Opini

Intelektual Rabun Dekat

BUKANLAH ablepsia yang hendak diperkarakan di sini. Bukan soal intelektual-intelektual yang harus mengenakan

Editor: bakri
Google
Ilustrasi 

Oleh Bisma Yadhi Putra

BUKANLAH ablepsia yang hendak diperkarakan di sini. Bukan soal intelektual-intelektual yang harus mengenakan kacamata plus karena kesanggupan indra penglihatannya sudah menurun --yang oleh asumsi umum diyakini terjadi karena mereka banyak membaca. Kerabunan adalah perkara medis. Dan tidak mungkin bisa dikupas dengan baik oleh yang bukan medikus.

“Intelektual rabun dekat” di sini tak berkenaan sama sekali dengan topik kesehatan. Tetapi merujuk pada intelektual-intelektual yang bertindak sebagai kritikus, sekaligus pendukung penyelewengan kekuasaan. Perilaku menyimpang ini belum menjadi perbincangan orang ramai, sehingga perlu kiranya diangkat ke arena diskusi publik.

Satu dari sekian keharusan intelektual adalah bertugas sebagai pengontrol orang-orang yang memegang kekuasaan. Posisi ini, pertama sekali meminta setiap intelektual memegang prinsip; siapa saja yang diberi kepercayaan untuk memimpin masyarakat atau mengatur kehidupan umum wajib diawasi. Kemudian ini harus benar-benar ditunaikan.

Sampai hari ini yang masih berkukuh hati pada adat intelektual tersebut bukanlah makhluk langka. Lagi belum sulit menjumpai intelektual-intelektual yang menolak menjadi akhtaj. Namun di tengah kumpulan intelektual-intelektual kritis ini akan kita temukan sebagian yang unik, yakni mereka yang kritis pada penguasa di daerah lain (penguasa jauh), tetapi menutup mulutnya rapat-rapat atas kekeliruan atau penyelewengan kekuasaan yang dibuat penguasa di daerahnya sendiri (penguasa dekat). Dan, tidak sukar membuat penjelasan mengenai mereka.

Keberanian intelektual
Keberadaan intelektual-intelektual semi kritis tersebut telah menampakkan satu hal; ternyata tidak semua intelektual memiliki keberanian yang utuh. Ada ketakutan yang masih menjerat, ketakutan yang menyumbat aktualisasi inteligensia dan keharusan mereka sebagai “pengontrol penguasa dekat” dan “pembela masyarakat sekitar”.

Kritik tidak bisa disampaikan oleh mereka yang disandera rasa takut. Pengetahuan, perasaan, dan keberanian adalah tiga komponen yang akan bertemu dalam perancangan kritik. Hanya saja orang sering keliru memahami posisi komponen yang terakhir tersebut. Keberanian dianggap hanya berperan pada fase penyampaian kritik, tidak berandil saat premis-premisnya sedang dipertalikan. Padahal tanpa keberanian, orang bahkan bisa tak bernyali untuk berpikir, apalagi mendorong daya pikirnya itu dalam merancang hingga meradukan pemikiran kritisnya.

Sekiranya pun berhasil ditetaskan, kritik tak akan dimasyarakatkan karena pembuatnya takut pada dampak-dampak yang mungkin muncul. Dengan tidak beredarnya kritik, tidak ada kritik; tidak ada yang didengar penguasa dan masyarakat. Karena itulah ketiga komponen tadi mesti mengambil peran bersama-sama sejak mula. Tanpa perasaan kritik tidak akan terpikirkan, karena realitas akan dimasabodohkan; tanpa pengetahuan kritik tidak akan mencerdaskan, karena yang muncul pernyataan-pernyataan serampangan; tanpa keberanian kritik tidak akan berani dibuat dan dimunculkan.

Namun sebenarnya ada jenis ketakutan yang bermanfaat bagi intelektual untuk dijaga dalam sanubarinya. Mestilah mereka takut masyarakat terpecah, semakin miskin, menjadi barbar, hidup tanpa norma, menderita gizi buruk, dan bentuk-bentuk kemunduran kualitas lainnya. Dengan menjaga ketakutan atas akan terjadinya hal-hal demikian maka kelurusan pikiran seorang intelektual tetap terawat.

Sebaliknya, ada jenis ketakutan yang tidak baik bila bersarang dalam pikiran intelektual. Takut dimusuhi penguasa, takut tidak lagi kebagian jatah anggaran penelitian, takut proposal yang diajukan tidak diterima, takut dicoret sebagai pembicara rutin dalam seminar-seminar yang dibuat pemerintah daerah, takut tidak lagi dijadikan staf ahli, takut dikeluarkan dari tim penulis pidato, takut kehilangan posisi bergaji tinggi, atau takut kehilangan akses pada proyek-proyek basah lainnya akan membuat pikiran dan perasaan intelektual berkarat.

Dan hal-hal semacam itulah yang intelektual rabun dekat takuti. Mereka pun kemudian memilih tunduk pada figur yang bisa menghadirkan itu semua; penguasa di daerahnya sendiri. Membuatnya gusar bisa kehilangan akses pada kenikmatan-kenikmatan tersebut. Intelektual rabun dekat tahu betul mengecam/mengkritik penguasa jauh berbeda risikonya dengan mengecam penguasa di daerah sendiri. Penguasa di setiap daerah, tentu lebih mengenali para kritikus di daerah kekuasaannya. Tanggapan atau serangan balik dari penguasa dekat pun bisa lebih konkret dan cepat. Pagi hari dikritik, pagi itu juga ia bisa melancarkan tangkisan.

Sikap asimetris
Maka sikap dan tindakan terhadap figur pemberi privilese akan dipastikan melulu merelevansi dengan upaya pemerolehan dan penjagaan hal tersebut. Jadi kegelisahan intelektual rabun dekat tak berkisar pada kondisi masyarakat di sekelilingnya. Akibat takut akses pada lahan basah ditutup oleh penguasa dekat, “indra penglihat realitas terdekat” mereka pun mulai terganggu.

Realitas terdekat tak lagi bisa dilihat dengan jelas, sejelas mereka melihat realitas di daerah-daerah lain yang jauh. Prinsip imbang dalam bersikap pun mulai ditinggalkan. Sebab itulah mengapa data jumlah penduduk miskin terbaru di daerah penguasa jauh dan daerahnya sendiri yang sama-sama menunjukkan kenaikan tidak direspons dengan sikap yang sama. Intelektual rabun dekat hanya akan kritis pada salah satunya. Sambil pura-pura tidak tahu jumlah orang miskin di sekitarnya bertambah, tanpa rasa malu hanya peningkatan kemiskinan di daerah lain yang dikritik habis-habisan. Ungkapan-ungkapan miris ditulis, lengkap dengan data gambar rumah-rumah reyot milik penduduk di daerah lain itu.

Begitu pula saat penguasa jauh dan penguasa dekat sama-sama melakukan penyelewengan kekuasaan, bahkan dalam bentuk/kasus yang sama (misalnya menggusur permukiman warga miskin demi mengegolkan ambisi pemodal untuk mendirikan properti di kawasan tersebut), hanya penguasa jauh yang dikritik. Mereka tak beleter pada kedurjanaan penguasa di daerah sendiri. Penguasa buruk di sana dikontrol, penguasa di sini didiamkan.

Saat orang-orang mengabari kesalahan, keburukan, atau ketidakbecusan penguasa daerah yang menyervisnya, intelektual rabun dekat akan berdalih tidak melihat ada yang salah. Dari sini, telah jelas bahwa posisinya bukan lagi sebagai “pembela masyarakat”.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved