Opini

Difteri, Imunisasi, dan Kekebalan Komunitas

ISU penggunaan sejumlah bahan haram (dari babi) juga menjadi isu utama penolakan terhadap imunisasi

Editor: hasyim
Kolase/Tribunnews
Waspada Wabah Difteri yang Sebabkan Kematian, 4 Bahan Alami Murah Meriah Ini Diklaim Ampuh Menyembuhkannya 

(Bagian 2 dari 2 Tulisan)

Oleh Tristia Rinanda

ISU penggunaan sejumlah bahan haram (dari babi) juga menjadi isu utama penolakan terhadap imunisasi. Dalam hal ini, penulis secara lengkap mengutip secara utuh isi Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.4 Tahun 2016 tentang Imunisasi: Pertama, imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah), sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu; Kedua, vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci;

Ketiga, penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram; Dan, keempat, imunisasi dengan yang haram dan/atau najis tidak diperbolehkan, kecuali digunakan pada kondisi al-dlarurat (mengancam jiwa) dan al-hajat (menyebabkan sakit parah dan kecacatan), belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci, dan adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.

Vaksin halal
Fatwa ini dengan jelas menuliskan bahwa imunisasi merupakan ikhtiar untuk terhindar dari penyakit. Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk menjamin ketersediaan vaksin yang halal bagi umat muslim Indonesia. Saat ini Indonesia memiliki pabrik vaksin Biofarma di Bandung, Jawa Barat, yang sangat ketat dalam menyeleksi bahan yang digunakan dalam pembuatan vaksin halal.

Selain itu untuk mengakomodir kebutuhan vaksin bagi kaum muslimin dunia, sejumlah produsen vaksin (seperti vaksin anti-meningitis), telah mengganti komponen porcine (babi) dengan bovine (babi). Berbagai propaganda anti-vaksin lainnya, sebenarnya dapat dikonfirmasi benar-salahnya secara ilmiah. Oleh sebab itu, para tenaga kesehatan harus cerdas dan mampu mengakses berbagai informasi ilmiah terkait imunisasi, serta harus komunikatif dalam menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat.

Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap imunisasi karena adanya peredaran vaksin palsu yang terungkap pada 2016 harus segera dapat diatasi dengan memberikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat. Vaksin palsu yang beredar berisikan Natrium Klorida serta vaksin DPT yang hanya berisi anti-pertussis dan anti-hepatitis B. Vaksin oplosan ini tidak menginduksi pembentukan antibodi terhadap penyakit tertentu.

Untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, telah memprogramkan imunisasi ulang bagi anak-anak dalam rentang usia tertentu yang menetap di wilayah distribusi vaksin palsu. Selain itu, masyarakat juga diimbau untuk melakukan imunisasi di fasilitas kesehatan resmi yang mengambil vaksin dari distributor vaksin resmi.

Tenaga kesehatan juga berperan penting dalam upaya mengingatkan masyarakat utuk mematuhi jadwal imunisasi. Jika anak menderita sakit, seperti demam atau dirawat di rumah sakit karena sakit berat, maka pemberian vaksin dapat ditunda dan harus dipastikan diberikan pada saat anak telah sembuh. Imunisasi DPT tidak boleh diberikan hanya pada kasus defisiensi imun dan riwayat syok anafilaktik pada pemberian imunisasi sebelumnya.

Kualitas vaksin yang tersedia di fasilitas kesehatan juga harus dijaga dengan baik. Prosedur Cold chain harus dipertahankan sejak vaksin ditransport dari produsen hingga ke fasilitas kesehatan. Toleransi suhu bagi vaksin DPT adalah antara 2°C (rusak dengan pembekuan) sampai dengan -8°C.

Upaya komprehensif
Saat ini sedang dilaksanakan upaya komprehensif dalam pendeteksian kasus difteri di masyarakat. Upaya deteksi cepat diharapkan mampu mempercepat pemberian terapi yang tepat sehingga kasus yang ada tidak menyebabkan komplikasi berat, serta dapat menurunkan kematian akibat difteri. Selain itu juga dilakukan di daerah yang ditetapkan sebagai KLB, dilakukan ORI (Outbreak Response Immunization), yaitu tindakan pemberian DPT pada anak-anak usia di bawah 7 tahun dan pemberian DT pada usia di atas 7 tahun.

Selain berbagai upaya jangka pendek di atas, kita juga harus memperhatikan upaya jangka panjang, yaitu meningkatkan cakupan imunisasi DPT. Berdasarkan konsep kekebalan komunitas yang sudah dijelaskan di atas, upaya ini sangat krusial dalam mencapai kekebalan terhadap difteri di masyarakat. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tengah yang telah melakukan sweeping imunisasi di wilayah kerjanya (Serambi, 4/3/2017).

Upaya meningkatkan cakupan imunisasi terhadap penyakit menular, terutama difteri, harus melibatkan semua elemen masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab dalam menyediakan vaksin yang baik, halal dan berkualitas, serta memastikan amannya jalur ditribusi dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Para tenaga kesehatan berkewajiban untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya imunisasi sebagai proteksi terhadap berbagai penyakit, memastikan masyarakat mematuhi jadwal imunisasi, melakukan pencatatan yang benar, dan senantiasa menjaga kualitas vaksin dengan penyimpanan yang tepat.

Masyarakat awam, tarutama para orang tua, juga memiliki peran dan tanggung jawab yang cukup besar dalam hal memastikan anak-anaknya mendapatkan imunisasi sesuai dengan jadwal. Selain menjadi tanggung jawab moral, imunisasi merupakan ikhtiar yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebab, semakin banyak anggota masyarakat yang tidak mendapatkan imunisasi, maka semakin besar kerentanan kita terhadap berbagai penyakit menular. (Selesai)

dr. Tristia Rinanda, M.Si., Staf Pengajar Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: tristia.rinanda@unsyiah.ac.id

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved