Myanmar Belajar Damai ke Aceh
Konflik bersenjata antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berakhir damai melalui penandatanganan MoU Helsinki
BANDA ACEH - Konflik bersenjata antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berakhir damai melalui penandatanganan MoU Helsinki pada 2005 menjadi inspirasi bagi Pemerintah Myanmar. Kepala negara itu mengirimkan delegasinya ke Aceh dalam rangka mencari masukan guna mengakhiri konflik bersenjata antara etik pemberontak dengan pemerintah setempat yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Kami ingin belajar bagaimana mencapai satu perdamaian yang utuh seperti yang terjadi di Aceh,” kata Penasehat Politik Utama Presiden Myanmar Mr Ko Ko Hlaing saat bertemu dengan Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang kala itu menjadi Mantan Panglima GAM.
Pertemuan berlangsung di ruang kerja Wagub, Rabu (19/9) dihadiri delegasi Pemerintah Myanmar dipimpin Mr Ko Ko Hlaing didampingi staf Kemenlu RI, Soisongko.
Menurut Mr Ko Ko, saat ini di Myanmar terdapat 18 kelompok yang mengangkat senjata melawan pemerintah. Dari 18 kelompok pemberontak tersebut, sebanyak 13 kelompok telah menandatangani perjanjian damai dengan Pemerintah Myanmar. Sedangkan satu kelompok lainnya sedang dalam proses negosiasi membuat kesepakatan damai.
Konflik etnik dengan pemerintah tersebut salah satunya melanda kawasan Karakan atau yang dikenal dengan Rakhine di wilayah Myanmar Barat. Di wilayah ini terjadi konflik antara umat Islam yang beretnis Melayu dengan penganut Budha yang beretnis Thai.
Menurut Mr Ko Ko, sekalipun 13 kelompok bersenjata di Myanmar telah menyatakan gencatan senjata namun hal itu tidak berarti konflik di Myanmar selesai. Pasca adanya kesepakatan damai, kata Ko Ko, masih banyak hal yang perlu dilakukan agar benih damai yang telah disepakati dapat terus dipertahankan.
Jujur dan ikhlas
Sementara itu Muzakir Manaf menceritakan pengalaman keterlibatannya dalam meretas damai di Aceh. Ia menjelaskan pra syarat utama terwujudnya fase damai pasca konflik adalah kejujuran dan keikhlasan para pihak. Semua tindakan dan sikap yang ditujukan untuk mewujudkan damai, menurutnya, harus dilandasi kejujuran dan keikhlasan.
“Tanpa kejujuran dan keikhlasan dan saling percaya antara para pihak, maka damai itu sulit diwujudkan,” kata mantan Panglima GAM itu.
Selain itu, kata Wagub, untuk mewujudkan proses perdamaian di Myanmar yang berkelanjutan, maka pelibatan pihak ke tiga dalam proses perdamaian merupakan sebuah keharusan. “Harus ada pihak ketiga yang memediasi konfilk di Myanmar,” saran Muzakir. (swa)