Jurnalisme Warga
Belajar Menghargai Pelajaran Sederhana yang Tidak Sederhana
Di tengah derasnya arus teknologi, paradoks ini sering muncul: semakin mudah kita terhubung, semakin rentan kita kehilangan rasa menghargai.
SITI HAJAR, S.Pd.I., Gr., M.A., Wali Kelas VII-Bougainvillea Glabra SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe, melaporkan dari Lhokseumawe
Di tengah derasnya arus teknologi, paradoks ini sering muncul: semakin mudah kita terhubung, semakin rentan kita kehilangan rasa menghargai. Di media sosial, orang bebas berkomentar tanpa memikirkan perasaan lawan bicara. Di dalam forum-forum rapat, bahkan juga di ruang-ruang kelas, ada yang lupa memaksimalkan fungsi telinganya untuk mendengarkan dengan baik. Ada pula yang lupa memberi kesempatan orang lain berbicara, bahkan ada yang menyela orang lain berbicara. Padahal, menghargai orang lain adalah inti dari keberadaban.
Sosiolog Erving Goffman (1967) menyebut konsep ini sebagai ‘face-work’, yakni upaya menjaga harga diri orang lain dalam interaksi. Di dunia pendidikan, ia menjadi fondasi bagi terbentuknya ekosistem belajar yang sehat.
Semangat menghargai ini sejatinya juga menjadi napas dari peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus, bukan hanya hasil perjuangan bersenjata, melainkan juga buah dari sikap saling percaya, saling menghormati, dan kebersamaan lintas suku, agama, dan budaya. Indonesia berdiri karena para pendiri bangsa berani mengakui perbedaan dan memberi ruang bagi keberagaman untuk bersatu dalam satu ikatan: Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan, “Persatuan kita bukan uniformitas, melainkan harmoni dalam keberagaman.”
Tahun ini, Aceh sudah memasuki dua dekade sejak ditandatanganinya perjanjian damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Perdamaian yang kita nikmati hari ini lahir dari sikap saling menghargai, keberanian untuk saling mendengar, mengakui perbedaan, dan memberi ruang bagi semua pihak. Nilai-nilai itu tidak tumbuh tiba-tiba, tetapi dipelajari, dibiasakan, dan diwariskan.
Maka, memperingati dua dekade damai di Aceh sekaligus HUT RI adalah momentum penting untuk meneguhkan kembali sikap menghargai sebagai pilar kehidupan berbangsa.
Jika di ruang kelas kita belajar menghargai dengan mendengarkan dan memberi kesempatan orang lain berbicara, di ruang sosial kita mempraktikkannya dengan bijak, dan dalam kehidupan berbangsa kita mewarisinya dengan menjaga perdamaian serta merawat kebersamaan. Sebab, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas dari rasa saling merendahkan.
Sulit dipraktikkan
Pagi itu, 14 Agustus 2025—sehari sebelum peringatan 20 tahun perdamaian—saya ajak anak-anak kelas VII-Bougainvillea Glabra untuk merenungkan makna menghargai. Saya bagikan potongan kertas dan mengajukan pertanyaan sederhana, “Bagaimana cara kamu menghargai orang lain?” Mereka terlihat diam sejenak. Guru memberikan waktu mereka berpikir. Akhirnya mereka menulis, kalimat demi kalimat lahir dari kepala dan hati mereka.
Secepat kilat, saya baca apa yang mereka tuliskan, ternyata semua anak menjawab benar pertanyaan tersebut. Di pikiran anak-anak kelas VII ini, cara menghargai orang lain adalah dengan menghargai pendapat orang lain dan berbicara lemah lembut pada orang. Mayoritas mereka mengemukakan bahwa mendengarkan orang lain saat ia sedang berbicara dan tidak memotong pembicaraannya, itu merupakan cara menghargai yang paling tepat. Guru menyimpulkan bahwa 21 anak yang ada di kelas VII-Bougainvillea Glabra sudah tahu tentang konsep menghargai orang lain.
Langkah berikutnya, mereka bertukar teman duduk, ‘sharing’ apa yang mereka tuliskan di kertas tadi. Tidak sekadar pindah kursi, tapi juga pindah lawan bicara. Mereka saling membaca isi kertas, lalu berbagi pemikiran secara lisan. Proses ini diulang hingga tiga putaran. Di akhir sesi, beberapa siswa diminta maju untuk menyampaikan kembali apa yang didengar dari temannya. Dari proses ini saya melihat cerminan kecil dari proses perdamaian: berani mendengar, mau memahami, dan saling memberi ruang
Momen reflektif
Sebelum kelas berakhir, saya ajukan pertanyaan sederhana lainnya, “Nak, semua sudah tahu jawabannya, tapi mengapa sulit sekali mempraktikkannya?” Fathur, salah satu siswa, menjawab, “Karena tak terbiasa.” Jawabannya singkat, tapi menghunjam.
Saya melanjutkan, “Kalau begitu, agar terbiasa, apa yang harus dilakukan?” Lisma, dengan nada mantap, menjawab, “Berlatih, Miss”.
Dua jawaban ini seperti menegaskan satu hal penting bahwa menghargai orang lain bukan soal tahu atau tidak tahu, melainkan soal kebiasaan (habit) yang dibentuk melalui latihan terus-menerus.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.