Opini
Syariah dari Kaca Mata ‘Development’
MENGIKUTI pemberitaan media lokal, nasional bahkan internasional, penerapan dan pelaksanaan syariat Islam
Oleh Hendri Yuzal
MENGIKUTI pemberitaan media lokal, nasional bahkan internasional, penerapan dan pelaksanaan syariat Islam di Aceh selama ini, lebih fokus kepada penegakan aturan terkait dengan perilaku menyimpang dari masing-masing pribadi masyarakat, seperti khalwat, khamar, dan maisir. Menyikapi hal ini, muncul beberapa pertanyaan; Apakah penegakan syariat Islam yang kaffah di Aceh hanya terfokus pada khalwat, khamar, dan maisir, serta peningkatan akhlak saja? Pernahkah kita berfikir tentang konsep besar perencanaan yang komprehensif untuk menjadikan Aceh layak dikatakan sebagai provinsi islami?
Dalam penegakan aturan, konsistensi memang sangat diperlukan untuk mencapai sebuah tujuan yang telah disepakati bersama. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemberitaan media juga akan mempengaruhi konsentrasi pemerintah untuk ikut menanggapi hal tersebut, sehingga bisa mengalihkan hal-hal krusial yang seharusnya menjadi fokus pembangunan di Aceh. Di sisi lain, tuntutan untuk mensejahterakan rakyat juga menjadi hal utama yang perlu perhatian lebih oleh pemerintah Aceh.
Di Aceh, kritik dan masukan yang terkait agama sangatlah sensitif, namun kita harus berhati-hati bagaimana kita menilai syariah itu sendiri dalam konteks pembangunan kedepan. Perlu kita sadari bersama bahwa tidak mudah memisahkan kompenen transformasi ‘kekinian’ yang bahwa agama cukup besar pengaruhnya terhadap keputusan ekonomi, sosial, politik dan hukum dalam konteks penetapan sebuah daerah berstatus syariah.
Membenahi pembangunan
Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Rehman dan Askari yang pernah diangkat sekilas di rubrik Opini Serambi Indonesia oleh Marthunis Muhammad pada 2011 lalu, ternyata cukup sesuai konteks dibahas kembali lebih detail. Penelitian yang bertema How Islamic are Islamic Countries, sangat sesuai untuk merefleksi kondisi Aceh saat ini. Meskipun indikator yang digunakan bersifat global, namun banyak komponen yang bisa diadopsi untuk terus membenahi sistem pembangunan di Aceh.
Mereka menilai sejauh mana negara-negara Islam benar-benar berperilaku mengikuti ajaran Islam dari Alquran dan hidup sesuai prilaku Nabi? Dengan kata lain, apakah negara-negara ini benar-benar Islam atau mereka Islam dalam nama saja? Selandia Baru yang bukan negara Islam, bisa berada di urutan pertama negara yang paling Islami di antara 208 negara, termasuk 56 negara muslim yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) di dalamnya. Sedangkan Indonesia --termasuk Aceh-- yang mayoritas penduduknya muslim menempati urutan ke-140.
Ada lima poin besar yang dijadikan indikator: Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia; Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial; Ketiga, hak asasi manusia dan hak politik; Keempat, sistem perundang-undangan dan pemerintahan, dan; Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan komunitas non-muslim.
Sebaliknya, Prof Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pernah memberikan tanggapan terkait hasil penelitian tersebut, seandainya indikator yang digunakan ditekankan pada aspek ritual-individual, maka Indonesia bisa menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Indonesia memiliki jumlah jamaah haji yang setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh, pengajian dan dakwah semarak di berbagai stasiun televisi. Ditambah lagi dengan kontribusi dari ormas dan parpol Islam yang semakin tumbuh banyak.
Namun, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-muslim yang perilakunya lebih Islami. Lebih spesifik lagi, masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain justru makin sulit ditemukan di Indonesia. Ditambah lagi dengan contoh pertikaian politik yang terjadi di Aceh saat ini yang memakan korban, terbukti bahwa kita belum siap menjalankan prinsip-prinsip dasar syariah. How islamic are islamic political parties?
Di sisi lain, good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) diharapkan dapat menjawab semua persoalan selama ini. Good governance dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab penggunaan otoritas politik untuk mengelola urusan pemerintahan. Tata kelola pemerintahan yang baik berkaitan erat dengan pelayanan publik yang profesional, supremasi hukum, perlindungan atas hak asasi manusia (HAM), berkurangnya korupsi di pemerintahan, administrasi dan transparansi, pengambilan keputusan yang demokratis, sebuah tatanan ekonomi yang adil dan egaliter, dan devolusi dan desentralisasi pemerintahan yang sesuai.
Namun, dari epistemologi syariah, tata pemerintahan yang baik melibatkan tiga elemen penting, yakni keadilan, konsultasi dan persamaan hak atas hukum. Sementara itu keadilan dalam terminologi ini semua mencakup administratif sosial dan ekonomi, syariah mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat dan mengatur kewenangan pemerintah dalam kaitannya dengan kebebasan subyektif. Menurut Badamasiuy (2011) sistem syariah menjadi sistem konstitusional yang kedaulatan ada pada Maha Pencipta, otoritas pemerintah tidak pada setiap individu dan otokrat raja, tetapi pada masyarakat melalui wakil-wakil mereka, dan konsultasi dan keputusan hasil konsensus harus dipertahankan sebagai dasar tata pemerintahan yang baik.
Apa yang terjadi sekarang di Aceh, masih banyak perilaku sosial yang jauh dari ajaran Islam seperti korupsi masih ada, kesejahteraan tidak merata, dan ketidakmerataan hak atas pelayanan publik. Oleh karena itu, untuk memperbaiki hal tersebut perlu pemahaman yang mendalam bagi para pengambil keputusan di Aceh untuk memahami pentingnya karakteristik dari tata kelola yang baik dengan menyertakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, pemerataan, dan sosialisasi aturan hukum.
Mewujudkan ‘Islamic City’
Menurut Mahdi Jamalinezhada (2011), Islamic City (kota islami) adalah kota yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip Alquran dan ajaran Nabi, sementara itu Muslim City adalah kota di mana tempat muslim tinggal. Beberapa aturan penting yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan Islamic City, juga mengikuti standar Islamicity Index. Sebagai tambahan, kota Islam juga mencerminkan struktur sosial-budaya, topologi dan struktur ekonomi, sehingga dapat memberikan ruang bagi orang untuk bebas dari masalah lingkungan sehingga mereka dapat beribadah kepada Allah dengan mudah.
Banda Aceh merupakan satu kota Islam tertua di Asia Tenggara yang dulunya sebagai ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam konteks lebih spesifik, Banda Aceh sekarang sebagai ibu kota Provinsi Aceh seharusnya dapat menjadi contoh untuk implementasi syariat Islam di Aceh, dan dijadikan sebuah pilot dan model bagi daerah lain. Apabila dilihat dari perspektif Islamicity Index, Pemko Banda Aceh secara umum bisa dikatakan sudah memenuhi hampir semua kriteria dari indikator yang telah ditetapkan sebagai dasar penilaian.
Bukti di lapangan, banyak terobosan yang telah dilakukan oleh pemerintah kota dalam rangka mendukung penegakan syariah islam untuk mencapai tujuan menjadi model Islamic City yang dicirikan oleh masyarakatnya yang taat dan patuh. Kota Banda Aceh merupakan satu-satunya kota dari 23 kabupaten/kota di Propinsi Aceh yang berhasil meraih anugerah Adipura sebanyak enam kali dalam 8 tahun ini. Ditambah lagi Banda Aceh meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) lima kali secara berturut-turut terhadap laporan keuangan tahun 2008, 2009, 2010, 2011 dan tahun 2012.