Kupi Beungoh
Gula Darah Melonjak, Tubuh Mengirim Sinyal Bahaya
Kadar glukosa yang meningkat membuat darah lebih kental, menghambat aliran oksigen ke jaringan, sehingga tubuh mudah lelah dan otot terasa berat.
Oleh: Prof. Dr. dr. Rajuddin, SpOG(K), Subsp.FER
Seorang pasien laki-laki umur 54 tahun, datang dengan keluhan sederhana: “badan tidak enak, pegal-pegal, cepat lelah.” Keluhan yang bagi banyak orang dianggap biasa, cukup ditangani dengan pijat atau istirahat semalam.
Namun hasil pemeriksaan kesehatannya bercerita lain: gula darah puasa 213 mg/dL, HbA1c 13,2 persen, lingkar perut 96 cm, denyut nadi 96 per menit, dan ureum yang meningkat.
Data itu berbicara lebih lantang daripada keluhan. Tubuhnya sedang bekerja keras menanggung hiperglikemia berat yang tidak disadari.
Kasus ini bukanlah satu-satunya. Ia adalah wajah dari jutaan masyarakat Indonesia yang hidup dalam “zona bahaya diam-diam”: kondisi pra-komplikasi diabetes yang tidak terasa, tidak dramatis, tetapi menggerogoti tubuh sedikit demi sedikit.
Kita terbiasa melihat penyakit sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa sakit, padahal banyak penyakit kronis justru berbahaya karena tidak menimbulkan nyeri di awal. Dan hari ini, diabetes adalah salah satu “silent killer” paling nyata.
Kasus ini pasien tidak tampak sakit. Tekanan darahnya masih normal, suhu tubuh normal, oksigen baik. Namun angka-angka laboratorium tidak pernah berbohong.
Baca juga: Fakta Baru Sri Yuliana Penculik Bilqis di Makassar, Pernah Jual 3 Anak Kandung Rp300 Ribu
Tubuh Sudah Berbicara, Kita Tidak Mendengarnya
Rasa lelah yang datang lebih cepat, nyeri otot ringan, sering haus, atau frekuensi buang air kecil yang meningkat sering kali dianggap gangguan sepele. Namun pada seseorang dengan obesitas sentral (lingkar perut 96 cm) dan indeks massa tubuh 24,5 keluhan-keluhan kecil itu bisa menjadi pesan biologis yang tidak boleh diabaikan.
Kadar glukosa yang meningkat membuat darah lebih kental, menghambat aliran oksigen ke jaringan, sehingga tubuh mudah lelah dan otot terasa berat.
Ginjal pun bekerja ekstra untuk membuang kelebihan glukosa melalui urin. Tidak mengherankan bila ureum mencapai 50 mg/dL sebuah tanda bahwa organ filtrasi utama mulai menanggung beban metabolik tambahan.
Takikardia ringan nadi 96 kali per menit bukan sekadar angka, melainkan respons kompensasi tubuh terhadap terganggunya keseimbangan metabolik. Dengan kata lain, tubuh sedang mengirim sinyal peringatan dengan sangat jelas. Yang sering terjadi bukan karena tubuh tidak berbicara tetapi karena kita memilih tidak mendengarkannya
Baca juga: Menkeu Gaspol Kejar Penunggak Pajak, Purbaya Kini Ditantang Tagihan Rp 4,4 Triliun Keluarga Soeharto
Masyarakat dan Ilusi “Saya Baik-Baik Saja”
Profil klinis pasien ini mencerminkan pola yang sangat umum di masyarakat urban dan semi-urban Indonesia. Banyak orang menjalani hidup dalam ritme yang cepat: bekerja panjang, makan tidak teratur, kurang tidur, minim aktivitas fisik. Sehat lalu dipersepsikan sekadar sebagai kondisi tanpa keluhan, bukan sebagai keseimbangan fungsi tubuh yang terjaga.
Kesalahan terbesar kita adalah menjadikan perasaan sehat sebagai indikator kesehatan. Padahal banyak penyakit kronis bekerja senyap tanpa memberi tanda. Gangguan ginjal tidak menimbulkan nyeri hingga stadium lanjut.
Kolesterol tinggi tidak memberi sinyal apa pun. Diabetes dapat berjalan 5–10 tahun tanpa gejala. Penyakit hati berlemak berkembang perlahan tanpa sensasi apa pun.
Kita hidup di era ketika penyakit metabolik tidak lagi datang dengan gejala dramatis, melainkan bergerak diam-diam seperti peretas yang merusak sistem dari dalam tanpa disadari. Dan ketika gejalanya muncul, sering kali kerusakan sudah terjadi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Prof-Dr-dr-Rajuddin-SpOGK-SubspFER-17-11.jpg)