Dayah Darul Ulumuddiniyah, Abdya
Syeikh H Abdussalam Ghaliby Guru Mursyid Suluk
SABAN tahun, memasuki bulan Ramadhan, Dayah/Pesantren Darul Ulumuddiniyah di Desa Rambong, Kecamatan Setia, Kabupaten Aceh Barat
“Ramadhan tahun ini (1433 Hijriah), peserta ahli suluk mencapai 270 orang, sementara tahun lalu berjumlah 210 orang,” kata Abuya Syeikh H Abdussalam Ghaliby kepada Serambi, Jumat (3/8) malam.
Saking banyak peserta suluk tahun ini, pihak panitia harus menggunakan teras-teras dayah, dan teras rumah pimpinan dayah sebagai bilik para ahli suluk. Para ahli suluk tersebut selain dari Kabupaten Abdya, juga datang dari Kabupaten Aceh Selatan, Nagan Raya, Gayo Lues, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Aceh Jaya. Sebagian besar di antara mereka melaksanakan ibadah suluk sejak 1 Ramadhan 1433 Hijriah.
Menurut Abuya Abdussalam, jumlah peserta suluk akan terus bertambah. Karena masih ada dua gelombang lagi yang akan mendaftar. Mereka adalah peserta yang akan mengikuti ibadah suluk selama 15 hari akan mendapat pada 15 Ramadhan, dan mereka yang mengikuti suluk selama 10 hari akan mendaftar pada 20 Ramadhan mendatang.
Ibadah suluk selama pada Ramadhan dibagi tiga tingkatan. Suluk 30 hari dimulai sejak 1 sampai 30 Ramadhan, suluk 15 hari sejak 15 sampai 30 Ramadhan dan Suluk 10 hari dimulai sejak 21 sampai 30 Ramadhan. “Makanya, jamaah ahli suluk akan bertambah pada 15 dan 20 Ramadhan mendatang,” ungkap Abuya Abdussalam Ghaliby.
Peserta yang mengikuti ibadah suluk lebih dominan warga lanjut usia (lansia). Mereka adalah penganut Tariqat Islam Mu’tabarah Nagsyabandiyah. Ibadah suluk dibimbing langsung oleh Syech H Abdussalam Ghaliby sebagai guru mursyid, dibantu Sadul Khulafak atau asisten guru mursyid. Dalam beribadah, mereka berzikir dalam bilik yang dinamakan “kubur”. Mereka sangat jarang tidur, kalau pun tidur secara tidak sengaja pada saat berzikir.
Selama melaksanakan ibadah suluk, peserta tidak memakan makanan dari bahan yang mengandung darah, melainkan lebih banyak sayur-sayuran atau nasi putih tok dan air putih sebagai kuah. ”Larangan memakan makanan dari bahan yang mengandung darah bertujuan untuk mengekang hawa nafsu,” ungkap Abuya Abdussalam.
Karena selama melaksanakan ibadah suluk, peserta hanya semata-mata melaksanakan amal kebijakan (takhalli dan tahalli), dan meninggalkan semua urusan duniawi. Begitu pun, dalam upaya menyegarkan stamina ahli suluk yang rata-rata berusia lanjut tersebut, dibolehkan memakan makanan yang dipantangkan dalam acara buka larang yang waktunya ditetapkan pada 15 Ramadhan (zainun yusuf)