Opini

Tolak RUU Pertembakauan!

MENJADI masyarakat Indonesia memang harus tahan banting. Tidak hanya kabar buruk tentang korupsi, tapi juga rancangan undang-undang (RUU)

Editor: hasyim
SERAMBINEWS.COM/MASRIZAL
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Mayjen TNI Purn Soedarmo menghadiri sidang penyampaian visi misi dan program kerja pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Aceh periode 2017-2022 di Gedung DPRA, Jumat (28/10/2016). 

Oleh Asmaul Husna

MENJADI masyarakat Indonesia memang harus tahan banting. Tidak hanya kabar buruk tentang korupsi, tapi juga rancangan undang-undang (RUU) pertembakauan yang telah disetujui oleh DPR pada Desember 2016 lalu. Kini RUU tersebut tinggal menunggu jadwal untuk dibahas bersama pemerintah dalam program legislasi nasional pada 19 Maret mendatang. Artinya, hanya tinggal beberapa hari lagi RUU tersebut akan tetap disahkan atau digugurkan.

RUU tersebut tentu mengundang kontroversi di masyarakat. Bagaimana tidak, ketika tembakau sebagai bahan baku rokok dipercaya dapat merusak kesehatan karena zat nikotin yang dikandungnya, kini malah muncul RUU untuk melindungi bahan baku tersebut. Alasan ekonomi dan melindungi petani adalah tameng yang selalu digunakan kenapa tembakau dan industri rokok itu harus ada dan perlu dipertahankan.

Namun dalam RUU tersebut, ada beberapa pasal yang membingungkan dan memunculkan kontroversi. Misal, Pasal 3 yang menyebutkan, “Pengelolaan pertembakauan bertujuan meningkatkan budidaya dan produksi tembakau, mengembangkan industri pertembakauan bagi pertumbuhan perekonomian nasional dan peningkatan pendapatan negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melindungi petani tembakau dan pekerja pertembakauan, dan melindungi kesehatan masyarakat.”

Perhatikan baik-baik kalimat tersebut. Pertama, perekonomian Nasional mana yang ingin ditumbuhkan. Bukankah pemilik perusahaan rokok secara garis besar adalah milik asing? Seperti Phillip Morris, BAT, dll. Mereka adalah produsen raksasa rokok di Amerika yang tersingkir di negaranya karena kehilangan konsumennya. Kini mulai melirik Indonesia sebagai negara berkembang yang sangat potensial untuk dijadikan sasaran empuk perusahaannya. Agar laku keras, rokok dijual dengan murah. Coba saja harga rokok seperti cabai rawit yang menembus angka Rp 120 ribu per bungkusnya. Saya yakin akan banyak sekali yang mikir-mikir untuk beli rokok.

Kedua, untuk melindungi petani tembakau dan pekerja pertembakauan. Baik, mari kita lihat faktanya. Menurut data dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), pada 2011 impor tembakau Indonesia hanya 64,8 ribu ton. Namun setahun kemudian melesat naik menjadi 133,8 ribu ton. Penurunan impor baru terjadi pada 2013 yaitu 121,2 ribu ton. Namun jumlah tersebut masih terhitung besar. Karena saat ini kebutuhan industri tembakau Indonesia mencapai 300 ribu ton per tahun dan lebih dari 50 persennya berasal dari impor.

Lebih murah
Jika memang industri rokok benar peduli dengan petani Indonesia, maka tidak akan mengimpor tembakau dari luar. Tapi bisnis adalah bisnis. Kalau memang ada yang lebih murah, mengapa harus membayar mahal dengan membeli tembakau petani Indonesia. Harga tembakau Indonesia mencapai Rp 40.000 - Rp 60.000/kg. Malah varietas tembakau kemloko Temanggung berada di kisaran harga Rp 300 ribu - Rp 1 juta/kg.

Ini tentu berbeda jauh dengan Cina sebagai pemasok tembakau terbesar ke Indonesia yang hanya mengekspornya Rp 50.000/kg. Dan jika pun ditambah ongkos pengiriman, tembakau Cina tetap lebih murah dibandingkan punya Indonesia. Jadi tidak ada alasan kuat untuk membeli produk lokal, kecuali hanya alibi bahwa seolah-olah industri rokok memang peduli pada nasib petani tembakau.

Begitu juga nasib buruh pabrik rokok. Dulu mungkin benar, sebelum mesin masuk ke industri rokok Indonesia dan menyerap jutaan tenaga kerja. Tapi mari kita lihat data terbarunya. Pada 2014, Sampoerna telah mem-PHK 4.900 buruhnya. Tindakan yang sama juga dilakukan oleh Gudang Garam dengan mem-PHK lebih dari 4.000 buruhnya. Bentoel menutup delapan pabriknya yang sebelumnya berjumlah 11 dan hanya meninggalkan sisa tiga. Perusahaan mulai beralih ke mesin yang memang lebih cepat dan efisien. Lalu bagaimana dengan nasib buruh? Lagi-lagi, mereka hanyalah tameng yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan industri rokok.

Melihat data di atas, maka tidak layak disebut jika keberadaan industri rokok itu karena peduli pada ekonomi petani dan buruh. Faktanya, BPS bahkan pernah meluncurkan data bahwa rokok adalah salah satu penyebab kemiskinan. Industri rokok hanya peduli pada pemilik perusahaan. Sampoerna bahkan menangguk keuntungan lebih dari Rp 10 triliun per tahun. Dan itu uang semua, tidak campur daun. Sedangkan buruh dan petani yang sering disebut-sebut sebagai alasan untuk membaikkan ekonomi, hanya dapat recehnya saja. Pemiliknya? Menyentuh rokok saja pun tidak.

Ketiga, untuk melindungi kesehatan. Mungkin inilah yang paling mencengangkan. Sejak kapan rokok mampu melindungi kesehatan. Bahkan anak SD sekalipun tahu bahwa efek rokok selalu membahayakan. Inilah pembodohan berencana. Menarik sekali bukan? Disuruh makan racun lalu memberi obat sebagai penawar. Tapi tidak perlu heran. Bagi pecinta rokok dan yang menikmati hasil dari rokok, bahkan mereka percaya bahwa merokok itu baik bagi kesehatan.

Kontroversi belum selesai. Sejumlah pasal lainnya juga dinilai secara nyata mendukung dan menguntungkan industri rokok. Sebut saja seperti menyediakan sarana dan prasarana untuk produksi rokok, iklan dan promosi melalui media cetak dan elektronik, hingga jaminan kesehatan bagi penderita gangguan kesehatan karena rokok. Tidak berhenti di situ, pengelola tempat kerja dan tempat umum bahkan diwajibkan menyediakan tempat khusus untuk merokok.

Dalam pasal 10 malah disebutkan bahwa tembakau adalah salah satu kekayaan hayati sehingga perlu dilindungi secara undang-undang. Walau paradoks dengan dampak zat nikotin yang merusak kesehatan, tembakau malah dianggap sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Alih-alih membatasi impor tembakau, RUU tersebut secara tersirat malah menyuruh generasi muda untuk terus mengkonsumsi rokok agar terlibat aktif dalam upaya pelestarian tumbuhan tersebut.

Kurang tepat
Selain alasan kesehatan, upaya pelestarian tembakau juga dianggap kurang tepat karena komuditas ini hanya berpusat di tiga provinsi saja, yaitu Nusa Tenggara Barat, Jawa tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan di luar itu, masih banyak tumbuhan lain yang bisa dijadikan komuditas utama, seperti padi, kelapa, dan palawija.

Tidak hanya itu, pasal lainnya juga terlihat rancu. Misalnya pasal 44 yang menyebutkan, “Pelaku usaha dapat melakukan iklan dan promosi melalui media cetak, elektronik, media luar ruang, dan media online dalam jumlah terbatas dan waktu tertentu.” Ini aneh sekali. Di negara maju, promosi rokok malah mengalami pengurangan dengan tujuan untuk menekan jumlah konsumen.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved