Totalitas ala Negeri Mahathir

PUKUL 09.30 waktu setempat kami tiba di Sekolah Kebangsaan Padang Jawa (SKPJ), Syah Alam, Malaysia

Editor: bakri

PENGANTAR - Pada 8-10 Februari 2015, delegasi Aceh dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh berkunjung ke Malaysia yang sasarannya antara lain menggalang kerjasama antarnegara dalam bidang pendidikan. Wartawan Serambi, Eddy Fitriady yang ikut dalam rombongan merekam berbagai sisi menarik di negeri jiran tersebut dan menurunkan sebagai catatan perjalanan edisi ini.

PUKUL 09.30 waktu setempat kami tiba di Sekolah Kebangsaan Padang Jawa (SKPJ), Syah Alam, Malaysia. Sebuah sekolah milik kerajaan Malaysia setingkat SD yang merupakan sekolah tertua di negara itu. Ketibaan

saya dan Raihan, seorang dosen FDK Ar-Raniry disambut gegap gempita oleh dewan guru dan seluruh siswa SKPJ. Para siswa berbaris saling berhadapan membentuk lorong panjang yang kami lalui, sepanjang lorong itu pula ucapan salam dan senyum manis budak-budak (anak-anak) menghiasi acara penyambutan yang boleh dibilang mewah, meriah, dan total.

Mungkin sudah menjadi asas tak tertulis bagi warga Malaysia untuk menyambut tamu dengan sebaik-baiknya. Setiap momen, gerakan, hingga tutur kata mereka telah diatur sedemikian rupa sehingga sang tamu merasa dihargai, dimanjakan, dan dianggap penting. Totalitas ini yang sepertinya telah berhasil ditularkan ke setiap warga, memacu para warganya untuk bekerja secara total dalam pembangunan, perniagaan, hingga menjamu para wisatawan agar menikmati secara total segala momen dalam kunjungannya.

Sebelum dijamu makan hidangan khas Malaysia, kami dimanjakan dengan penampilan tarian yang mewakili daerah Kelantan, Pahang, Sabak, Serawak, dan Terengganu. Ada hal menarik yang kami lihat selanjutnya, penampilan angklung. Alat musik tradisional itu dimainkan dengan sangat baik oleh para siswa yang berjumlah sekitar 30 orang.

Kepala sekolah, Mohd Rozali mengatakan, alat musik tersebut dibelinya ketika mengadakan studi tur ke SD 60 Tangerang, Indonesia. “Para guru kami kirim untuk belajar angklung di Indonesia dan selanjutnya mengajarkannya kepada siswa di sini,” ujarnya. Permainan angklung yang disuguhkan para siswa Malaysia itu membuat saya berdecak kagum.

Cerita ini barulah satu, masih ada 10 cerita menarik lainnya dari teman-teman yang mengunjungi Sekolah Kebangsaan, dan tak bisa saya ceritakan kesemuanya.

Malaysia telah mengalami pembangunan yang pesat saat dipimpin Tun Mahathir Mohamad. Nama tokoh ini begitu melegenda di dunia dan menjadi ikon Malaysia modern nan islami. Dan boleh dibilang, warga Malaysia pun sudah siap secara lahir dan batin dalam menggiatkan sektor wisata. Selain karena bangsa Melayu yang memang berwatak santun, saya melihat ada kesadaran warga Malaysia dalam memandang wisatawan sebagai penyumbang besar devisa negara. Kondisi ini yang mungkin belum kita capai, di mana kita masih saja mempertentangkan kehadiran bangsa asing yang sebenarnya punya peranan besar dalam pertumbuhan ekonomi.

Ada hal unik lainnya ketika melihat pariwisata Malaysia, di mana setiap objek wisata dikumpulkan pada titik-titik tertentu. Kalau boleh saya menyebutnya ‘sentralisasi wisata’, yaitu wisata yang terpusat pada kawasan-kawasan tertentu. Contoh konkretnya ialah ketika saya dan rombongan tiba di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), bus yang kami tumpangi langsung membawa saya dan 44 orang lainnya ke kawasan Putrajaya, sebuah kawasan elite tempat para anggota parlemen Malaysia berdomisili, bekerja, dan menjalani aktifitas kesehariannya.

Ada ribuan pengunjung setiap harinya di taman publik di Putrajaya. Berbagai ras, warna kulit dan bahasa bisa kita temui dan membaur satu sama lain di kawasan tersebut. Sebagian besar berfoto ria mengagumi arsitektur klasik bangunan-bangunan di kawasan itu.

Titik-titik lainnya seperti kawasan Genting, Batu, Masjid Negara, Istana Negara, semuanya dilalui transportasi massal. Hal itu yang membuat kawasan tersebut jadi destinasi favorit pengunjung di samping kebersihan tempat yang selalu terjaga.

Kini saya percaya, apa yang dikatakan orang-orang yang pernah berkunjung ternyata benar, Malaysia memang sulit dilupakan. Segala yang ada di sana begitu dielu-elukan, apalagi bagi masyarakat Aceh. Bahkan semasa kuliah dulu, saya pernah mendengar lelucon dari seorang teman, “Kita ni orang Aceh, berobat cemekam pun ke Malaysia.” Sekilas kalimat tersebut memang bernada lucu, namun bila dipikir jauh lagi, hal itu ternyata mengandung kebenaran.

Kesan dari perobatan di Malaysia bagi masyarakat Aceh cukup positif, sehingga hal-hal yang kecil, sepele pun perlu diobati di sana. Atau bisa jadi, kesan dari perobatan di Tanah Air sendiri yang mungkin sudah tercemar, sehingga kini berobat ke Malaysia telah menjadi alternatif, bahkan bagi kalangan tertentu, berobat ke Malaysia dijadikan pilihan utama.   

Teringat kata Pak Jauhari, seorang dosen FDK Ar-Raniry di hadapan redaksi surat kabar Utusan Malaysia, “Kita hanya dipisahkan oleh politik.” Sepertinya ungkapan tersebut memang benar, hanya politik pemerintah saja yang membuka jurang antara kedua negara serumpun ini, karena selain itu, kita punya budaya, bahasa, agama, dan norma yang nyaris sama. Begitulah. (*)

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved