Kupi Beungoh
Pelajaran al-Ghazali untuk Bobby Nasution: Antara Kesadaran dan Ketergesa-gesaan
Konsep al-Ghazali, tentang tingkatan pengetahuan sesungguhnya berjumpa dengan prinsip bioetika modern.
Oleh: Prof.Dr.dr. Rajuddin, SpOG(K).,Subsp.FER
Dalam sejarah intelektual Islam, nama Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111 M) menempati posisi istimewa. Karyanya tidak hanya membentuk tradisi keilmuan, tetapi juga memberi kerangka etis dalam memandang pengetahuan. Salah satu konsep yang terus relevan hingga kini adalah klasifikasi al-Ghazali tentang tingkatan Pengetahuan manusia dalam hubungannya dengan ilmu dan ketidaktahuan.
Dalam Ihya’ Ulum al-Din, khususnya Kitab al-‘Ilm, al-Ghazali membagi manusia menjadi empat kesadaran: Pertama, mereka yang tahu dan sadar bahwa mereka tahu. Katagori ini adalah ulama sejati, tempat kita mengambil bimbingan. Kedua, tahu apa yang ia tidak tahu. Lalai akan ilmunya kelompok ini harus diingatkan.
Ketiga, mereka yang tidak tahu tetapi sadar akan ketidaktahuannya, merekalah yang patut diajari. Dan Keempat, mereka yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Golongan ini disebut ahmaq (bodoh dungu), yang sebaiknya dihindari. Empat kategori ini sederhana, tetapi menjadi cermin bagi dinamika sosial hari ini.
Dalam al-Mustashfa, al-Ghazali menegaskan perbedaan antara jahl basit (ketidaktahuan sederhana: tidak tahu tapi sadar tidak tahu) dan jahl murakkab (ketidaktahuan ganda: tidak tahu tapi merasa tahu). Yang terakhir inilah yang berbahaya: bukan saja menutup pintu ilmu, tetapi juga melahirkan arogansi intelektual.
Baca juga: Gubsu Bobby Perintahkan Kepala Daerah di Sumut Data Kendaraan Operasional Non Plat BK dan BB
Kontroversi Plat BL vs BK
Video Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, yang menghentikan kendaraan berpelat Aceh (BL) dan memerintahkan pengemudinya mengganti pelat menjadi BK memantik perdebatan luas. Dengan nada tegas, Bobby menyatakan kendaraan yang beroperasi mencari nafkah di Sumut harus membayar pajak di Sumut. “Ganti plat sekarang juga,” ucapnya di hadapan kamera.
Fenomena ini, jika merujuk pada klasifikasi al-Ghazali, Bobby Nasution termasuk dalam katagori yang mana dari empat kategori pengetahuan dan ketidaktahuan: alim sejati, orang lalai, orang jahil, dan orang ahmaq. Dalam kasus Bobby, kita bisa melihat dua sisi.
Pertama, kategori 2 (tahu apa yang ia tidak tahu). Bobby kadang mampu menunjukkan kesadaran diri, misalnya pada awal menjabat ia terbuka pada masukan. Sikap ini menunjukkan bahwa ia menyadari keterbatasannya, dan hal ini membuka peluang untuk tumbuh.
Kedua, kategori 4 (tidak tahu apa yang ia tidak tahu). Dalam kasus “plat BL vs BK”, Bobby lebih mendekati kategori keempat. Ia tampil penuh keyakinan, bahkan dengan gaya instruktif di depan publik, padahal konteks kebijakan perpajakan kendaraan lintas daerah jauh lebih kompleks. Ketika seseorang tidak tahu tapi merasa tahu, menurut al-Ghazali, ia terjebak dalam jahl murakkab ketidaktahuan ganda. Kondisi ini berbahaya karena menutup ruang belajar dan dapat melahirkan kebijakan yang tidak arif.
Fenomena jahl murakkab bisa kita temukan dalam perdebatan publik kontemporer. Dari ruang politik hingga media sosial, sering muncul individu atau kelompok yang bersuara lantang, padahal argumentasinya rapuh. Bahaya sesungguhnya bukan pada kurangnya pengetahuan, melainkan pada sikap merasa cukup sehingga menolak belajar.
Baca juga: Gubernur Sumut Razia Pelat, Bobby Tunjukkan Video Kepala Daerah Lain Terapkan Kebijakan Serupa
Cermin bagi Kehidupan Modern
Jika ditarik ke konteks kebangsaan, empat kategori al-Ghazali layak menjadi alat analisis. Para ilmuwan dan akademisi yang konsisten mencari kebenaran berada di lingkaran pertama. Kelompok profesional atau pejabat yang berilmu tapi lalai, memerlukan pengingat. Rakyat yang masih buta literasi digital atau kesehatan, namun sadar akan kekurangannya, perlu pendidikan.
Sementara mereka yang menolak fakta ilmiah, percaya pada hoaks, atau menutup diri dari argumen rasional, termasuk dalam kategori terakhir yaitu golongan yang menghambat kemajuan.
Dimensi Bioetika: Ilmu dan Tanggung Jawab
Konsep al-Ghazali, tentang tingkatan pengetahuan sesungguhnya berjumpa dengan prinsip bioetika modern. Empat prinsip utama bioetika yaitu beneficence, non-maleficence, justice, dan autonomy. Memberi kerangka moral yang relevan, bukan hanya bagi dunia kedokteran, tetapi juga kepemimpinan, kebijakan publik, dan kehidupan sosial.
Beneficence (berbuat baik) agar ilmu yang dimiliki tidak disimpan untuk segelintir elit. Dalam pandangan al-Ghazali, orang alim adalah yang tahu dan sadar bahwa ia tahu, lalu membimbing orang lain. Ini paralel dengan kewajiban etis ilmuwan dan pemimpin: menjadikan pengetahuan sebagai jalan kemaslahatan, bukan sebagai alat kuasa.
Non-maleficence (tidak merugikan) mengingatkan bahaya dari jahl murakkab ketidaktahuan ganda yang dibungkus kesombongan. Dalam politik maupun sains, sikap “tidak tahu tapi merasa tahu” bisa melahirkan kebijakan yang salah arah dan berimplikasi pada kerugian nyata bagi masyarakat. Bioetika menegaskan bahwa setiap tindakan, termasuk keputusan politik, harus meminimalkan risiko bahaya.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.