Opini
Perempuan Aceh di Era Modern
MEMBACA artikel "Inong Aceh Jameun Jinoe" yang dimuat di halaman Opini (Serambi, 08/03/2012), membuat saya, sebagai seorang perempuan Aceh
MEMBACA artikel “Inong Aceh Jameun Jinoe” yang dimuat di halaman Opini (Serambi, 08/03/2012), membuat saya, sebagai seorang perempuan Aceh, merasa prihatin dengan beberapa kesimpulan yang disodorkan penulis ke khalayak. Penulis hanya melihat inong jameun jinoe dari sisi negatifnya saja, tanpa mempertimbangkan sisi positif yang dimiliki para perempuan Aceh di era globalisasi ini.
Oleh penulis, inong jameun jinoe dimaknai sebagai perempuan yang bukan perempuan baik-baik. Inong jameun jinoe adalah; yang hanya tergila-gila dengan fashion, yang hanya menghabiskan berjam-jam waktunya di salon, yang hanya suka kongkow (ngumpul) di cafe atau warung kopi, yang suka meniru gaya orang lain, dan wanita karir. Begitu kira-kira yang bisa saya simpulkan antara judul dan isi tulisan.
Membaca tulisan ini, saya teringat sebuah berita yang pernah saya baca di sebuah media online di Aceh, tentang hasil survei di sebuah sekolah di Banda Aceh, bahwa 60 persen siswinya tidak perawan lagi (silakan unduh beritanya di sini: http://www.theglobejournal.com/Feature/banyak-siswi-sma-di-aceh-tidak-perawan-lagi/index.php). Mengapa saya membandingkan opini saudara Arifin S dengan fakta yang ditulis oleh sebuah media online tersebut? Karena keduanya bisa menimbulkan sebuah kesimpulan yang salah di masyarakat.
Hanya meluruskan
Di sini saya tidak akan membahas tentang hasil survei dalam berita tersebut yang masih perlu dipertanyakan keakuratanya. Saya hanya perlu meluruskan pendapat negatif tentang perempuan, khususnya perempuan Aceh, bahwa tidak semua perempuan Aceh itu hobinya menghabiskan berjam-jam waktunya untuk duduk-duduk di warung kopi, rebonding, membuka aurat, atau bekerja pontang-panting lalu tak ingat pulang.
Mungkin benar fakta itu ada, tapi jangan sampai fakta yang memiliki nilai seperti nila setitik ini dijustifikasi secara umum hingga rusaklah susu sebelanga (semua perempuan Aceh). Padahal tak kurang perempuan yang memiliki nilai positif diri hingga menghasilkan prestasi yang membanggakan. Nilai positif diri yang saya maksud adalah, masih banyak perempuan yang tetap ingat batas diri, mana batas yang aman dilalui dan yang tidak boleh dilanggar dengan berpijak pada aturan agama.
Masih banyak perempuan Aceh yang menjadi wanita karir yang sukses namun sukses pula menjadi ibu rumah tangga; istri dan ibu yang baik. Kita juga lupa fakta bahwa, di bawah gemerlapnya arus globalisasi, masih banyak perempuan Aceh yang berjuang sendiri menghidupi diri dan keluarga. Yang mengais rejeki di pagi buta hingga paginya lagi.
Memang benar, zaman sudah berubah. Pola pikir dan gaya hidup berubah. Begitu juga dengan tuntutan dan gaya hidup perempuan. Perempuan di era modern dituntut bergerak cepat dan tanggap terhadap perubahan zaman. Perempuan sekarang lebih banyak yang bekerja jika dibandingkan jumlah perempuan yang bekerja pada beberapa dekade silam.
Hal ini disebabkan karena selain sudah adanya persamaan hak laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan, juga mudahnya fasilitas pendidikan tinggi yang bisa dijangkau bahkan dari luar kota sekalipun. Ditambah dengan adanya pendapat; keupeu sikula manyang meunyoe hana jeut keu peugawe (untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika tidak menjadi pegawai negeri, pen). Intinya, orangtua memiliki harapan, setelah mereka menyekolahkan anak perempuannya, mereka mengharapkan si anak bisa bekerja di bidang tertentu.
Pandangan Islam
Bagaimana Islam menghargai perempuan? Islam menempatkan perempuan dalam empat peranan, yaitu perempuan sebagai anak, sebagai istri, sebagai ibu, dan perempuan dalam peranan sosial. Perempuan sekarang memang sudah dapat bekerja dan melakukan banyak kegiatan. Tetapi apakah baik jika perempuan bekerja di luar rumah?
Dalam hal peranan sosial, tidak ada satu pun ayat Alquran atau hadis yang mengekang atau menghambat perempuan berkembang dan mengambil peranan aktif di luar rumah, asalkan tetap dalam koridor yang baik dan tidak mengabaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Lihatlah contohnya ibu kita yang berprofesi sebagai guru. Pulang ke rumah lewat tengah hari. Setelah pulang dari sekolah, seabrek pekerjaan rumah sudah menunggu; memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan lain sebagainya. Sebelum berangkat ke sekolah, pagi-pagi sekali ibu kita sudah menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Jadi beliau tetap dapat bekerja meski harus mengurus keluarga.
Memang benar wilayah domestik adalah wilayah yang didominasi oleh perempuan. Mengurus keluarga, memastikan rumah bersih, dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya. Tapi bukan berarti haram hukumnya laki-laki memasuki wilayah ini. Di era modern seperti ini, pekerjaan seperti memasak atau membersihkan rumah bukan lagi pekerjaan yang tabu dilakukan oleh laki-laki.
Dalam rumah tangga, laki-laki dan perempuan harus saling tolong menolong. Suami yang baik, jika memiliki banyak waktu luang berada di rumah, akan menolong istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Istri pun demikian, tak tertutup kemungkinan menolong menambah pendapatan anggaran rumah tangga dengan bekerja di instansi pemerintah, swasta, atau memiliki usaha sendiri. Semua pilihan terbuka lebar, tentu saja dengan berbagai konsekuensinya. Yang penting dari semua itu adalah tetap ingat tanggung jawab dan kodratnya sebagai perempuan.
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan untuk saling bersombong-sombong dan membanggakan diri, Allah menciptakan keduanya sebagai pelengkap satu sama lain. Demikian juga, Islam memberikan tanggung jawab, hak, kewajiban, serta peranan yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan agar tercipta keseimbangan, bukan untuk saling menjerat dan mengekang kebebasan.
Eksis di luar rumah
Perempuan Aceh era modern mulai berpikir untuk eksis di luar rumah seperti kuliah, bekerja, berorganisasi, berkumpul di sebuah kelompok sesuai minat dan bakat. Bahkan tak jarang yang berprestasi. Remaja perempuan Aceh zaman sekarang adalah remaja kreatif yang tak hanya pergi sekolah di pagi hari, pulang lalu menghabiskan sisa hari sampai esok menjelang paginya lagi.
Jadi, saya rasa sah-sah saja, jika perempuan nongkrong atau ngumpul bareng di warung kopi, cafe, dan sejenisnya, asal yang menjadi agenda dan topik pembicaraan adalah hal-hal positif menyangkut pengembangan dan pemberdayaan diri. Islam tidak melarang perempuan tampil cantik dengan mengikuti mode yang berlaku saat ini, asal tidak menyalahi aturan berpakaian yang dianjurkan agama yaitu tidak mengumbar aurat.