Opini
Membentuk BRR Otsus Aceh
Lahir dari krisis kemanusiaan yang ekstrem, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh–Nias di bawah kepemimpinan almarhum Kuntoro
Safuadi ST MSc PhD, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan - Kementerian Keuangan - Provinsi Aceh
PASCATSUNAMI 2004, Aceh menjadi perhatian dunia. Ribuan relawan, ratusan lembaga donor, dan triliunan rupiah mengalir ke Tanah Rencong. Tapi dari semua itu, satu pelajaran paling penting bukan sekadar soal besarnya dana, melainkan cara mengelolanya. Lahir dari krisis kemanusiaan yang ekstrem, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh–Nias di bawah kepemimpinan almarhum Kuntoro Mangkusubroto menjadi bukti bahwa kelembagaan khusus dengan kepemimpinan kuat mampu menaklukkan birokrasi dan mengubah bencana menjadi batu loncatan pembangunan.
Selama empat tahun (2005–2009), BRR membangun kembali tidak hanya rumah dan jalan, tapi juga kepercayaan. Dengan mandat langsung dari Presiden, kewenangan koordinatif lintas lembaga, serta kredibilitas teknokratik sang pemimpin, BRR menjadi model pemerintahan yang relatif efektif, transparan, dan outcome-oriented. Meskipun tak lepas dari kritik, BRR tetap dikenang sebagai lembaga yang bekerja dan berhasil.
Sayangnya, ketika fase bantuan darurat selesai dan masuk ke babak baru pembangunan pascakonflik, pendekatan kelembagaan strategis seperti BRR tidak dilanjutkan. Sejak Dana Otonomi Khusus (Otsus) digulirkan pada 2008, Aceh menerima aliran dana yang sangat besar — lebih dari Rp103 triliun hingga kini — namun tidak disertai model tata kelola setara BRR.
Masalah mendasar
Dana Otsus Aceh sejatinya adalah kompensasi politik sekaligus peluang pembangunan pascaperdamaian. Tetapi realitanya, hingga hari ini Aceh masih berada di peringkat atas sebagai salah satu provinsi termiskin di Sumatera. Tingkat pengangguran terbuka dan ketimpangan sosial tetap tinggi. Mengapa?
Pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh selama lebih dari satu dekade terakhir menunjukkan pola yang konsisten, tetapi bermasalah. Besarnya dana yang masuk ke Aceh seharusnya menjadi katalisator transformasi struktural ekonomi dan sosial. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan stagnasi indikator kesejahteraan masyarakat. Dalam kajian kebijakan fiskal daerah, terdapat tiga problem mendasar yang memperlemah daya dorong Dana Otsus. Pertama, Fragmentasi Kelembagaan: Desain Tanpa Diferensiasi.
Dana Otsus Aceh tidak memiliki mekanisme tata kelola yang berbeda secara substantif dari anggaran daerah biasa. Seluruh alokasi Dana Otsus dimasukkan ke dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) bersama dengan Transfer ke Daerah (TKD) lainnya, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tidak adanya diferensiasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan menyebabkan dana strategis ini kehilangan kekhususannya (BPK RI, 2022).
Sebagaimana dikritisi oleh World Bank (2021), kelembagaan yang dirancang tanpa pembedaan fungsional akan gagal menghasilkan output yang sesuai dengan mandat fiskal khusus. Dalam konteks Aceh, ini berakibat pada ketiadaan program unggulan yang konsisten dan berdampak sistemik dari tahun ke tahun. Tak ada rencana jangka panjang berbasis Dana Otsus sebagai motor utama, sebagaimana keberhasilan pendekatan special agency seperti BRR pasca-tsunami.
Kedua, Dominasi Belanja Rutin: Belanja Tanpa Visi Investasi. Audit Laporan Keuangan Pemerintah Aceh menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen Dana Otsus digunakan untuk belanja rutin dan operasional birokrasi (BPK RI, 2023). Hal ini mencakup honorarium pegawai, perjalanan dinas, serta pengadaan barang dan jasa yang tidak memiliki efek pengganda (multiplier effect) jangka panjang. Padahal, Dana Otsus secara filosofis dimaksudkan untuk mengintervensi backlog pembangunan akibat konflik dan bencana.
Contoh faktual yang menunjukkan pola ini adalah proyek-proyek fisik jangka pendek seperti pembangunan gapura, pagar kantor desa, atau pelatihan birokrasi berulang tanpa evaluasi output. Ini sejalan dengan temuan ICW (2022) bahwa sebagian besar proyek Otsus tidak berorientasi pada outcome pembangunan, tetapi pada serapan anggaran.
Konsekuensinya, Dana Otsus belum berhasil mengubah struktur ekonomi Aceh dari berbasis konsumsi dan sektor primer menuju sektor industri bernilai tambah dan inovasi. Ketiga, Minimnya Partisipasi dan Akuntabilitas: Kebijakan dalam Kaca Buram. Dalam sistem tata kelola yang sehat, perencanaan anggaran publik harus bersifat partisipatif dan transparan (Smoke, 2015). Namun, dalam praktiknya, akses masyarakat terhadap informasi perencanaan dan realisasi Dana Otsus sangat terbatas. Laporan pengawasan sering kali bersifat agregat, tidak mudah diakses publik, dan minim diseminasi.
Studi oleh The Asia Foundation (2020) menemukan bahwa hanya 19 % masyarakat Aceh yang tahu secara pasti penggunaan Dana Otsus di wilayah mereka. Ketika publik tidak terlibat, dan pengawasan sosial rendah, maka ruang bagi kebijakan populis, proyek tak berdampak, bahkan korupsi semakin terbuka lebar.
Jika tren ini berlanjut, Dana Otsus Aceh berisiko menjadi simbol kegagalan kebijakan desentralisasi fiskal, yang justru memperkuat skeptisisme terhadap otonomi daerah. Lebih jauh lagi, kegagalan pengelolaan Dana Otsus dapat menciptakan krisis legitimasi terhadap hasil damai Helsinki, sebab ketimpangan harapan dan kenyataan berpotensi menyuburkan frustasi politik, terutama di kalangan generasi muda pascakonflik.
Sebaliknya, dengan reformasi tata kelola melalui pembentukan lembaga khusus seperti BRR Otsus Aceh, dana besar ini berpeluang menjadi mesin transformasi ekonomi. Fokus kelembagaan baru harus diarahkan pada strategic investment — bukan sekadar spending. Ini memerlukan kepemimpinan teknokratik, desain kelembagaan independen, serta sistem akuntabilitas yang membuka ruang partisipasi publik secara luas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.