Opini
Kesaktian UUPA
MAHKAMAH Konstitusi (MK) pada 11 Januari 2018 lalu, melalui judicial review telah membatalkan Pasal 557 ayat (2)
Oleh Amrizal J. Prang
MAHKAMAH Konstitusi (MK) pada 11 Januari 2018 lalu, melalui judicial review telah membatalkan Pasal 557 ayat (2) dan Pasal 571 huruf d UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), dan mengembalikan keberlakuan Pasal 57 dan Pasal 60 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) mengenai Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) yang sebelumnya dicabut. Putusan tersebut menunjukkan kesaktian UUPA dalam implementasi desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) Aceh. Pembatalan dilakukan melalui tiga putusan, yaitu: Pertama, Putusan No.61-PUU-XV-2017, dimohon oleh anggota DPRA, Samsul Bahri dan Kautsar; Kedua, Putusan No.66-PUU-XV-2017, dimohon oleh Muharuddin, Ketua DPRA; dan, ketiga, Putusan No.75-PUU-XV-2017, dimohon oleh sebagian anggota KIP Aceh.
Melihat ketiga objek permohonan tersebut substansinya relatif sama, yaitu menggugat Pasal 557 ayat (2) dan Pasal 571 huruf d UU Pemilu. Meskipun, permohonan tersebut sebagian dikabulkan dengan membatalkan kedua pasal tersebut, namun selebihnya ditolak oleh MK. Kecuali, Putusan No.75-PUU-XV-2017 selain berbeda objek, keseluruhan permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), karena dianggap telah kehilangan objek dan kabur (obscuur libel).
Bukan kekhususan
Dari ketiga putusan MK tersebut yang menarik dianalisis adalah dikabulkan permohonan, bukan karena pengakuan materiil (substansi) keberadaan KIP dan Panwaslih sebagai bagian kekhususan atau keistimewaan Aceh. Sebaliknya, MK menganggap meskipun diatur khusus dalam UUPA, tetapi keberadaan KIP dan Panwaslih bukan bagian kekhususan atau keistimewaan Aceh.
Namun, terdapat dua faktor esensi dikabulkan permohonan tersebut: Pertama, karena historis pembentukan UUPA. Sebagaimana pertimbangan MK dalam paragraf [3.11] angka 4, Putusan No.61-PUU-XV-2017, dan paragraf [3.11] angka 1 huruf a, Putusan No.66-PUU-XV-2017, berbunyi: Kendatipun tidak semua hal yang diatur dalam UUPA menjadi kekhususan Aceh, namun UUPA merupakan UU yang bersifat khusus. Sehingga, meskipun KIP dan Panwaslih dibentuk dengan UUPA, eksistensinya tidak termasuk bagian keistimewaan atau kekhususan Aceh, tetapi dalam konteks historis pembentukannya harus tetap dihormati.
Selanjutnya, MK secara eksplisit mendeskripsikan bahwa kekhususan atau keistimewaan dalam norma Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, merupakan dua hal yang disebut secara alternatif, maka kekhususan suatu daerah juga sekaligus keistimewaan. Artinya, dalam konteks keistimewaan Aceh yang diatur Pasal 3 UU No.44 Tahun 1999, berkenaan dengan penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama merupakan sekaligus juga sebagai kekhususan Aceh. Selain itu, pelaksanaan pemerintahan Aceh juga diatur dalam UUPA yang dibentuk karena kondisi khusus, tetapi bukan berarti semua yang diatur dalam UUPA berlaku khusus. Walaupun demikian, tidak serta merta dapat diubah seperti UU lainnya.
Faktor kedua, khusus untuk pembentukan dan perubahan UUPA dan UU yang berhubungan khusus Aceh, wajib dilakukan melalui konsultasi dan pertimbangan DPRA, sebagaimana Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 ayat (3) UUPA. Perumusan mekanisme ini bertujuan agar adanya kepastian hukum terkait dengan kepercayaan (trust). Jika tidak dilakukan maka akan berdampak terjadinya ketidakpastian hukum bagi pemerintahan dan rakyat Aceh. Sehingga, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Putusan MK ini relatif sesuai dengan objek permohonan yang disampaikan oleh para pemohon, pihak terkait, saksi, dan saksi ahli, meskipun sebagian ditolak. Saya selaku saksi ahli saat itu dimintakan untuk Perkara No.66-PUU-XV-2017 menyampaikan pandangan hukum berkaitan keberadaan UUPA. Sebagaimana, paragraf D Petitum, Putusan No.66-PUU-XV-2017; Pertama, saya berpandangan bahwa dalam perspektif metode penemuan hukum (rechtsvinding), dalam pembentukan dan perubahan suatu UU perlu diinterpretasi (penafsiran), salah satunya metode interpretasi historis UU. Dalam konteks perubahan UUPA, maka perlu dilihat historis pembentukannya. Sehingga, tidak boleh diabaikan oleh pembentuk UU (DPR dan Presiden). Dan, kedua, semestinya DPR dan Presiden sebelum mengubah UUPA perlu melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA, sebagaimana Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 ayat (3) UUPA, yang menjadi landasan yuridis formil bagi pembentuk UU.
Oleh karena itu, pembatalan kedua pasal UU Pemilu tersebut bukan karena faktor kekhususan atau keistimewaan Aceh, melainkan karena historis pembentukan dan perubahannya mesti dilakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Sehingga, secara konstitusional dalam konteks ini pembatalan UU Pemilu, bukan kontradiksi dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Melainkan, dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, berhubungan dengan kepastian hukum implementasi Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 ayat (3) UUPA.
Tantangan konstitusional
Meskipun putusan MK bersifat final dan binding (mengikat), serta dengan putusan tersebut merupakan manifestasi kesaktian UUPA karena historis dan konsultasi dengan DPRA. Namun ke depan tantangan konstitusional terhadap keberadaan UUPA masih terbuka lebar. Karena sebagian substansi UUPA tidak dianggap bagian kekhususan atau keistimewaan Aceh, kecuali yang diatur dalam Pasal 3 UU No.44 Tahun 1999. Oleh karenanya, diperlukan persamaan persepsi, seluruh elemen terutama pemahaman terhadap tekstual dan kontekstual legislative review (perubahan oleh pembentuk UU) dan judicial review (pengujian oleh pengadilan).
Berdasarkan perbedaan terminologi antara toetsingsrecht dan judicial review tersebut, maka kemungkinan ke depan akan ada para justiciabelen (pencari keadilan) menggugat UUPA. Ada tiga bentuk metode gugatan/perubahan UUPA kemungkinan dilakukan dan tiga landasan konstitusional penyelesaiannya: Pertama, jika perubahan UUPA oleh DPR baik terhadap substansi kekhususan atau keistimewaan maupun tidak, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 ayat (3) UUPA niscaya perlu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA. Norma ini, dilakukan melalui toetsingsrecht atau legislative review, bukan judicial review. Untuk memperkuat atau mengubah UUPA, batu uji konstitusi yang digunakan adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan tentu saja ditambah Putusan MK No.61-PUU-XV-2017 dan Putusan MK No.66-PUU-XV-2017.
Kedua, jika substansi khusus atau istimewa Aceh yang diatur dalam UUPA dan UU No.44 Tahun 1999 digugat ke MK melalui judicial review, maka batu uji konstitusi yang digunakan MK adalah Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Dan, ketiga, jika yang digugat/mohon kepada MK yang tidak bersifat khusus atau istimewa, maka MK sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, selaku lembaga independen dan pengawal konstitusi (the guardian constitution), sekaligus satu-satunya berwenang menafsirkan konstitusi (the soul of interpreter), untuk membatalkan atau mempertahankan UUPA, akan menggunakan pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan objek gugatan/permohonan tersebut. Bahkan, tidak berkewajiban melakukan konsultasi dan meminta pertimbangan DPRA. Meskipun, untuk mendapatkan objektivitas penilaian dan putusan MK dapat meminta pertimbangan DPRA.
Berdasarkan ketiga tantangan ini, maka ke depan Pemerintah Aceh dan DPRA, serta elemen masyarakat Aceh lainnya memerlukan kekompakan dan satu persepsi dalam menyikapi dan mengawal UUPA. Salah satunya, mendorong DPR untuk segera memasukan mekanisme konsultasi dan pertimbangan DPRA ke dalam Tata Tertib DPR, sebagaimana delegasi Pasal 6 ayat (2) Perpres No.75 Tahun 2008 tentang Konsultasi dan Pertimbangan. Dan, segera membentuk tim khusus kajian dan pengawal UUPA, dengan melibatkan elemen-elemen yang memahami eksistensi UUPA dan konteks desentralisasi asimetris Aceh. Semoga!
* Dr. Amrizal J. Prang, SH., LL.M., Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: amrizal@unimal.ac.id