Opini

Saudagar Aceh di Haramayn

TULISAN ini bukan tentang sejarah masa lalu ataupun dongeng pelipur lara

Editor: bakri

Oleh Hilmy Bakar Almascaty

TULISAN ini bukan tentang sejarah masa lalu ataupun dongeng pelipur lara. Ini adalah di antara berapa peristiwa yang terekam dan sangat berkesan ketika saya melaksanakan ibadah haji pada 2013 lalu. Peristiwa menakjubkan tentang seorang jamaah haji asal Aceh yang tidak tamat SMP, tidak menguasai bahasa Arab, dan tidak bisa tulis-baca Arab. Tapi mampu berdagang di Haramayn, dua kota suci Mekkah dan Madinah, bahkan memiliki anak buah orang Arab serta pulang membawa keuntungan besar ke Aceh.

Cerita ini bermula ketika saya sedang menziarahi salah seorang jamaah haji asal Bireuen yang wafat di Hotel Madinah Commerce. Saya berkenalan dengan seorang pemuda dengan wajah dan logat khas Aceh. Setelah berkenalan, dia pun mengikuti saya mengunjungi keluarga dari Bugak yang kebetulan satu kloter dengannya. Tgk H Abdullah namanya kini setelah haji, tinggal di dekat makam pahlawan Cut Meutia di Aceh Utara. Pada awalnya ia seorang penjuang es campur di kampungnya. Bahkan, dia mengaku naik haji dari hasil menjual es campur, sampai akhirnya ia menetapkan hati untuk berdagang di Kota Suci di Arab Saudi itu.

Tgk Haji Abdullah menceritakan pengalamannya berdagang di Haramayn (Mekkah dan Madinah) dengan bersemangat, dan saya dan beberapa Mahasiswa Pascasarjana Universitas Madinah mendengarkan dengan antusias. Sejak pertama tiba di Mekkah, setelah melaksanakan pra-prosesi haji, dia berkeliling kota Mekkah, melihat-lihat suasana dan pasar di sekitar Mekkah, menanyakan harga barang, dan sejenisnya yang kita kenal dengan survei. Dia tidak seperti jamaah haji lain yang senang tidur-tiduran di Maktab atau cerita sana-sini sambil minum kopi. Dia pulang ke Maktab dengan membawa barang dagangan yang diperlukan jamaah haji, seperti mie instan, korma, minyak wangi sampai daftar harga kambing. Tentu dengan harga yang jauh lebih murah dari pasaran, karenadia  mengambil langsung dari dari grosir.

Dia bercerita tentang awal kiprah dagangnya di Arab Saudi, perdagangan pertama minyak wangi menghasilkan untung 2.000 Riyal Saudi dalam satu jam. Para mahasiswa yang fasih berbahasa Arab terkagum mendengarnya, termasuk saya tentunya. Dalam satu jam berdagang dia dapat untung sekitar Rp 6.5 juta di Mekkah, padahal ia tidak menguasai bahasa Arab dan baru pertama kali menginjakkan kaki di jazirah Arab itu. Dalam beberapa hari berdagang di Mekkah sudah, dia sudah mendapatkan keuntungan lebih dari biaya haji yang disetorkanya kepada pemerintah Indonesia.

 Mengubah strategi
Demikian pula ketika tiba di Madinah, Tgk H Abdullah langsung survei pasar, dari mana sumber barang, mencari harga termurah, berkeliling menemui penjual lapangan dan lainnya. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih, di Madinah dia mengubah strategi dagangnya. Tidak berjualan langsung, tapi melalui beberapa anak buah Arab Badui yang mulai direkrutnya menjadi agen penjualannya. Kepada grosir Arab ataupun agen Arabnya, dia berkomunuikasi denganbahasa universal alias bahasa isyarat, menggerakkan jari tangannya menunjukkan angka-angka, atau melalui buku catatannya. Satu-satunya bahasa Arab yang dia kuasai adalah kata “Riyal”, mata uang Saudi.

Dalam waktu beberapa jam saja di Madinah, Tgk Abdullah, saudagar Aceh ini sudah memiliki beberapa jenis barang dagangan yang dijajakan anak buah Arabnya dengan sistem bagi untung. Dia hanya berhubungan dengan para distributor sebagai penjamin agen-agen Arabnya yang berjualan di sekitar Masjid Nabawi. Uang Riyal ganti pemondokan yang diterimanya dari pengelola Wakaf Habib Bugak Aceh di Mekkah, dia putar sebagai modal usaha dagangnya di negeri orang. Dia pun sibuk menjalin hubungan dengan jamaah haji selain kloternya, baik jamaah haji Indonesia maupun Negara lain dengan semangat dan bahasa universalnya.

Jika di Mekkah penjualan terbatas hanya kepada jamaah Indonesia saja, maka di Madinah dia menjual kepada semua jamaah dari seluruh dunia dengan harga murah. Di tengah-tengah kesibukan saya mengadakan penelitian, saya melihat Tgk H Abdullah lagi sibuk melayani agen-agen Arabnya, membagi-bagikan barang dagangan dengan bahasa isyarat tangannya yang diperhatikan anak-anak Arab sambil mengangguk, sementara tangannya memegang gepokan duit riyal dengan barang dagangan di sekitarnya. Terkadang secara tidak sengaja terkeluar bahasa Acehnya dalam berkomunikasi dengan agen Arabnya, tentu yang mendengarkannya dengan kebingungan.

Saya yang tengah menyelesaikan penelitian buku tentang “Paradigma Islam Sodagar” di Masjid Nabawi Madinah al-Munawarah ini pun terkagum-kagum dengan sosok sodagar Aceh yang gigih ini. Terbayang dalam benak saya kegigihan para sodagar Aceh tempo doeloe yang sanggup menyeberangi lautan luas dan merentas gelombang samudera untuk berdagang ke negeri Arab, sehingga menjadi saudagar yang sekaligus pendakwah yang menyebarkan agama Islam ke seluruh Nusantara.

Penyumbang utama
Itulah sebabnya tidak mengherankan Aceh masa lalu menggapai masa keemasannya menjadi negeri makmur dan sejahtera di bawah kepemimpinan Sultan Alaiddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1583-1604) yang juga kakek Sultan Iskandar Muda dari pihak ibunya, karena beliau juga seorang saudagar besar maritim sebelum menjadi Sultan Aceh. Demikian pula saudagar Aceh adalah para penyumbang utama penyelenggaraan ibadah haji di Mekkah dan Madinah, sehingga memiliki banyak harta wakaf yang dikhususkan untuk membantu jamaah haji Aceh, di antaranya seperti Wakaf Habib Bugak Aceh yang terkenal sekarang.

Pribadi Tgk Abdullah memang sangat berbeda dengan kebanyakan orang Aceh masa kini yang senang nongkrong di warung kopi sambil cerita sana-sini tanpa hasil. Dia telah ditempa jiwa kewirausahaan sejak kecil karena kesusahan hidup di masa konflik. Kesulitan dan kegetiran di masa konflik tidak menjadikannya putus asa, bahkan dijadikannya peluang untuk mengembangkan usaha. Itulah sebabnya keterbatasannya berbahasa Arab tidak dijadikannya penghalang dalam berdagang di negeri Arab.

Dia mewarisi semangat endatu Aceh yang terkenal sebagai saudagar besar di seluruh Nusantara ataupun negeri Arab dulu. Berbeda juga dengan tradisi sebagian pengusaha Aceh yang hanya mengharapkan tender atau rekom dari pejabat pemerintah. Dia mampu berusaha di medan yang jauh dari gampong halamannya tanpa back up siapa pun, murni inisiatif dirinya. Dia menjadi pengusaha di mana dan kapan pun, sebagai warisan tradisi agung saudagar Aceh, yang memahami secara alamiah semangat saudagarisme Aceh.

Semangat inilah yang sepatutnya dikembangkan oleh para pemimpin Aceh masa kini, untuk melahirkan saudagar-saudagar yang ulet dan ulung dalam mengembangkan kemakmuran Aceh, yang saat ini sedang menikmati dana melimpah dari pusat. Bukannya malah memanjakan pengusaha yang hanya mengharapkan fasilitas pemerintah dengan mengandalkan KKN yang bertentangan dengan syariat Islam.

* Hilmy Bakar Almascaty, Presiden Institut Saudagar Nusantara di Kuala Lumpur dan Penggiat Gerakan Saudagar KayaSejati. Email: hilmybakar@yahoo.com

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved