Opini

Wajah ‘Semrawut’ Politik Aceh

SECARA regional Aceh sering berulah (bertingkah-ed.) dengan induknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Editor: hasyim

Oleh Hasanuddin Yusuf Adan

SECARA regional Aceh sering berulah (bertingkah-ed.) dengan induknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang cenderung mengarah pada ‘permainan’ politik anarkis bahkan sampai harus mengangkat senjata. Lihat saja, misalnya, kasus Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang meletus pada 21 September 1953 dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang di-isytihar-kan pada 4 Desember 1976, sehingga Aceh ‘terjebak’ dalam perang dan konflik berkepanjangan dengan pusat.

Secara historis wajah politik Aceh masa lampau terkesan semraut, karena selain terjadi perseteruan dengan Jakarta juga terjadi pertarungan sesama anak bangsa seperti dalam kasus DI/TII, perang Cumbok dan Gerakan Aceh Merdeka. Perseteruan tersebut membuat wajah politik Aceh tempo doeloe kacau balau dan tidak menentu arah karena perseteruan itu tidak menguntungkan Aceh dan bangsanya, melainkan mendapatkan kemenangan tidak langsung kepada RI karena mampu mengajak Aceh ke meja perundingan dan mempertahankan eksistensi NKRI itu sendiri.

Wajah politik Aceh zaman kini terkesan semraut dikarenakan terjadi perseteruan antar kelompok dan etnis di Aceh. Di satu sisi para pejuang GAM yang sedang menikmati indahnya jabatan dan kekuasaan berkeinginan agar terus berada di tampuk kekuasaan sampai batas waktu maksimal. Di sisi lain pihak penentang sebagai pecahan GAM terus berupaya agar Pemilu 2014 nanti mereka bisa dominan menguasai kursi legislatif Aceh. Dan sisi lain pula yang merasa diri mantan GAM periode awal, kini mulai melangkahkan kakinya untuk eksis di tengah-tengah masyarakat Aceh. Perseteruan itu semua akan bermuara kepada hancurnya sistem demokrasi terutama dalam Pemilu 2014 dan runyamnya ukhuwah islamiah di Aceh untuk jangka waktu yang berkepanjangan.

Akibat dari semrautnya wajah politik Aceh semacam itu akan terjadi teror-meneror, ancam-mengancam, beli-membeli, tipu-menipu, dan paksa-memaksa menjelang pemilu, dalam pemilu, dan pasca-Pemilu 2014 nanti. Itulah wajah suram politik Aceh ke depan yang sulit dibendung dan dicari solusi karena masing-masing pihak merasa kuat, merasa benar, merasa memiliki dan merasa mampu. Padahal yang benar itu datangnya dari Allah Swt (al-haqqu min Rabbik fala takunanna minal mumtarin).

Beranjak dari pengalaman-pengalaman masa silam, pihak RI sangat mendambakan wajah politik Aceh yang semraut dan suram semacam itu, agar mereka dapat menjadi pihak ketiga yang diuntungkan oleh situasi dan kondisi. Lagi-lagi apabila situasi semacam ini yang muncul, maka yang sangat diuntungkan adalah pihak RI dan kerugiannya sudah barang tentu Aceh sendiri.

 Empat kekuatan besar
Dalam kegalauan sikap para politikus dan ketidak-menentuan arah politik Aceh semacam itu, langsung atau tidak langsung dapat kita petakan arah dan dominasi kekuatan politik Aceh ke depan akan berada pada empat kekuatan besar, yaitu: Pertama, Partai Aceh (PA) sebagai pihak yang tengah berkuasa saat ini; Kedua, Partai Nasional Aceh (PNA) yang sudah pernah berkuasa ketika Irwandi Yusuf menjadi Gubernur Aceh; Ketiga, para mantan GAM yang kini memunculkan sosok dr Husaini Hasan kehadapan publik, dan; Keempat, yang kini sedang ‘duduk manis’ tetapi bakal berkuasa secara ideologis di Aceh adalah kekuatan dayah Aceh.

Kekuatan pertama, kedua, dan ketiga, yang sama-sama mantan GAM diprediksikan akan bertarung hebat dalam menguasai Aceh ke depan dengan mekanisme dan polanya masing-masing. Melihat pengalaman sebelumnya, PA tentunya akan berusaha keras untuk mempertahankan kekuasaan dan kekuatan yang ada dengan cara apa pun. Intinya, kekuasaan yang sedang berada di tangan mereka hari ini tidak berpindah ke tangan lain, persoalan halal haram itu ditempatkan di luar ranah politik.

Walaupun itu gambaran dan analisa keinginan mereka, namun kondisi di lapangan hari ini sedikit berkata lain. Akibat adanya PNA dan hadirnya figur Husaini Hasan kembali di tengah masyarakat Aceh, maka sejumlah pengikut setia PA dapat beralih pandang kepada dua kekuatan baru tersebut. Sehingga diprediksikan pada Pemilu 2014 nanti PA tidak bakal mendominasi kursi DPRA dan DPRK, kecuali kalau peluang dan cara politik mereka yang kita sebutkan di atas tadi dapat dijalankan dengan mulus seperti masa sebelumnya.

Di samping itu, PA juga mengerti kalau pihak RI di Jakarta masih memperhitungkan kekuatan mereka, maka usaha dan upaya mereka adalah memenangkan Pemilu 2014 dengan cara apa saja walaupun nanti berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kalau berujung ke sana, pengalaman membuktikan merekalah yang selalu dimenangkan MK, termasuk kasus terbaru Pemilukada Pidie Jaya, kasus kelahiran Partai Aceh sendiri, kasus Wali Nanggroe, dan lainnya.

Sementara pihak PNA yang didominasi oleh mantan GAM yang pernah mendapat nikmat kekuasan masa Irwandi Yusuf berkuasa sebagai gubernur Aceh dahulu, di satu sisi merasa pesimis berhadapan dengan PA karena hari ini hampir seluruh pemerintahan di Aceh dikuasai PA, tetapi di sisi lain mereka terpaksa harus bergabung dengan PNA karena selain terutang budi dengan Irwandi juga sudah tersisih dari PA baik karena didominasi oleh sikap dan konsekuen dengan kebenaran sehingga keluar dari barisan PA maupun karena menyimpang dari garis perjuangan, sehingga didiskualifikasi dari PA.

Walau bagaimanapun, mereka sudah bertekad untuk mendobrak kebekuan politik Aceh yang didominasi PA hari ini dalam pemilu 2014 nanti selaras dengan hasil milad PNA kedua yang digelar pada pengujung 2013 lalu, di Banda Aceh. Mereka akan mengedepankan politik modern di Aceh dan melawan cara-cara politik premanisme sebagai wujud pembaharuan politik Aceh masa depan. Kalau mereka mampu mengembangkan isu-isu objektif dan logis disertai bukti nyata, ada kemungkinan mereka sanggup mengubah dan merombak kebekuan politik yang ada. Tetapi kalau modal (SDM, dana, saksi-saksi) tidak memadai akan sulit bagi mereka untuk mendobrak kekuatan politik PA.

Sementara kekuatan dr Husaini Hasan tidak bergerak dalam politik praktis karena mereka tidak membangun partai politik. Tetapi mereka berupaya menarik hati rakyat agar menyatu dengan mereka termasuk dengan meng-counter mulusnya pengukuhan Malik Mahmud menjadi Wali Nanggroe. Mereka ingin para mantan GAM yang kini berada di luar sistem pemerintah Aceh ikut mendapatkan ‘kue’ perdamaian sebagaimana mereka yang tengah berkuasa itu.

Mereka juga ingin memperlihatkan kepada bangsa Aceh bahwa GAM atau mantan GAM bukanlah orang-orang yang tengah duduk dalam barisan PA/KPA dan menguasai politik Aceh hari ini, melainkan mereka sendiri juga orang-orang GAM dan mantan-mantan GAM. Dengan demikian mereka langsung atau tidak langsung juga akan menjadi rival dan saingan berat bagi PA yang sedang berkuasa di Aceh hari ini.

 Kekuatan dayah
Sementara kekuatan lain yang bakal menguasai dan memiliki politik Aceh ke depan adalah pihak dayah tradisional yang ada dan komit dengan gerakan dayahnya di Aceh hari ini. Mereka tidak terlalu membuang waktu, tenaga, apalagi uang untuk mengejar kekuasaan dan menguasai politik Aceh. Tetapi secara perlahan mereka ‘bekerja keras’ untuk memasukkan kader-kadernya ke dalam jajaran struktur pemerintah Aceh, terutama posisi-posisi yang mereka punya sumber daya manusia (SDM)-nya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved