Opini

Budidaya Ikan Kerapu Aceh

SAAT ini, Aceh memiliki sekitar 4.000 Hektare (Ha) tambak, yang sebagian digunakan untuk budidaya

Editor: bakri

Oleh Bakhtiar Sah Putra

SAAT ini, Aceh memiliki sekitar 4.000 Hektare (Ha) tambak, yang sebagian digunakan untuk budidaya ikan Kerapu. Beberapa ikan Kerapu yang dibudidayakan di Aceh antara lain: ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus), Kerapu Hybrid (E. fuscoguttatus x E. macrodon), Kerapu Cantang (E. lanceolatus x E. fuscoguttatus), Kerapu Lumpur atau Kerapu Alam atau Keurape A (Epinephelus tauvina). Lokasi budidaya ikan kerapu di Aceh tersebar dari Pidie Jaya hingga ke Langsa.

Tingkatan pemeliharaan pun berbeda-beda berupa pendederan, pembesaran di tambakatau di karamba. Hingga saat ini pendederan dan pembesaran ikan kerapu masih menjadi satu andalan selain komoditas budidaya lain seperti ikan bandeng dan udang. Masyarakat lebih memilih untuk memilihara ikan kerapu karena harga jual ikan ini masih sangat tinggi baik di pasar lokal maupun international.

Usaha budidaya ikan Kerapu memiliki risiko yang sangat tinggi seperti halnya memelihara Udang. Acaman terbesar saat ini adalah serangan penyakit, terutama pada musim penghujan di mana angka kematian ikan Kerapu dapat mencapai lebih dari 80%. Artinya, sekali serangan panyakit, banyak petambak yang gulung tikar, bahkan terpaksa alih profesi untuk terus dapat menghidupi keluarganya.

Menjawab persoalan tersebut, penulis telah melakukan penelitian yang berkerja sama dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), The University of Sydney, dan Balai Budidaya Air Payau Ujong Batee. Dan dari hasil penelitian yang dilakukan di lokasi pendederan ikan kerapu di wilayah timur Aceh mulai dari Pidie Jaya sampai ke Langsa, kami menemukan dua jenis virus yang menginfeksi ikan Kerapu pada musim hujan di Aceh. Kedua virus tersebut dapat menyebabkan kematian ikan secara massal seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Serangan virus
Virus yang berasal dari genus Betanodavirus merupakan penyebab penyakit viral encephalopathy and retinopathy (VER) atau viral nervous necrosis atau lebih dikenal dengan nama VNN di kalangan para pemerhati peyakit ikan. Virus tersebut berasal dari famili Nodaviridae. Menurut Munday et al (2002) dan Ransangan et al (2013) virus ini menyerang 30 jenis ikan laut dan telah menyebabkan angka kematian yang tinggi hingga 100% di hatchery dan pendederan ikan Kerapu di seluruh dunia.

Dalam sebuah artikel yang di tuliskan oleh Oh et al (2002) virus dapat ditularkan secara vertikal dan horizontal. Ikan yang terinfeksi dengan betanodavirus akan memperihatkan gejala klinis, seperti perubahan warna, berenang terbalik, disorientasi, lemas, hilang nafsu makan dan bagian abdominal ikan terlihat membengkak (kembung). Pada beberapa kasus ikan yang terinfeksi dengan penyakit ini juga akan terlihat sangat pucat.

Megalocytivirus. Bagi para peniliti kesehatan ikan, virus ini merupakan topik yang hangat untuk di diskusikan. Sebelum melakukan penelitian di Aceh, penulis terlibat dalam kegiatan sampling ikan untuk penelitian kerjasama antara Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol, yang dilakukan di karamba jaring apung di Teluk Pegametan, Bali, dengan komoditas benih ikan Kerapu dan Kerapu ukuran konsumsi. Virus ini telah dideteksi ada di Indonesia, namun pada saat itu penulis belum pernah mendapatkan laporan kasus tersebut di Aceh.

Pada akhir 2015 lalu, kami menemukan sendiri virus tersebut di Aceh. Virus ini berasal dari famili irridoviridae. Megalocityvirus telah menyebabkan penyakit pada ikan laut dan ikan air tawar di berbagai negara Asia, termasuk Jepang dan Korea. Di Cina selatan irridovirus telah diidentifikasi menginfeksi 50 jenis ikan. Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa virus ini tidak hanya menyebabkan kematian yang tinggi pada benih ikan, namun pada ikan ukuran konsumsi juga terinfeksi.

Ikan yang terinfeksi dengan iridovirus akan memperlihatkan gejala klinis, seperti perubahan warna tubuh, ascites, perdarahan pada insang dan limfa membesar. Meskipun serangan virus ini dapat menyebabkan kematian lebih dari 60% (Chao et al, 2002) dan menyebabkan penurunan produksi sanga besar, sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomi. Akan tetapi belum terdapat bukti bahwa virus tersebut dapat di tularkan secara vertikal (He et al., 2002).

Harus diwaspadai
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan terhadap sampel ikan di laboratorium, didapatkan bahwa NNV telah menginfeksi sejumlah besar ikan dan memiliki prevalensi yang tinggi hingga 100% pada populasi tertentu. Selanjutnya berdasarkan pengamatan secara histologi, terlihat adanya severe vacuolation pada otak dan retina ikan yang terinfeksi dengan NNV tersebut. Lesi ini merupakan ciri khas pada ikan yang terinfeksi dengan betanodavirus.

Sedangkan MCV, prevalensi tertinggi hanya 17%. Meskipun masih dengan prevalensi tidak terlalu tinggi dibanding dengan NNV, tetapi virus ini merupakan ancaman terbesar kedua setelah NNV yang harus diwaspadai. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa infeksi virus ini tidak hanya terbatas pada ikan Kerapu yang bersumber dari alam (wild catch), seperti Kerapu Lumpur, Keurape A (nama lokal), akan tetapi kedua virus juga ditemukan pada populasi ikan Kerapu hybrid/cantik (E. fuscoguttatus x E. macrodon).

Secara sederhana dapat disimpulkan, kematian ikan Kerapu yang terjadi secara mendadak dan “misterius” di Aceh selama musim hujan utamanya disebabkan oleh serangan NNV. Hal ini juga menjawab pertanyaan masyarakat, yang selama ini mengenal penyakit tersebut dengan nama lokal seperti aak, bengkok, dan step (kejang-kejang), yang sebenarnya tidak lain adalah gejala klinis dari penyakit viral encephalopathy and retinopathy atau Viral nervous necrosis (VNN).

Pencegahan merupakan bagian yang paling sering ditanyakan oleh petambak kepada kami khususnya pada saat melakukan penelitian. Secara teori karena penyakit VNN ini disebabkan oleh virus, maka belum ada obat yang dapat gunakan untuk mengobati penyakit ini. Dari beberapa bebera artikel ilmiah disebutkan bahwa, early detection and intervention (pencegahan dini) lebih diutamakan.

Langkah-langkah pencegahan tersebut antara lain penggunaan benih yang bebas virus, vaksinasi, dan menjaga kualitas air selalu dalam kondisi bagus. Vaksinasi VNN ini dapat dilakukan baik pada induk maupun pada benih yang belum terinfeksi penyakit tersebut. Banyak vaksin komersial yang telah diproduksi untuk mencegah VNN. Sedangkan, untuk kasus penyakit MCV, sepengetahuan kami belum ada vaksin yang efektif untuk virus tersebut. Nah!

* Bakhtiar Sah Putra, petugas pengedali Hama dan Penyakit Ikan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujong Batee, Mahasiswa Program Master di Veterinary Faculty, The University of Sydney, Australia. Email: bsah9319@uni.sydney.edu.au

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved