Opini
Keuleude Gulam Kitab
Aceh sebagai masyarakat yang berbudaya memiliki cara-cara tersendiri dalam mengungkapkan ide-ide yang berkembang dalam masyarakatnya
Aceh sebagai masyarakat yang berbudaya memiliki cara-cara tersendiri dalam mengungkapkan ide-ide yang berkembang dalam masyarakatnya. Ide-ide itu diungkapkan dengan cara yang halus sehingga jika suatu ungkapan, baik berupa nasihat maupun teguran ditujukan kepada seseorang, biasanya orang yang dituju tidak merasa tersinggung. Dalam kesusastraan Aceh, ungkapan-ungkapan demikian dinamakan hadih maja.
Kandungan hadih maja, antara lain berkenaan dengan nilai budaya masyarakat Aceh dalam berpikir, bernalar, bertindak, dan berkomunikasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Di antara ungkapan hadih maja adalah ungkapan, “Lagee keuleude gulam kitab (Seperti keledai memikul kitab).” Suatu perumpamaan kepada orang yang mempunyai ilmu, mengetahui, dan membawa kebenaran, tetapi tidak mengambil manfaat dari ilmu dan kebenaran yang diketahuinya.
Hadih maja tersebut merupakan ungkapan pendahulu kita pada waktu yang sudah lama, tetapi makna yang dikandung dalam hadih maja tersebut masih relevan kiranya untuk dibicarakan pada saat ini. Hal yang demikian disebabkan perilaku masyarakat Aceh yang dapat diamati tidak jauh dari perumpamaan keuleude gulam kitab.
Masyarakat Aceh adalah penganut ajaran Islam. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik melalui belajar, beramal, dan menasihati orang lain. Oleh karena itu, secara umum dapat dipahami bahwa masyarakat Aceh pada umumnya adalah orang yang belajar agama, sehingga mereka adalah orang yang mengetahui kebenaran. Namun, ilmu yang mereka pelajari ternyata bukan untuk diamalkan, tetapi hanya sekadar bahan studi, dialog, ceramah, seminar, perbandingan, dan perdebatan.
Hal yang demikian dapat diamati dalam setiap pembicaraan di berbagai tempat dan forum. Semua orang menyerang yang namanya kebatilan, tetapi dalam kenyataannya mereka juga yang melakukan kebatilan tersebut. Orang boleh saja berteriak begini-begitu, seperti ketika berkampanye, mungkin karena belum ada kesempatan. Begitu kesempatan itu ada ternyata ia mengingkari juga hati nuraninya.
Di Aceh begitu banyak orang yang berpendidikan tinggi hingga S3 dan lulusan dayah, baik lulusan dari dalam maupun luar negeri. Tetapi, keberadaan mereka ternyata belum dapat mewarnai perilaku kehidupan mulia di tengah masyarakat. Ironisnya, justru sebagian dari mereka yang berpendidikan tinggi, baik umum maupun agama yang membuat “onar” di masyarakat, seperti KKN, melanggar etika dan aturan lalulintas, narkoba, merokok di tempat umum, dan menerobos antrian. Nabi bahkan pernah berdoa kepada Allah atas tiga permasalahan, yaitu ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, dan rizki yang halal. Betapa banyak orang yang berilmu, tetapi terkadang justru dengan ilmunya ia tersesat dan menyesatkan.
Betapa banyak kita amati di masyarakat; orang yang menipu, memeras, mengurangi timbangan, dan menjual barang yang cacat dengan harapan mendapatkan untung yang bayak. Hingga kini ternyata belum hilang image di masyarakat bahwa untuk dapat bekerja di instansi, baik pemerintah maupun swasta harus dilalui proses permainan kotor. Jalan-jalan dengan alasan dinas dan studi banding dalam rangka meraup uang negara. Bahkan ada infomasi bahwa yang pergi dinas satu orang, tetapi membawa SPPD atas nama puluhan orang. Belum lagi manipulasi biaya perjalanan dengan menaikkan jumlah hari dan penginapan, bahkan ada yang tidak pergi dinas, tetapi ada laporan perjalanan dinasnya.
Dapat diamati pula bahwa setiap ada kegiatan (proyek), pelaksana proyek selalu berpikir bagaimana cara meraih sebagian bahkan seluruh uang proyek, bukan bagaimana cara melaksanakan kegiatan tersebut dengan sebaik-baiknya agar dirasakan manfaatnya oleh umat. Mengubah kuitansi dan mark up sudah menjadi makanan yang bukan luar biasa lagi bagi perilaku masyarakat kita. Bahkan ada sebagian orang dengan bangga mempertontonkan kerakusannya dengan cara melobi ke sana ke mari agar mendapatkan pembagian yang banyak.
Sudah banyak qanun dibuat dan berapa jumlah uang yang dihabiskan untuk membuat qanun, dengan harapan agar dapat diikuti dan ditaati. Berapa banyak uang yang sudah dihabiskan untuk bantuan pendidikan demi mencerdaskan otak manusia yang dengan itu diharapkan membawa perubahan bagi kemaslahatan masyarakat Aceh. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, kecerdasan otak digunakan untuk ‘mengakalin’ bagaimana melakukan penyimpangan dan penyelewengan secara canggih.
Kepekaan hati
Pada zaman yang mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini, kita memerlukan sentuhan-sentuhan budaya sebagai penyeimbang bagi perkembangan intelektual seseorang. Sebagai kaum intelektual dan beragama, kecerdasan dan kehalusan budi hanya dapat diperoleh melalui pendidikan, agama, dan pengalaman-pengalaman budaya. Oleh karena itu, agar hati selalu tajam dan peka terhadap permasalahan sosial, seharusnya selalu diasah dengan ilmu dan amal. Apabila tidak, dikhawatirkan hati akan jatuh sakit bahkan mati.
Sebagaimana diketahui bahwa kedudukan hati manusia bertingkat-tingkat. Ada hati yang hidup, hati mati, dan hati yang sakit. Hati yang hidup adalah hati yang ketika ditawarkan kepadanya kebatilan dan berbagai macam perbuatan keji. Dengan kesadarannya dia akan menjauh darinya dan membenci perbuatan-perbuatan tersebut, bahkan tidak condong sedikit pun kepadanya.
Berbeda halnya dengan kondisi hati yang mati. Sesungguhnya hati yang mati tidak akan bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud ra, “Celakalah bagi mereka yang tidak memiliki hati, yaitu hati yang bisa mengenal manakah kebaikan dan manakah keburukan.”
Selain itu, ada pula hati yang sakit, yaitu hati yang sakit karena terserang penyakit nafsu. Sesungguhnya hati yang demikian akan condong kepada keburukan yang ditawarkan kepada dirinya, disebabkan lemahnya hati tersebut. Kecondongannya terhadap kebatilan akan berbanding lurus dengan parah dan tidaknya penyakit yang bersarang di dalam hatinya.
Terkadang penyakit hati yang bersarang di dalam hati seseorang semakin bertambah parah dan sang pemilik hati tidak menyadarinya. Yang lebih parah, orang yang hatinya mati, tetapi dia tidak merasakan kematian hatinya.
Sungguh hal yang demikian, yaitu mati dan kerasnya hati ini merupakan bahaya yang besar, sebagaimana dikatakan oleh ulama besar Islam Malik ibnu Dinar, “Sesungguhnya Allah memiliki berbagai macam hukuman yang menimpa hati dan badan, yaitu sempitnya penghidupan dan lemah dalam beribadah, dan tidaklah ada sesuatu yang lebih bahaya menimpa seorang hamba melainkan kerasnya hati.” Keadaan orang seperti itu pula yang dikatakan oleh endatu kita, “Asai kalot dalam reukueng, adak beukarem, rangkeum diseuba (Asalkan bisa masuk ke dalam kerongkongan, duri, dan sampah pun ditelan).” Suatu perumpamaan kepada orang yang tidak memperhatikan lagi cara memperoleh rizki, jangankan yang syubhat , yang haram pun disikat.
Penulis adalah PNS pada BPNB Aceh-Sumut. E-mail: dirmanaceh@ymail.com