Opini

Ini Tantangan Program Imunisasi di Aceh

PROGRAM imunisasi Morbili dan Rubella (MR) yang dicanangkan dan dilaksanakan di Pulau Jawa pada Agustus 2017 lalu, tahun depan

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Ini Tantangan Program  Imunisasi di Aceh
SERAMBI/NUR NIHAYATI
PETUGAS kesehatan melakukam suntik imunisasi campak dan tetatus di SD Sukma Bangsa Caleu, Pidie, Jumat (2/12). Kegiatan ini dalam rangka Bulan Mmunisasi Anak Sekolah (BIAS) digelar Dinas Kesehatan Pidie.SERAMBI/NUR NIHAYATI

Oleh Aslinar

PROGRAM imunisasi Morbili dan Rubella (MR) yang dicanangkan dan dilaksanakan di Pulau Jawa pada Agustus 2017 lalu, tahun depan akan dilaksanakan di luar Jawa termasuk di Aceh. Imunisasi MR merupakan program imunisasi yang baru disubsidi oleh pemerintah. Vaksin MR ini untuk mencegah penyakit morbili (campak) dan rubella. Vaksin MR yang digunakan telah mendapat rekomendasi dari WHO dan izin edar dari BPOM. Vaksin ini aman dan sudah digunakan oleh 141 negara di dunia. Vaksin MR diberikan pada anak usia 9 bulan sampai 15 tahun. Vaksin ini akan menggantikan posisi vaksin campak yang pemberiannya sama, yaitu usia 9 bulan, 18 bulan dan kelas 1 sekolah dasar (SD).

Penyakit campak dan rubella merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui saluran napas. Komplikasi yang timbul akibat penyakit campak, yaitu bisa menyebabkan radang paru (pneumonia), radang otak (ensefalitis), dan komplikasi pada mata bahkan kematian. Sedangkan rubella biasanya merupakan penyakit ringan pada anak, akan tetapi bisa menulari ibu hamil pada trimester pertama (awal kehamilan), sehingga bisa menyebabkan keguguran atau menimbulkan komplikasi pada bayi yang dilahirkan berupa timbul kecacatan baik itu bocor jantung, timbul katarak dan dan ketulian. Ini disebut dengan Sindrom Rubella Kongenital.

Sebelum di-launching vaksin MR ini, di Indonesia sudah terdapat berbagai jenis vaksin, yang selama ini beredar dan diberikan dalam program imunisasi rutin dan bisa didapatkan secara gratis di Puskesmas. Imunisasi yang dimaksud adalah Hepatitis B, Polio tetes dan suntikan, BCG, DPT Hib, Campak. Berbagai vaksin tersebut bertujuan untuk mencegah timbulnya penyakit Hepatitis B, polio, Tuberkulosis (TBC), Difteri, Pertusis, Tetanus, dan Campak.

Bagaimana di Aceh?
Bagaimana pencapaian target imunisasi di Aceh? Berdasarkan data terbaru dari Seksi Surveilans dan Imunisasi P2P Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, angka cakupan imunisasi dasar lengkap di Aceh belum mencapai target. Pada 2015 angka cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) Aceh yaitu 74%, sementara pada 2016 malah menunjukkan penurunan menjadi 70%. Pada 2015 masih terdapat 6 kabupaten/kota dengan angka IDL >90%, masing-masing Kota Banda Aceh, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Kota Langsa. Sedangkan pada 2016 hanya tiga kabupaten/kota dengan angka IDL >90%, yaitu Bener Meriah, Kota Langsa, dan Aceh Tenggara.

Indikator untuk menilai keberhasilan pelaksanaan imunisasi adalah UCI (Universal Child Immunization). Desa UCI adalah gambaran suatu desa di mana >80% dari jumlah bayi (0-11 bulan) mendapat imunisasi dasar lengkap. Tahun 2015, capaian UCI di Aceh adalah sebesar 68% sedangkan pada 2016 kembali menurun yaitu 65%.

Berbagai faktor yang menyebabkan makin turunnya angka cakupan imunisasi tersebut dan menjadi tantangan bagi program imunisasi di Aceh adalah karena adanya penolakan dari masyarakat. Baik disebabkan karena ketakutan akan efek demam yang timbul pascaimunisasi ataupun efek lain yang dikhawatirkan terjadi. Para orang tua yang tidak membawa anaknya imunisasi karena sedang sakit di saat jadwal imunisasinya tiba, kemudian terlupa sehingga akhirnya tanpa imunisasi sama sekali.

Demikian pula berbagai info yang tidak bertanggung jawab sudah banyak menyebar ke masyarakat, baik itu melalui media sosial ataupun selebaran atau bahkan berupa buku dan tabloid. Gerakan antivaksin semakin menunjukkan eksistensinya di Indonesia.

Akibatnya penyakit yang sudah lama menghilang kembali muncul. Pada Maret 2005, misalnya, dilaporkan adanya penderita polio di Sukabumi, Jawa Barat. Kemenkes telah melakukan berbagai upaya eradikasi termasuk pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio, yang dilaksanakan pada 8-15 Maret 2016.

Selain itu, penyakit difteri kembali mewabah pada 2012. Tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada 2010, 806 kasus pada 2011 dan puncaknya pada 2012 mencapai 1192 kasus. Di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari tahun 2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Kasus difteri mencapai puncaknya di tahun 2017 ini, di Aceh sudah tercatat ada 77 kasus dan Aceh menjadi peringkat pertama jumlah kasus difteri terbanyak se Indonesia. Suatu “prestasi” yang menyedihkan.

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh dan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh atas dukungan UNICEF melakukan survei atas pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap program imunisasi yang dikaitkan dengan Fatwa MPU No.3 Tahun 2015 di lima kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen, dan Pidie. Isi Fatwa MPU Aceh tersebut menegaskan bahwa vaksin polio tetes tidaklah haram dan boleh digunakan oleh umat Islam.

Lima kabupaten yang dilakukan survey tersebut adalah wilayah dengan angka cakupan imunisasi rendah. Dari survei didapatkan beberapa gambaran yaitu: Pertama, masyarakat masih takut dengan efek samping imunisasi; Kedua, masih adanya tokoh agama, tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan yang memprovokasi agar tidak melakukan imunisasi; Ketiga, lemahnya informasi yang didapatkan; Keempat, masih rendahnya sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan, dan; Kelima, berkembang isu vaksin haram yang mengandung enzim babi.

Pendapat ulama
Isu tentang adanya kandungan enzim babi dalam vaksin lebih mendominasi alasan penolakan tersebut. Bagaimana pendapat ulama tentang hal ini? Sampai saat ini, tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Contohnya, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Mufti Besar Arab Saudi membolehkan vaksinasi. Beliau mengatakan tidak mengapa berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Dr Yusuf Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga membolehkan imunisasi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan Fatwa MUI No.04 Tahun 2016 tentang Imunisasi menyebutkan: Pertama, imunisasi pada dasarnya dibolehkan sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah suatu penyakit tertentu; Kedua, vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci; Ketiga, penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis hukumnya haram;

Keempat, imunisasi dengan vaksin haram/dan atau najis tidak dibolehkan kecuali digunakan pada kondisi darurat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci dan adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal; Kelima, dalam hal jika seorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya maka imunisasi hukumnya wajib, dan; Keenam, imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya menimbulkan dampak yang membahayakan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved