Opini

Warkop: Antara Geliat Ekonomi dan Ancaman Masa Depan Remaja

Dari pusat kota hingga pelosok kampung, dari jalan utama hingga gang sempit, warkop hadir dengan berbagai rupa

Editor: mufti
IST
Dr Abdul Wahid Arsyad MAg, Dosen Prodi Ilmu Hadis dan Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry 

Abd. Wahid Arsyad, Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry

WARKOP atau warung kopi kini menjamur hampir di setiap sudut kota dan desa. Dari pusat kota hingga pelosok kampung, dari jalan utama hingga gang sempit, warkop hadir dengan berbagai rupa—dari yang sederhana beratapkan seng hingga berkonsep modern yang menyasar kalangan milenial dan gen Z. Fenomena ini menandakan geliat ekonomi masyarakat, khususnya sektor UMKM.Warkop menghadirkan lapangan kerja, menjadi tempat bersosialisasi, ruang berdiskusi, hingga tempat tumbuhnya komunitas-komunitas kreatif. Aktivitas ekonomi pun menggeliat, uang berputar, dan masyarakat lokal bisa menikmati manfaat langsung dari pertumbuhan ini. Tak bisa disangkal, warkop telah menjadi bagian dari denyut kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat masa kini.

Namun, di balik geliat itu, tersimpan kegelisahan yang tak bisa dikesampingkan. Pertumbuhan warkop yang luar biasa ternyata membawa serta sisi gelap yang mengkhawatirkan, terutama bagi kalangan remaja. Warkop bukan lagi sekadar tempat ngopi, tapi telah bertransformasi menjadi ruang bebas yang nyaris tak terawasi, tempat remaja menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan hingga larut malam. Dalam banyak kasus, warkop menjadi tempat "pelarian" dari rumah, tempat di mana pengawasan orang tua terputus, dan kontrol sosial masyarakat nyaris hilang. Di titik inilah muncul kegelisahan: apakah warkop telah mengambil alih fungsi rumah dan lingkungan?

Kita menyadari, sebagian remaja tidak memiliki akses ruang berekspresi yang memadai. Banyak desa dan bahkan kota kekurangan ruang terbuka yang sehat bagi anak muda untuk belajar, berinteraksi, dan menyalurkan energi produktifnya. Akibatnya, warkop menjadi pilihan utama. Sayangnya, tidak semua warkop didesain dengan visi membangun. Banyak yang justru menjadi tempat berkembangnya perilaku menyimpang. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyediakan alternatif ruang publik yang lebih sehat dan mendidik bagi generasi muda.

Hal yang lebih mencemaskan, banyak aktivitas negatif yang kini menjangkiti ruang-ruang warkop. Judi online, misalnya, menjadi salah satu penyakit sosial yang menjalar dengan cepat. Remaja yang tampak serius menatap layar laptop atau gawainya ternyata bukan sedang belajar, melainkan menanti hasil pertandingan virtual tempat mereka mempertaruhkan uang.

Tidak sedikit pula yang larut dalam dunia game online selama berjam-jam tanpa jeda, menyita waktu, energi, dan perhatian mereka dari kehidupan nyata. Dalam kasus tertentu, warkop juga menjadi tempat khalwat terselubung—pertemuan bebas antara laki-laki dan perempuan yang bisa berujung pada pelanggaran norma agama dan sosial. Jika ini dibiarkan, maka warkop dapat menjadi titik awal kehancuran karakter generasi muda.

Kondisi ini jelas mengundang keprihatinan kita semua. Bukan karena kita anti terhadap warkop, melainkan karena kita menyadari bahwa ruang yang pada mulanya positif bisa menjadi destruktif jika tidak dikelola dengan baik. Di sinilah kita harus mengambil sikap: antara mendukung tumbuhnya ekonomi kerakyatan dan menjaga generasi muda dari jurang penyimpangan. Harus ada keseimbangan antara semangat mendukung UMKM dan tanggung jawab menjaga tatanan sosial. 

Ekonomi tidak boleh tumbuh di atas reruntuhan moral. Perlu ditegaskan bahwa tanggung jawab ini tidak hanya berada di tangan pemilik warkop. Benar, mereka berperan dalam menyediakan fasilitas dan kenyamanan bagi pengunjung, namun kontrol utama tetap berada di tangan orang tua dan keluarga. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali peran keluarga sebagai institusi pertama dan utama dalam pendidikan moral dan sosial anak. Keluarga adalah tempat pertama anak belajar nilai, batas, tanggung jawab, dan makna kehidupan. Jika keluarga lemah, maka masyarakat pun akan mudah rapuh dalam menghadapi tantangan zaman.

Orang tua tidak boleh abai hanya karena anak sudah remaja atau dianggap cukup dewasa. Justru pada fase inilah anak sangat membutuhkan bimbingan, pendampingan, dan teladan. Jika anak sering nongkrong di warkop hingga tengah malam tanpa alasan yang jelas, itu adalah tanda bahaya. Jangan tunggu sampai mereka terjerumus dalam kecanduan digital, pergaulan bebas, atau praktik ilegal baru kita bertindak. Pencegahan jauh lebih mudah daripada mengobati kerusakan yang sudah terjadi. Sayangnya, banyak orang tua yang baru sadar ketika semuanya sudah terlambat.

Keluarga harus membangun komunikasi yang sehat dengan anak. Bukan sekadar mengawasi, tapi juga mendengarkan, memahami, dan menanamkan nilai. Rumah harus menjadi tempat yang nyaman, bukan ruang interogasi. Ketika anak merasa dihargai dan dicintai, mereka akan lebih mudah diarahkan. Sebaliknya, ketika rumah hanya menjadi tempat tidur dan makan, warkop akan menjadi "rumah kedua" yang lebih menarik—bebas, tanpa batas, dan tanpa pertanggungjawaban. Keteladanan dalam keluarga adalah kunci untuk membentuk benteng pertahanan moral anak di luar rumah.

Aktivitas positif

Tak kalah penting adalah peran tokoh masyarakat dan pemerintah daerah. Regulasi tentang jam operasional warkop, pengawasan terhadap aktivitas pengunjung, serta edukasi kepada pemilik warkop sangat diperlukan. Pemerintah bisa membuat kebijakan agar warkop tidak beroperasi 24 jam, kecuali dengan izin khusus dan pengawasan ketat. Selain itu, mendorong pemilik warkop untuk menyediakan ruang yang mendidik—seperti pojok baca, wifi edukatif, atau agenda diskusi komunitas—dapat menjadi jalan tengah yang produktif. Semua pihak harus menyadari bahwa ruang publik harus mengandung nilai publik.

Kita tidak bisa membendung arus digital, tapi kita bisa mengarahkannya. Jika remaja tetap menjadikan warkop sebagai tempat favorit, maka mari kita ubah warkop menjadi ruang yang ramah anak muda—bukan hanya untuk ngopi dan bermain, tapi juga untuk tumbuh dan belajar. Misalnya, menghadirkan fasilitator remaja, komunitas belajar, atau guru informal yang dapat mengisi ruang-ruang kosong dengan aktivitas positif. Kreativitas pemuda bisa diarahkan dengan bimbingan dan kesempatan yang tepat. Kita butuh “ekosistem” warkop yang sehat dan bernilai.

Di beberapa kota besar di Indonesia, sudah mulai muncul warkop-warkop edukatif yang menyatukan konsep ngopi, literasi, dan komunitas. Ini bisa menjadi model yang kita adaptasi di Aceh. Alih-alih menjadi tempat penyimpangan, warkop bisa menjadi ruang kreativitas, tempat anak-anak muda belajar menulis, berdiskusi, berlatih public speaking, atau berorganisasi. Pemerintah daerah bisa memberikan insentif dan penghargaan bagi warkop yang menerapkan konsep ramah remaja dan ramah literasi. Inisiatif seperti ini patut diperbanyak, bukan hanya dipuji.

Dalam kerangka ekonomi Islam, usaha seperti warkop adalah bagian dari usaha kecil yang diberkahi—selama tidak melanggar etika dan syariat. Maka pelaku usaha pun seharusnya mengambil peran bukan hanya sebagai pencari untung, tapi juga sebagai penjaga moral sosial. Karena keberkahan rezeki bukan hanya pada jumlah yang diperoleh, tapi pada manfaat dan kebermanfaatan usaha tersebut bagi masyarakat sekitar. Wirausaha dalam Islam menekankan tanggung jawab sosial selain keuntungan finansial. Sebab, keberhasilan sejati adalah ketika untung bertemu maslahat.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved