Opini
Puasa Blokade Kezaliman
RAMADHAN kembali mendatangi kita umat Islam di seluruh penjuru dunia, membawa sejuta janji manis bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa
RAMADHAN kembali mendatangi kita umat Islam di seluruh penjuru dunia, membawa sejuta janji manis bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dengan tulus, lurus dan lulus satu bulan. Meskipun hanya satu bulan saja, akan tetapi puasa merupakan bekal yang dapat mengontrol keseimbangan antara ruh dan raga, dunia materi dan spiritual selama satu tahun.
Puasa bukan hanya sekedar ritual tahunan, mekanik, rutinitas menahan lapar dan haus serta hasrat seksualitas dari waktu imsak (subuh) sampai magrib. Bahkan jauh dari itu, puasa pada dasarnya mengandung makna yang lebih umum dan universal yaitu menahan atau mengekang (al-imsak) dari segala hal yang buruk, nista dan negatif. Pengekangan dapat diartikan sebagai pengekangan pada dan bagi diri sendiri, atau pengekangan pada prilaku orang lain yang semena-mena, atau lebih luas lagi pengekangan pada sistem pemerintahan yang zalim dan korup. Sejatinya pesan yang ingin disampaikan puasa dalam bulan Ramadhan adalah dinamisasi diri, pembenahan segenap aspek, melalui pengekangan nafsu ankara murka.
Pengekangan pun adalah upaya membentuk kesiapan mental manusia untuk menunda kesenangan sesaat di dunia, dan mengutamakan budi luhur yang memancar dari dalam diri yang kemudian memancarkan cahaya ke luar, demi terciptanya pencerahan diri, lingkungan dan masyarakat. Menjauhkan diri dari ketergesa-gesaan yang menghalalkan segala cara, karena ketergesa-gesaan merupakan salah satu musuh utama yang bersemayam dalam diri manusia yang diselimuti nafsu, yang hendak diperangi oleh puasa yang berorientasi pada pengekangan.
Jalan pintas
Sebab ketergesa-gesaan akan memusnahkan akal sehat, membutakan nurani, menghalalkan segala cara demi tercapainya target pemuas hasrat, dan sudah barang tentu akan berdampak negatif bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam satu kaidah fikih diajarkan; “Man ta’ajjala syaian qabla awanihi, `uqiba bi-hirmanihi” (barang siapa yang tergesa-gesa meraih sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan terhalangi atau tidak akan dapat meraihnya).
Budaya korupsi yang kian hari kian menjamur di negeri ini, merupakan salah satu dari sekian banyaknya sikap ketergesa-gesaan dari manusia, demi mencapai kemakmuran hidup secara cepat, tanpa peduli dengan jeritan suci hati nurani yang telah dilindas dan ditekannya sendiri. Jalan pintas pun dianggap pantas untuk menuju posisi penting yang diinginkannya. Harga diri dan kehormatan sejati semakin terkikis oleh obsesi keinginan cepat makmur, cepat kaya, terpukau oleh gemerlapnya posisi dan jabatan yang strategis.
Di satu sisi, fenomena hidup hedonisme dan kapitalisme yang membentuk masyarakat manusia modern adalah masyarakat pasar. Pangsa pasar diposisikan sebagai obyek iklan-iklan produk-produk kapitalisme, dan di sisi lain kebutuhan hidup terkadang tidak selaras dengan penghasilan telah menggoda dan kemudian “sering kali” menggerogoti prinsip-prinsip mulia dan agung. Puasa yang meniscayakan adanya kontrol diri dan pengekangan, hendak mengembalikan manusia pada kehidupan yang alami, bekerja secara wajar, dan meraih segala sesuatu dengan penuh kesabaran, ketabahan, kewaspadaan dan melalu proses pengekangan diri dari segenap hal yang merugikan.
Pesan puasa yang sejati adalah pesan yang menggerakkan, bukan pesan statis dan stagnan. Sebab, puasa berisi sebuah kritik, protes, dan pemblokadean segenap kezaliman dalam proses akselerasi peradaban manusia. Terbukti kita sering melihat fenomena protes para pekerja yang di-PHK atau bawahan, mahasiswa yang berdemonstrasi dengan bentuk “mogok makan”. Lantaran mogok makan merupakan lambang atau simbol protes akan kebijakan yang tak berpihak pada kemaslahatan umum yang mensejahterakan.
Sebagaimana mogok makan, puasa pun mengandung pesan penegakan keadilan. Lantaran makna terdalam dari pengekangan adalah menata ulang sebuah aturan agar tercipta keadilan yang mencita-citakan sikap proporsional, menahan diri dari sikap semena-mena dengan mengambil yang bukan haknya dan memberikan hak dan kewajiban yang sesuai dan pantas. Karena puasa merupakan sarana pembentukan karakter adil bagi yang melaksanakannya dengan tulus dan penuh penghayatan.
Kemudian, ibadah puasa merupakan ibadah yang bersifat pribadi, tidak ada yang tahu kualitas dan kedalaman puasa seseorang, kecuali Allah. Apakah kita bersungguh-sungguh melaksanakan puasa ataukah tidak, orang yang bersangkutan akan lebih tahu dan merasakannya, mengingat aktivitas ibadah itu sesungguhnya sangat bersifat pribadi. Meski bersifat pribadi, dari semua ibadah dalam Islam dituntut agar membuahkan kebaikan sosial.
Pesan moral
Memang, kita tidak bisa menarik garis lurus dan mengharapkan puasa untuk memberantas korupsi, karena ibadah puasa lebih bersifat individual dan komunal, sementara korupsi berada pada ranah birokrasi dan pelanggaran hak-hak publik. Jadi, ibadah puasa hanya bisa memberikan pesan dan kekuatan moral, namun lembaga eksekusinya adalah instrumen negara. Tanpa penegakan hukum dan keadilan secara konsisten dan tegas, perilaku keberagamaan seseorang tidak efektif untuk memberantas korupsi.
Dengan menghayati dan menjalani ibadah puasa, seseorang diharapkan senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan, kejujuran, kedamaian, dan kenyamanan kepada siapa saja yang berada di sekitarnya. Jadi, sungguh ironis kalau sebuah bangsa yang rajin berpuasa namun juga senang melakukan korupsi dan bertengkar.
Kita berharap, dengan momentum bulan Ramadhan ini dan dengan pesan-pesan yang ada dalam ibadah puasa, pemblokadean segenap kezaliman dalam proses akselerasi peradaban manusia terlaksana dengan baik di negara ini. Semoga!
* Tabrani ZA Al-Asyhi, Peneliti pada SCAD Independent, dan Mahasiswa Islamic Studies Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Alumnus Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh. Email: tabrani_za@ymail.com