Opini

Mengawamkan Umat

TULISAN Teuku Zulkhairi (TZ) berjudul “Kitab Mu’tabar Membangun Peradaban” (Serambi, 5/1/2018), mengungkapkan alasan

Editor: bakri
Kitab Masailul Muhtady versi android 

(Tanggapan Tulisan Teuku Zulkhairi)

Oleh Adnan

TULISAN Teuku Zulkhairi (TZ) berjudul “Kitab Mu’tabar Membangun Peradaban” (Serambi, 5/1/2018), mengungkapkan alasan filosofis pengharaman beberapa kitab ghairu mu’tabar oleh Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Aceh. Secara umum dapat disimpulkan bahwa alasan perihal pengharaman tersebut untuk menjaga stabilitas Aceh. Sebab, menurutnya fatwa tersebut keluar dikarenakan adanya masalah dan potensi munculnya masalah di kalangan masyarakat awam. Sehingga diperlukan fatwa dari MPU untuk mengharamkan beberapa kitab yang dianggap ghairu mu’tabar.

Penulis tergelitik mengomentari dua poin besar yang termaktub dalam tulisan TZ tersebut, yakni: Pertama, “kitab-kitab ghairu mu’tabar tersebut (hanya) diharamkan untuk diajarkan di masyarakat awam (paragraf 4)”, menurut TZ konklusi itu sesuai dengan penuturan Tgk H Faisal Ali (Lem Faisal/Wakil MPU Aceh) kepadanya. Hemat penulis, pernyataan itu memuat beberapa informasi penting bagi masyarakat, yakni (a) sebenarnya kitab yang dianggap ghairu mu’tabar oleh MPU Aceh adalah mu’tabar, (b) kitab yang dianggap ghairu mu’tabar oleh MPU Aceh hanya tidak boleh diajarkan kepada masyarakat awam.

Dari itu dapat disimpulkan bahwa, kitab yang dianggap ghairu mu’tabar oleh MPU Aceh sebenarnya adalah mu’tabar dan hanya dapat dibicarakan di kalangan pakar/ahli (ulama), bukan di kalangan awam. Akan tetapi, sampai kapan kita mau mengawamkan masyarakat Aceh? Sebab klaim awam dapat “menendang bola ke gawang sendiri”. Artinya, kita selalu mengawam-awamkan masyarakat. Padahal, secara umum di Aceh ada puluhan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, ratusan dayah dan balai pengajian beserta ribuan alumninya, puluhan profesor dan ratusan doktor di bidang agama. Lantas, apakah kita terus mempertahankan masyarakat menjadi awam di tengah-tengah ratusan lembaga pendidikan dan ribuan sumber daya manusia (SDM)?

Mencerdaskan umat
Karena itu, alangkah lebih bijak jika MPU Aceh melakukan konsolidasi dengan para ulama dan agamawan di Aceh untuk mencerdaskan masyarakat Aceh dalam memahami kitab-kitab tersebut, dari pada mengharamkannya secara sepihak, yang malah membuat distabilitas (keributan dan kebingungan) dalam masyarakat Aceh. Untuk itu, MPU Aceh hendaknya menjadi tempat diskusi, bertukar pendapat, mengayomi, dan mencerdaskan masyarakat Aceh. Bukan malah menempatkan masyarakat Aceh sebagai objek awam.

Secara umum, semua kita sepakat keberadaan MPU Aceh untuk menghadang dan membasmi berbagai aliran sesat dan menyesatkan di Aceh, semisal Millata Abraham, Laduni, dan aliran-aliran sesat lainnya. Pun, kita sepakat untuk menyeleksi berbagai buku yang masuk ke Aceh yang dianggap sesat dan menyesatkan. Akan tetapi, diperlukan indikator-indikator yang jelas dan ilmiah dalam menyeleksi kitab-kitab dan buku-buku yang masuk ke Aceh. Jangan sampai hanya mengharamkan kitab-kitab atau buku-buku yang dianggap bertentangan dengan orang atau kelompok tertentu saja.

Kedua, “hukum Kerajaan Aceh Darussalam adalah Alquran, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Secara fikih berpedoman kepada empat mazhab, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali (paragraf 7)”. Menurut TZ, dasar hukum Kerajaan Aceh Darussalam tersebut termaktub dalam Qanun Meukuta Alam (syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk di Mulek) yang diterjemahkan oleh Mohd Kalam Daud dan TA Sakti. Pernyataan tersebut mengungkapkan tentang dasar hukum dan pedoman mazhab fikih di bawah Kerajaan Aceh Darussalam tempo doeloe. Dengan harapan dapat menjadi cerminan bagi Aceh kini dalam beragama.

Sebab itu, hemat penulis pernyataan di atas memiliki beberapa informasi penting bagi masyarakat, di antaranya: Pertama, Kerajaan Aceh Darussalam turut berperan aktif dalam membentengi aliran sesat dan menyesatkan, dan menjaga kemurniaan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, dan; Kedua, Kerajaan Aceh Darussalam mengayomi, menjaga, dan menjamin keragamaan ibadah dan pemahaman di kalangan masyarakat Aceh saat itu. Hal tersebut terlihat dari pedoman fikih Kerajaan Aceh Darussalam menerima pemahaman dan pendapat lintas mazhab muktabar, yakni Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.

Dengan demikian, kita mengharapkan semua elemen masyarakat dan pemerintahan, termasuk MPU Aceh, untuk menyiapkan berbagai instrumen dalam membasmi dan membentengi aliran sesat dan menyesatkan, serta menjaga kemurnian aliran Ahlussunnah wal Jamaah di Aceh sebagai aliran seluruh umat dan kelompok Islam di Aceh. Pun, kita berharap dapat mengayomi, menjaga, dan menjamin keragamaan ibadah dan pemahaman di Aceh selama berpedoman kepada mazhab muktabar. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sultan Iskandar Muda.

Sebab hemat penulis, realitas saat ini menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang hendak menjadikan Aceh berpemahaman dan bermazhab monolitisk. Yakni hanya berpedoman pada mazhab Syafi’i saja. Meskipun kita bermazhab Syafi’i, tapi tidaklah harus menafikan mazhab lain. Sebab, jika menelisik sejarah Aceh seperti yang diungkapkan TZ menunjukkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam tempo doeloe berpemahaman dan bermazhab heterogenitas, yakni dengan berpedoman pada empat mazhab muktabar. Maka perlulah setiap kita untuk menghargai setiap perbedaan selama masih dalam bingkai Ahlussunnah wal Jamaah.

Karena itu, terlihat jelas bahwa Kerajaan Aceh Darussalam tempo doeloe memahami benar setiap perbedaan pendapat dalam agama (fikih). Sehingga perbedaan-perbedaan tersebut tidak dibonsai, dibabat, dan dimusnahkan. Akan tetapi, dipelihara, dijaga, dan dijamin keberadaannya. Sebab, perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan umat Islam merupakan rahmat dan anugerah Allah Swt. Karena Allah Swt telah menjamin munculnya berbagai pendapat dan pemahaman di kalangan hamba-Nya.

Maka Yusuf Al-Qardhawi menyebutkan bahwa perbedaan di kalangan umat merupakan sifat alamiah dan sunnatullah dalam agama. Mustahil sifat alamiah dan sunnatullah tersebut dapat disatukan dan dipaksakan menjadi satu. Sebab, perbedaan pendapat di kalangan umat sudah dijamin keberadaannya oleh Allah Swt dan RasulNya (Qs. Al-Maidah: 48). Karena itu perbedaan merupakan satu ujian dan tanda-tanda kebesaran Allah Swt dalam beragama dan pengamalan agama (Adnan, Serambi, 27/10/2017). Penulis melihat, konsep dasar ini benar-benar dipahami oleh para ulama di masa Sultan Iskandar Muda.

Tanda kebesaran Allah
Sebab itu, perbedaan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt yang ditunjukkan kepada makhlukNya. Semisal, perbedaan agama, paham politik, organisasi, suku bangsa, warna kulit, sudut pandang, maupun profesi dan status sosial (QS. Al-Hujurat: 13). Apalagi perbedaan itu hanya terjadi dalam penafsiran dan pentakwilan teks (nash) Alquran dan Hadis terhadap sesuatu yang termasuk dalam cabang-cabang agama (furu’iyah). Harusnya, hal tersebut terus dipelihara, dijaga, dan dilestarikan sebagai bukti keagungan Allah Swt.

Jangan pernah berpikir Aceh akan musnah dan tenggelam jika penduduknya beragam dalam ibadah. Tapi, Aceh akan tenggelam jika penduduknya tidak pernah beribadah. Penduduk Aceh tidak akan bertengkar dan berkelahi hanya gara-gara perbedaan pendapat selama dalam bingkai Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, penduduk Aceh akan saling bertengkar dan berkelahi karena tidak memahami hakikat perbedaan dalam agama. Maka, tugas seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan, termasuk MPU Aceh, untuk mencerdaskan umat, bukan mengawamkan umat. Semoga!

* Adnan, S.Kom.I., M.Pd.I., Dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe, Aceh. Email: adnanyahya50@yahoo.co.id

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved