Opini
JKA Sampai Anak-Cucu
RENDAHNYA derajat kesehatan merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan jangka panjang
Oleh Yusri Adam
RENDAHNYA derajat kesehatan merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan jangka panjang. Kesehatan memegang peran kunci dalam mengurangi kemiskinan. Status kesehatan yang buruk mengurangi pendapatan karena banyaknya hari-hari produktif yang hilang. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak seperti diamanahkan Undang-undang.
Amanah tersebut telah direspons dengan baik oleh Gubernur Irwandi Yusuf saat itu. Pemerintah Aceh telah secara resmi menjamin biaya pelayanan kesehatan seluruh penduduk (universal health coverage) yang pertama di Indonesia mulai 2010 lalu melalui program JKA (Jaminan Kesehatan Aceh), yang kemudian diadopsi oleh pemerintah pusat sebagai pilot project pelaksanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang digadang-gadang sebagai program jaminan kesehatan terbesar di dunia (the most biggest population).
Kini setelah tujuh tahun berlalu tiba-tiba saja JKA menjadi trending issue, JKA akan segera kembali dengan manfaat (benefit) yang lebih luas dan alurnya kembali menjadi lebih sederhana. Masyarakat Serambi Mekkah cukup menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga ketika berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan, seperti masa-masa awal kelahiran JKA yang kemudian kehilangan ruh seiring dengan berjalannya waktu.
PT Askes (sekarang BPJS Kesehatan) perlahan tapi pasti, menggeser peran KTP dan Kartu Keluarga dengan kartu kepesertaan. Bahkan janin dalam kandungan yang belum lahir pun diharuskan memiliki kartu peserta agar bisa terlayani, jika nantinya lahir dengan kelainan atau masalah kesehatan. Sah-sah saja bila praktik ini terjadi pada asuransi kesehatan komersial. Tapi dalam konteks jaminan kesehatan cara-cara seperti itu terlalu komersil dan vulgar karena filosofinya memang tidak berorientasi keuntungan (not for profit).
Memboroskan anggaran
Pembatasan paket manfaat seperti obat-obatan tertentu dengan maksud mengendalikan biaya (cost containment) justru memboroskan anggaran yang tidak perlu. Kasus pemberian obat penurun kolesterol seperti simvastatin misalnya, untuk mendapatkan simvastatin yang harga per stripnya (isi 10 tablet) Rp 2.000, tidak cukup dengan resep yang ditulis oleh dokter yang memang mempunyai kompetensi dan otoritas untuk itu. Pasien juga diharuskan melampiri bukti pemeriksaan laboratorium ke apotik yang biaya pemeriksaannya puluhan kali lipat harga simvastatin setiap kali pengambilan obat. Ini tentu saja sangat boros dan tidak efisien.
BPJS Kesehatan juga membatasi kacamata bagi peserta suami isteri, atau peserta yang terdaftar dalam kartu keluarga yang sama. Tidak boleh membuat kacamata secara bersamaan pada bulan yang sama. Ini adalah bentuk pembatasan yang salah kaprah yang menghalang-halangi peserta untuk mendapatkan haknya atas indikasi medis secara maksimal (supplay reduced demand). Banyak lagi pembatasan-pembatasan yang kurang masuk akal, namun tetap saja terjadi karena BPJS Kesehatan selaku satu-satunya badan penyelanggara yang ditunjuk oleh pemerintah, lambat-laun telah menjelma menjadi “Superbadan”.
Ketika Pemerintah Aceh akan mengembalikan JKA ke tujuan awal lahirnya, maka tidak salah jika kemudian kita meminta para pengambil kebijakan (policy maker) untuk mengkaji ulang dan mempertimbangkan kembali keberadaan BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggaranya. Sebagai daerah otonomi khusus, Aceh penuh dengan kekhususan dan pengecualian yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Nusantara. Termasuk mekanisme pelaksanaan jaminan kesehatan. Kita punya uang, punya database kepesertaan, punya rumah sakit (RS), punya pola tarif, punya sumber daya, dan punya hal-hal lainnya yang dibutuhkan. Kesemuanya ini tentu saja sudah lebih dari cukup bagi kita untuk mulai mengelola dan menyelenggarakan JKA secara mandiri melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau badan lainnya yang dibentuk oleh gubernur selaku kepala daerah.
BPJS Kesehatan sudah sangat sibuk. JKN yang memasuki tahun keempat penuh dengan gonjang-ganjing kebangkrutan BPJS Kesehatan dan matinya JKN. Selama tiga tahun, BPJS Kesehatan defisit lebih dari Rp 18 triliun. Manajemen buruk, kecurangan dokter dan RS, kecurangan peserta, dan sebagainya sering menjadi tudingan. Ketidakterbukaan BPJS Kesehatan menambah kecurigaan banyak pihak. Padahal, sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan harus transparan. Manajemen BPJS pun kalap dengan membuat aturan waktu tunggu, denda pelayanan, dan upaya lain untuk mengurangi defisit. Upaya-upaya yang tak sesuai dengan tujuan utama JKN.
Kini, 175 juta orang telah menjadi peserta JKN. Namun, sekitar separuhnya tak menggunakan haknya ketika perlu rawat jalan RS. Penduduk kelas menengah atas dan banyak pegawai negeri, pejabat yang membuat aturan JKN, tak menggunakan JKN. Mereka lebih memilih membayar sendiri atau membeli asuransi kesehatan tambahan untuk mereka gunakan. Bahkan, BPJS Kesehatan pun membeli asuransi tambahan swasta untuk pegawainya. Hal itu merupakan indikasi layanan JKN tak memuaskan (Hasbullah Tabrani, Kompas, 14/4/2017).
Jika pun Pemerintah Aceh tetap memilih menunjuk BPJS Kesehatan selaku badan penyelenggara JKA nantinya, maka yang harus dilakukan kemudian adalah membuat regulasi untuk mengatur dan mengawasi BPJS Kesehatan secara ketat agar tidak menjadi superbadan yang kemudian membuat pembatasan-pembatasan tidak rasional dan juga mengintervensi berbagai keputusan profesional dokter dalam pemilihan obat-obatan pasien, baik jenis maupun jumlahnya. Fasilitas pelayanan kesehatan seperti RS, puskesmas, klinik dan praktik dokter layanan primer yang menjadi jejaring juga harus diawasi untuk mencegah kemungkinan terjadinya berbagai macam praktik kecurangan dan penyalahgunaan wewenang (fraud and abuse).
Sistem terintegrasi
Alur pelayanan kesehatan harus didesain sedemikian rupa, sehingga menjadi lebih mudah dan ringkas. Pelayanan menggunakan sidik jari bisa menjadi solusi untuk lebih memudahkan pelayanan di berbagai level. Masyarakat datang ke fasilitas pelayanan kesehatan cukup hanya membawa KTP dan Kartu Keluarga saja, petugas merekam sidik jari dan menginput data-data yang dibutuhkan melalui sistem yang terintegrasi secara online dan tersimpan secara otomatis. Untuk selanjutnya ketika berkunjung lagi cukup hanya menempelkan sidik jari pada alat yang disediakan seperti absensi finger print, identitas dan data pasien serta data anggota keluarganya akan muncul di sistem.
Selanjutnya data itu diproses untuk kemudian mendapatkan nomor antrean yang terkoneksi dengan ruang pelayanan lainnya. Pasien tinggal menunggu giliran di depan ruang periksa hingga nama atau nomor antreannya dipanggil. Selesai pemeriksaan oleh dokter atau petugas terkait maka selanjutnya tergantung kebutuhan, apakah pasien perlu pemeriksaan penunjang lanjutan atau langsung ke apotik. Tentu saja tidak perlu diberi lembatan kertas pengantar pemeriksaan ke laboratorium, ke instalasi radiologi atau resep ke apotik karena memang sudah langsung online ke masing-masing ruang sesuai kebutuhan (less paper). Pelayanan kesehatan seperti ini akan lebih memudahkan dan efisien.
Untuk akses pelayanan kesehatan yang cepat dan tepat sasaran, mekanisme rujukan harus lebih mudah, tidak rumit apalagi berbelit-belit. Puskesmas dan RS harus segera merujuk pasien ke jenjang yang lebih tinggi dengan kondisi dimana terdapat keterbatasan tenaga spesialis, obat-obatan dan alat-alat kesehatan lainnya yang berperan penting dalam pelayanan. Demikian juga mekanisme rujukan antarpoliklinik dalam satu RS yang selama ini dibatasi hanya satu poliklinik saja setiap harinya. Kebijakan yang tidak bijak ini harus ditinjau kembali. Ada penyakit yang karena komplikasinya mengharuskan orang untuk berkunjung ke beberapa poliklinik. Sayang sekali bila kemudian pasien yang datang jauh-jauh ke RS harus kembali lagi besoknya dan menempuh proses pendaftaran dari awal untuk konsultasi ke poliklinik berikutnya yang mestinya bisa dilayani dalam satu hari.
Untuk semua ini tentu saja kita harus berbenah. JKA sebagai program prioritas yang prorakyat harus melibatkan berbagai kalangan dengan komposisi yang proporsional antara berbagai pihak terkait, dan kompeten tentunya. Ini tidak mudah, ini pekerjaan besar yang harus ditangani dengan serius dan tak boleh setengah-setengah kalau kita menginginkan jalan keluar yang tidak ke luar jalan. Yang tidak kalah penting dan mendesak adalah mekanisme penyelesaian komplain yang masih kurang dan hampir tidak ada. Ke depan perlu ada tim yang bekerja dan memiliki kewenangan di lapangan dalam menanggapi keluhan masyarakat.