Dewan: Pergub APBA Bukan Solusi

Rencana Pemerintah Aceh mempergubkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2018

Editor: bakri
IST
Azhari Cagee 

* Itu Konsekuensi, Bukan Pilihan

BANDA ACEH - Rencana Pemerintah Aceh mempergubkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2018 mendapat respons dari Anggota DPRA. Sebagian mereka ngotot agar APBA tetap diqanunkan seperti biasa. Sedangkan Pemerintah Aceh melalui Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) sudah mengirimkan berkas ke Kemendagri agar APBA dipergubkan.

Hal itu disampaikan Anggota Banggar yang juga Sekretaris Komisi VI DPRA, Azhari Cagee SIP kepada Serambi di Banda Aceh, kemarin. Menurutnya, upaya mempergubkan APBA bukanlah solusi terbaik untuk masyarakat Aceh saat ini. “Ini bukan solusi terbaik, karena jika dipergubkan kita akan kembali menggunakan total anggaran seperti tahun lalu. Sedangkan saat ini, banyak program yang akan dilakukan,” kata Azhari Cagee.

Politisi Partai Aceh juga menyebutkan, jika APBA dipergubkan, maka ini adalah tindakan konyol yang diambil oleh Gubernur Aceh. Alasannya, karena angka kemiskinan Aceh saat ini masih nomor dua di Sumatera. “Apalagi pengangguran terbanyak di Aceh, oleh sebab itu, seharusnya semua stakeholder, baik eksekutif dan legislatif mencari solusi terbaik untuk persoalan ini,” kata Azhari.

Azhari berpendapat, tindakan untuk mempergubkan APBA hanya berpedoman pada Permendagri Nomor 12 Tahun 2014, padahal ada undang-undang yang lebih tinggi yang mengamanahkan tugas dan fungsi DPRA, yaitu penganggaran, legislasi, dan pengawasan. “Jadi, ini sama dengan mengabaikan undang-undang dan hanya berpegang pada aturan ynag lebih rendah demi sebuah ego gubernur dan Pemerintah Aceh,” kata Azhari Cagee.

Dalam polemik APBA ini, lanjut Azhari, ia melihat gubernur tampaknya seperti diatur oleh Tim TAPA, sehingga menguatlah rencana Pergub APBA 2018. Ia tentu menyayangkan hal itu jika memang benar, karena tentu seorang gubernur lebih berhak menentukan kebijakan. “Jangan sampai gubernur yang mengaku sebagai gubernur senior, bisa diatur oleh orang-orang di sekelilingnya,” ujar Azhari.

Kepada Serambi, Azhari mengaku, selama ini sering menyerap aspirasi dari masyarakat yang menginginkan APBA tetap disahkan melalui qanun di DPRA. Ia merasa, ini adalah aspirasi rakyat yang harus diperjuangkan.

Wakil Ketua Komisi IV DPRA, Asrizal H Asnawi mengatakan, keinginan mempergubkan APBA memang keinginan kuat dari Pemerintah Aceh sejak dua bulan terakhir. Setidaknya hal itu terlihat, ketika Banggar DPRA sedang membahas KUA PPAS, tiba-tiba Tim TAPA membawa dokumen RAPBA. “Ini kan aneh, dan kita merasa tidak dihargai, KUA PPAS belum disepakati, kenapa RAPBA sudah diserahkan,” kata Asrizal.

Menurut Ketua Fraksi PAN di DPRA ini, keinginan kuat Pemerintah Aceh itu tak dapat dibendung DPRA. Dan menurutnya, rencana mempergubkan APBA ini adalah musibah bagi masyarakat Aceh. “Kenapa musibah, karena kita kembali ke tahun lalu (anggarannya), ada Rp 500 miliar yang tidak bisa dipakai, kemudian juga ada Silpa sampai Rp 800 miliar. Kemudian program baru juga tidak bisa dijalankan, bagaimana Pak Gub nanti menjalankan visi misinya, kalau pergub, itu kan tidak bisa,” demikian Asrizal H Asnawi.

Terpisah, Juru Bicara (Jubir) Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani mengatakan, sejak awal eksekutif telah menyampaikan bahwa pergub APBA bukanlah pilihan, melainkan konsekuensi akibat tak tercapainya kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. “Pergub itu bukan pilihan, tapi konsekuensi, karena tidak ada payung hukum untuk melanjutkan pembahasan setelah 60 hari diserahkannya RAPBA pada 4 Desember lalu,” kata Saifullah Abdulgani atau SAG.

Mempergubkan APBA, katanya, adalah sesuatu yang dibolehkan secara konstitusional, apalagi saat ini pemerintah melihat kondisi masyarakat yang tak ingin lagi melihat hal ini berlarut-larut. “Tentu ini juga untuk masyarakat Aceh, agar pasar atau ekonomi rakyat terus bergerak, karena kita masih bergantung pada APBA,” pungkas SAG.

Sementara itu, hari ini DPRA akan menentukan sikap politiknya terhadap RAPBA 2018 yang hendak dipergubkan oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.

Menurut penilaian sejumlah anggota Banggar Dewan, Gubernur Aceh belum punya dasar hukum yang kuat untuk mempergubkannya. “Semua undang-undang dan aturan sudah kita lihat, mulai dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, UUPA, Permendagri Nomor 33 dan Nomor 34 tahun 2017, Permenkeu, maupun peraturan pemerintah (PP) terkait keuangan daerah. Tidak ada satu ayat maupun satu pasal pun yang menyatakan gubernur boleh mempergubkan RAPBD, sebelum dokumen KUA dan PPAS disepakati,” kata Wakil Ketua II DPRA, Irwan Djohan kepada Serambi, seusai rapat Banggar DPRA, Senin (5/3) saat dimintai hasil rapat Banggar Dewan.

Rapat Banggar Dewan yang dilaksanakan pada Senin (5/3) kemarin, kata Irwan, yang dihadiri Ketua-Ketua Fraksi dan Komisi selaku anggota Banggar Dewan untuk mendegar laporan kunjungan sejumlah anggota Banggar Dewan yang pada tanggal 28 Februari 2018 pekan lalu, menyampaikan laporan terhentinya pembahasan dokumen KUA dan PPAS kepada Mendagri, terkait surat pemberitahuan gubernur kepada DPRA tertanggal 27 Februari 2018 yang menyatakan telah habis masa pembahasan RAPBA selama 60 hari kerja, karena belum ada kesepakatan bersama.

Sementara itu, Progam Studi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh kemarin menggelar Focus Group Discussion (FGD)di Ruang Sidang Rektor UIN Ar-Raniry. FGD yang dihadiri 25 peserta itu, difasilitasi oleh Yarmen Dinamika, Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved