Opini

Aceh dalam Lintas Budaya Dunia

Dalam hikayat Sejarah Melayu karya Tun Seri Lanang (1565-1613 M) disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda pada

Editor: bakri
Oleh Nab Bahany As

Dalam hikayat Sejarah Melayu karya Tun Seri Lanang (1565-1613 M) disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda pada beberapa sahabatnya, yang bunyi sabdanya: “Pada akhir zaman kelak, ada sebuah nageri di bawah angin, namanya Samudera. Apabila kalian mendengar nama negeri Samudera itu segeralah kalian pergi ke sana dan bawa seisi negeri Samudera itu masuk Islam. Karena dalam negeri itu banyak wali Allah yang akan jadi.”

Negeri di bawah angin yang bernama Samudera yang dimaksudkan dalam Hadis Rasulullah itu adalah negeri Samudra Pasai dengan raja pertamanya yang diislamkan oleh Syarif Mekkah adalah Meurah Silu, yang setelah diislamkan diberi mana Sultan Mukul Saleh.

Jadi,  kalau benar Rasulullah pernah bersabda sebagaimana yang diceritakan Tun Seri Lanang dalam hikayat Sejarah Melayu itu (hadis ini juga perlu diteliti kembali kesahihannya) berarti Aceh termasuk dalam salah satu negeri yang paling mulia dari negeri-negeri lainnya di Nusantara, di Asia Tenggara, bahkan mungkin di dunia. Karena sejak masa Rasulullah, Aceh telah tersebut dalam hadis beliau sebagai negeri para waliyullah. Dalam beberapa hal, secara psikologis goegrafis, daerah Aceh memang berbeda dangan daerah-derah lain, terutama di kepulauan Nusantara, sehingga ada ungkapan: “Meunuang tanoh rayek that tuah, Aceh maruah bak mata donya”.  Hal ini menunjukkan bawa Bumi Aceh memiliki nilai lebih di mana sejak awal sejarahnya orang  mengagumi Aceh sebagai negeri dengan bumi yang sakral.

Itu yang pertama kelebihan yang dimiliki oleh daerah Aceh secara kesakralannya. Kedua, secara geografis Aceh  terletak pas di jalur lalulintas dunia yang menghubungkan dunia timur dengan dunia barat, yaitu Selat Malaka. Sebagaimana diketahui dalam banyak catatan sejarah bahwa sejak awal abad Masehi,  Selat Malaka yang terletak sepanjang pesisir timur wilayah Aceh telah menjadi jalur lalulintas internasional, di mana Aceh dalam pelayaran bangsa-bangsa dunia dulu telah dijadikan negeri sianggahan paling strategis, baik oleh para pedagang dunia, ataupun oleh para penyebar dakwah Islam dalam mengembangkan misi agamanya di daerah-daerah singgahannya. Dan Aceh ketika itu telah menjadi daerah transit berbagai bangsa di dunia yang mempergunakan Selat Malaka sebagai jalur utama pelayaran mereka menuju dunia belahan timur dan belahan barat.

Dalam catatan Ma Huan,  seorang pengembara yang ikut dalam rombongan penjelajahan dunia Laksamana Cheng Ho,  disebutkan, sejak awal abad ke-14 M, wilayah Aceh telah ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa yang singgah di bandar-bandar pelabuhan seperti Samudra Pasai, Pedir, dan Lambri (Lamuri). Cheng Ho sendiri dalam ekspedisi pelayarannya, menurut catatan Ma Huan, lebih dari empat kali singgah di Aceh. Pada saat itu Ma Huan menyaksikan bandar-bandar yang paling ramai di Aceh adalah Samudra Pasai, Pedir, dan bandar Lambri. Informasi Ma Huan ini menerangkan bahwa sejak abad ke-14 M, Aceh sudah menjadi daerah yang terbuka luas bagi berbagai bangsa di dunia.

Oleh karenanya,  tidak mengherankan bahwa  pada abad ke-16 merupakan  puncak  masa kejayaan peradaban Aceh dengan kemajuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, politik, budaya, pemerintahan dan keamanan. Aceh saat itu telah menjadi sebuah wilayah di Nusantara dan Asia Tenggara yang sangat kosmopolit. Artinya, Aceh saat itu telah menjadi sebuah negeri pergaulan antar budaya bangsa yang sangat global. Keterbukaan inilah yang mengantarkan Aceh menjadi salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia. Sebagaimana dicatat oleh ahli sejarah dari Amerika Wilfred Canwell Smith (1959) dalam bukunya Islam in Modern History, Smith menyebutkan bahwa  pada abad ke XVI telah lahir lima besar kerajaan Islam di dunia, yaitu kerajaan Maroko di Afrika Utara, kerajaan Turki Umaniyah di Asia Kecil, kerajaan Agra di  Anak Benua India, kerajaan Isfahan dan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara.

 Latar sejarah itu memperlihatkan betapa Aceh telah memainkan peranan besar dalam lintasan budaya antarbangsa yang telah pernah berlangsung di Aceh pada abad-abad yang silam. Karenanya, ahli sejarah Asia Tenggara Prof Anthony Reid menilai kejadian tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004 adalah sebuah pengulangan sejarah kebangkitan kosmopolitanisme kedua di Aceh. Tsunami  telah membuat Aceh kembali menjadi sebuah daerah yang sangat kosmopolit, karena berbagai bangsa di dunia dengan alasan kemanusiaan berduyun-duyun datang ke Aceh. Sesungguhnya suasana kosmopolitanisme yang dialami Aceh setelah tsunami 2004 pernah berlangsung di Aceh sejak 400 tahun silam.

Sebetulnya kita menyadari bahwa di satu sisi masyarakat Aceh menginginkan Aceh kembali jaya. Namun, di sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa kegemilangan yang telah berlangsung di Aceh tidak mungkin terulang lagi seperti sediakala. Karena semua itu adalah hukum alam dalam gerak sejarah perubahan peradaban manusia. Peradaban sebuah bangsa ada kalanya maju dan mencapai puncak kejayaan, kemudian mundur dan jatuh karena berbagai faktor perubahan yang tak mungkin dicegah dan dihindari oleh manusia pendukung peradaban itu sendiri. Bagimana hebatnya peradaban Islam yang dibangun Khalifah Umayyah di Andalusia, Khalifah Abbasiyah di Bagdad, dan Khalifah Usmaniyah di Turki. Selama lebih dari 12 abad peradaban Islam  berjaya di dunia, tapi  akhirnya harus mengalami kemunduran akibat berbagai faktor.

Demikian pula kejayaan peradaban Aceh. Setelah mengalami puncak kejayaannya pada abad ke-16 M, akhirnya runtuh seiring bubarnya kesultanan kerajaan Aceh. Dan kita tidak mungkin lagi mengulangi sejarah itu sebagaimana yang kita inginkan. Kita tidak mungkin lagi memberlakukan aturan-aturan hukum yang membesarkan peradaban Aceh hari ini sebagaimana tercantum di undang-undang sistem pemerintahan Aceh masa lalu,  seperti diatur dalam Qanun Muekuta Alam atau Qanun Al-Asyi dulu.

Peratuan kita dalam membangun Aceh sekarang adalah Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, yang tidak boleh keluar dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Dengan undang-undang inilah, Pemerintah Aceh beserta segenap komponen masyarakat pandai-pandai memanfaatkan peluangnya untuk membangun kembali  masa depan Aceh. Paling tidak, dengan UUPA nomor  11/Tahun 2006, Aceh harus dapat mengembalikan identitas keacehannya yang bermartabat tinggi, disegani, dan diperhitungkan oleh bangsa lainnya.

Nab Bahany As, Budayawan, tinggal di Banda Aceh

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved