Hukuman Cambuk; Antara Sarana dan Tujuan

MEMBICARAKAN soal hukuman cambuk (jilid dalam istilah fiqh) sebenarnya bukanlah persoalan yang sederhana

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/ZUBIR

Oleh Khairil Akbar

MEMBICARAKAN soal hukuman cambuk (jilid dalam istilah fiqh) sebenarnya bukanlah persoalan yang sederhana, sehingga tidak bijak jika disikapi secara kaku dan tertutup. Menutup pintu diskusi mengenai hal ini, hanya akan menuai kritik yang semakin tajam dari pihak luar. Demikian pula halnya dari dalam. Kita tidak dapat menutup mata terhadap perdebatan alot di masa lampau, apalagi terhadap isu-isu yang berkembang.

Menutup ruang dialog terkait hal ini hanya akan membenarkan asumsi negatif orang-orang yang menolak hukuman cambuk itu sendiri. Pada level tertentu bisa saja berdampak buruk terhadap pembangunan dan hubungan Aceh dengan pihak lain. Atas dasar itulah tulisan ini mencoba membuka ruang dialog mengenai hukuman cambuk yang diharapkan lebih subtantif dibanding sekadar pro dan kontra terhadapnya. Artinya, penulis ingin melihat persoalan ini secara serius dan mungkin lebih mendasar.

Hukuman khas
Hukuman cambuk terbilang tua dibanding jenis-jenis pidana lainnya. Dalam literatur hukum pidana Islam, cambuk dapat disebut sebagai hukuman khas yang cenderung dipertahankan. Konsep hukuman cambuk sendiri hadir dalam dua konsep yang relatif berbeda, yaitu cambuk sebagai hudud dan cambuk sebagai ‘uqubah ta’zir.

Dalam pandangan klasik (kiranya hingga sekarang), klasifikasi sanksi dalam Islam memang hanya terbagi menjadi tiga (hudud, qishash/diyat, dan ta’zir) sebagaimana klasifikasi delik (jarimah) itu sendiri. Dari ketiga jenis ini, hudud adalah model sanksi yang diterima apa adanya tanpa melalui penalaran akal. Melaksanakan hukuman ini kerap dipandang sebagai suatu bentuk ibadah (ta’abbudi) dan tentunya menjadi sarana penghapusan dosa.

Hal ini antara lain karena hadis dari Ubadah yang menjelaskan bahwa mereka pernah di-bai’at oleh Rasulullah saw. Rasul mem-bai’at mereka untuk tidak mempersekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, dan tidak berdusta.

Setelah itu Rasul berkata, “Barangsiapa di antara kalian ada yang mampu melaksanakan bai’at tersebut, maka Allah Swt, akan menjanjikan pahala baginya. Akan tetapi, barangsiapa yang melanggarnya, maka ia akan terkena hukuman (hadd) yang jika ditegakkan kepadanya akan menjadi kaffarat (tebusan dosa) baginya,” (Shahih Muslim, hlm. 817). Tapi, terkadang Allah menutupi suatu kejahatan. Masih dalam hadis yang sama, menyikapi keadaan demikian, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang pelanggarannya ditutupi Allah, maka urusannya tergantung kepada Allah. Jika Ia berkehenda Ia akan mengazab, dan jika Ia berkehendak (lain) maka akan Ia ampuni.”

Hudud atau dalam bentuk mufrad/singular adalah hadd, jika didefinisikan adalah sanksi yang ketentuannya sudah dipastikan oleh nash (Alquran dan Sunnah). Sanksi ini menjadi hak Allah dan rasul-Nya secara mutlak. Ianya terbilang kaku, rigit, dan pasti dan tidak dapat dikesampingkan kecuali karena alasan syubhat. Dipahami demikian manusia dipandang tidak tahu mengapa syari’ (Allah dan Rasul) menetapkannya demikian.

Angka-angka yang muncul seperti 100 kali dera, 80 kali jilid, dan 40 cambukan tidak diketahui ‘illat hukumnya. Itu sebabnya hudud diterapkan apa adanya tanpa inovasi apapun. Setidaknya demikianlah kecenderungan banyak pakar. Namun, bukan berarti tidak ada pakar yang menawarkan redefinisi (pendefinisian ulang). Di antara mereka bahkan ada yang mencoba melakukan dekontruksi terhadap makna hudud. Hal ini dimaklumi karena klasifikasi dan definisi klasik itu sendiri merupakan produk ijtihad.

Kemudian ta’zir menempati ulasan dan pembagian yang lebih luas dan kontekstual. Hukuman ta’zir sering didefinisikan sebagai sanksi yang tidak secara tegas Allah sebutkan dalam Alquran, tidak pula Nabi terangkan secara pasti dalam hadis. Dalam banyak kasus, ta’zir justru berasal dari hudud dan qisash/diyat, yaitu ketika suatu perkara hudud tidak lengkap atau tidak sempurna unsur-unsurnya. Maka dalam hal ini, hudud harus diganti dengan ta’zir karena mengandung syubhat (kaidah yang populer mengenai hal ini; hindarilah hudud karena mengandung unsur syubhat).

Kemudian, ta’zir bisa pula hadir sebagai sanksi yang deliknya sebenarnya adalah hudud, tapi hukumannya diserahkan kepada penguasa atau wakilnya (legislatif dalam hal merumuskan, atau yudikatif dalam hal memberi putusan). Dan terakhir, hukuman ta’zir juga sebagai hukuman terhadap jarimah ta’zir itu sendiri. Dua model pertama hanya akan mengalami perubahan pidana dan pemidanaannya, sedangkan yang terakhir bisa saja terjadi kriminalisasi atau dekriminalisasi yang menyeluruh.

Qanun Jinayah
Lalu di mana letak hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh dalam klasifikasi di atas? Hal ini dengan mudah kita jawab bahwa hukuman cambuk di Aceh masih mempertahankan dua jenis sanksi di atas. Artinya, beberapa delik dalam Qanun Jinayah Aceh diancam dengan hukuman hudud, dan beberapa lainnya dikenai dengan hukuman ta’zir. Hanya saja, Qanun Jinayah terkadang merumuskan sanksi-sanksi itu dengan rumusan kumulatif/alternatif (gabungan/pilihan), terkadang pula dengan alternatif (pilihan) saja, dan kecenderungan hudud dirumuskan sebagai sanksi tunggal. Terhadap sanksi-sanksi a quo, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan (ta’zir tambahan; pembinaan oleh negara, restitusi, dan lain sebagainya) berdasarkan Pasal 4 angka 5 dan 6 Qanun Aceh No.6 Tahun 2014.

Dari ulasan di atas kita dapat memahami bahwa hukuman cambuk merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari suatu pemidanaan. Hukum itu sendiri sejatinya hanyalah alat atau sarana untuk mencapai suatu tujuan. Dalam istilah konvensional, hal ini sering dibahasakan dengan istilah law as a tool of social engineering atau law as a tool of social control dan istilah lainnya. Namun, hukuman cambuk sebagai sarana haruslah diterjemahkan sesuai klasifikasinya.

Dalam hal hudud, sarana ini cenderung menjadi tujuan karena keadaannya yang tetap dipertahankan. Sekalipun demikian, sarana tidaklah sama dengan tujuan. Sekiranya ditemukan cara lain, di mana hudud bukanlah satu-satunya jalan menebus dosa, bukan tidak mungkin diupayakan alternatif lainnya. Sedangkan cambuk sebagai ta’zir, tentu lebih longgar dan fleksibel dan dapat diganti dengan sanksi yang lebih menjamin kemashlahatan.

Sebagai penutup, hukuman cambuk haruslah tetap terbuka untuk dikritik demi tercapainya maksud pembalasan dan penebusan dosa (jawabir), perlindungan masyarakat, dan mencegah orang lain dan pelaku dari melakukan kejahatan yang sama (zawajir). Tujuan ini menurut Abdul Qadir Audah haruslah mengikuti dua prinsip pokok dan pemidanaan, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pelakunya dan memperbaiki terpidana sekaligus menuntaskan tindak pidana. Dari tesis inilah kita dapat menerima secara positif maksud dari pemimpin baru Aceh, dengan tetap memberi masukan-masukan berarti bagi mereka.

* Khairil Akbar, alumnus Prodi Hukum Pidana Islam UIN Ar-Raniry, saat ini sedang menempuh pendidikan program pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Email: elkhairi17@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved