasa ibu di rumah, menunjukkan bahwa bahasa tersebut berisiko punah tinggi. Ini merupakan tingkat bahaya yang lebih parah daripada "rentan" dan membutuhkan perhatian segera untuk kelangsungan hidup bahasa tersebut.

Dalam skala vitalitas 0-5 posisi Bahasa Aceh berada pada level 3 artinya sebagian komunitas di gampong-gampong masih menggunakan, namun mulai asing di ranah publik. Di kota-kota penggunaan Bahasa Aceh sangat sedikit, baik di sekolah maupun di rumah, di pasar-pasar juga, komunikasi pedagang dan pembeli juga menggunakan Bahasa Indonesia.

Saat dilakukan uji petik, menanyakan kepada penjual kenapa menawarkan barang dengan Bahasa Indonesia, penjual menjawab, pembeli tidak mau menoleh kalo ditawarkan dagangan dengan Bahasa Aceh terutama gadis-gadis dan remaja. Mereka lebih senang kalau komunikasi dengan Bahasa Indonesia. Pengguna Bahasa Aceh yang semakin hari semakin berkurang dan berpotensi punah berdasarkan Journal of English Language and Education dengan judul Language Vitality Among Acehnese Parent and Its Implication to Language Maintenance: On Perspective of Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale (EGIDS). Penelitian itu menyebutkan bahwa dalam 20 tahun ke depan, keberadaan penuturan Bahasa Aceh akan hilang.

Lahirnya Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2022 tentang Bahasa Aceh sebagai implementasi Pasal 221 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam serta bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal.

Dalam pasal 1 Qanun Aceh nomor 10 Tahun 2022 tentang Bahasa Aceh menyebutkan Bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh suku Aceh yang terdapat di wilayah pesisir, sebagian pedalaman dan sebagian kepulauan di Aceh dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Di Aceh selain Bahasa Aceh terdapat juga Bahasa Aneuk Jamee (Jamee), Bahasa Singkil, Bahasa Gayo, Bahasa Kluet, Bahasa Temiang, Bahasa Alas, Bahasa Devayan, Bahasa Sigulai, Bahasa Lekon, Bahasa Pakpak, dan Bahasa Haloban. Aceh satu bangsa yang kaya luar biasa adat dan budaya. Pemerintah Aceh perlu membina dan mengembangkan bahasa Aceh dan semua bahasa yang ada di Aceh sesuai qanun tersebut.

Sebagai quick respons revitalisasi Bahasa Aceh, Gubernur Aceh menerbitkan Instruksi Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penggunaan Bahasa Aceh, Aksara Aceh dan sastra Aceh. Meminta bupati/wali kota, kepala SKPA, para Kanwil Kementerian/Non Kementerian, pimpinan BUMD/BUMN dan Perbankan untuk merawat, menjaga, melindungi, mempertahankan dan mengembangkan Bahasa Aceh, aksara Aceh dan sastra Aceh, dengan menerapkan penggunaan Bahasa Aceh sebagai alat komunikasi paling sedikit 1 (satu) hari dalam sepekan yaitu hari Kamis. Dengan tetap menjunjung tinggi kedudukan Bahasa Indonesia serta bahasa-bahasa lainnya di Aceh.

Penggunaan aksara Aceh

Penggunaan aksara Aceh berhuruf Arab-Jawi pada penulisan nama kantor instansi sebagai pelengkap dari penulisan nama dalam Bahasa Indonesia, perkembangan tulisan Bahasa Aceh ditulis menggunakan huruf Arab Jawi, terutama dalam kitab-kitab Islam dan sastra lama seperti Hikayat Prang Sabi dan Hikayat Malem Dagang. Namun, seiring waktu, aksara ini mulai digantikan oleh huruf latin, yang lebih umum digunakan saat ini, dan keunikan Bahasa Aceh memiliki sistem fonologi khas, misalnya bunyi /ë/ yang tidak ada dalam bahasa Indonesia.

Bupati/wali kota, kepala Dinas Pendidikan Aceh dan kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh diminta untuk mengoordinir, menyusun dan memasukkan mata pelajaran Bahasa Aceh dan/atau bahasa daerah di Aceh ke dalam kurikulum muatan lokal pada SD/Ml, SMP/MTs, SMA/SMK/Ma dan SLB sesuai kewenangan masing-masing. Selanjutnya pembinaan, pemeliharaan, pengembangan, pelestarian dan penghargaan Bahasa Aceh, aksara Aceh, sastra Aceh sekaligus mengoordinasikan pelaksanaan dan pengawasan Instruksi Gubernur ini menjadi tanggung jawab Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Sekaligus Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur tentang pemeliharaan dan pengembangan Bahasa Aceh, aksara Aceh dan sastra Aceh.

Bahasa Aceh ditetapkan salah satu warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 27 Agustus 2024 oleh UNESCO. Sebagai generasi penerus, setiap kita memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk penguatan Bahasa Aceh agar tidak punah di masa yang akan datang. Untuk itu jadikan Bahasa Aceh, aksara Aceh dan sastra Aceh sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Termasuk dengan adanya kegiatan Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Bahasa Aceh, aksara Aceh dan sastra Aceh seperti hikayat, pantun, puisi, bercerita, stand up comedy, konten digital, film, lagu, dan buku dalam bahasa Aceh dan sastra lisan dan tulisan.

Penguatan dengan kebijakan oleh pemerintah daerah, korporasi, lembaga dan komunitas mendorong penggunaan bahasa Aceh, misalnya adanya bilingual dalam pelayanan publik atau sebagai tema PKA IX Penguatan Bahasa Aceh.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved