Protes Terhadap KPU Makin Gencar

Protes terhadap kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) semakin gencar, KPU dianggap telah mengangkangi

Editor: bakri
ist
Iskandar Usman Alfarlaky. 

* Terkait Kuota Caleg 100 Persen di Aceh

BANDA ACEH - Protes terhadap kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) semakin gencar. KPU dianggap telah mengangkangi kekhususan Aceh dengan menerbitkan surat yang mengatur tentang kuota pengajuan calon legislatif (caleg).

KPU dalam suratnya menerapkan aturan syarat pengajuan calon legislatif (DPRK/DPRA) 100 persen dari jumlah kursi di setiap daerah pemilihan (dapil). Dengan lahirnya surat itu, maka pemberlakuan kuota caleg 120 persen di Aceh sebagaimana diamanahkan dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2008 dengan sendirinya tidak berlaku lagi.

Ketua Fraksi Partai Aceh di DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky mengatakan jika KPU telah melakukan kebijakan yang sewenang-wenang. Sedangkan akademisi dari Universitas Muhammadiyah Banda Aceh, Taufiq A Rahim, menyebut KPU tak beretika.

“KPU telah bersikap sewenang-wenang untuk Aceh. Padahal, penerapan kuota caleg 120 persen tersebut sudah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA),” kata Iskandar.

Pasal 80 ayat 1 UUPA dia katakan, mengatur tentang hak partai lokal (parlok), di antaranya adalah hak untuk ikut pemilu legislatif, serta memiliki hak untuk mengajukan calon pada Pemilu tersebut. Lebih lanjut, pada Pasal 80 ayat 2 UUPA disebutkan bahwa keikutsertaan dan pengajuan calon dari parlok diatur dengan qanun.

Berdasarkan rujukan itulah, maka lahir Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang keikutsertaan parlok dalam pemilihan anggota DPRA dan DPRK. Dalam Pasal 17 qanun tersebut, juga diatur mengenai pengajuan kuota caleg DPRA/DPRK se-Aceh 120 persen dari jumlah kursi di setiap daerah pemilihan (dapil).

“Sehingga dapat dikatakan pengajuan caleg disetiap dapil merupakan hak parlok yang dijamin oleh UUPA. Sementara teknis pelaksanaannya diatur dengan qanun. Mekanisme seperti ini juga sudah dilaksanakan pada Pemilu 2009 meskipun UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu tidak mengenal kuota 120 persen di setiap dapil,” jelas Iskandar.

Sama halnya dengan UU Nomor 7 tahun 2017 yang mengatur kuota pengajuan caleg DPRA/DPRK sebanyak 100 persen disetiap dapil. “Akan tetapi terkait dengan parlok telah diatur dalam UUPA dan qanun. Seharusnya KPU menghormati UUPA dan Qanun Aceh seperti halnya KPU periode sebelumnya,” tambah Iskandar.

Terpisah, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Banda Aceh, Taufiq A Rahim, menyebut bahwa kebijakan yang dikeluarkan KPU tersebut tidak beretika. “Kenapa? Karena aturan itu tidak sesuai dengan Qanun Nomor 3 Tahun 2008 yang menerapkan kuota caleg 120 persen. Ini konsekuensi kekhususan Aceh yang sudah dilaksanakan sejak Pemilu 2009 dan 2014,” tegasnya.

Taufiq menilai ada upaya tertentu yang dilakukan secara sistematis untuk menghilangkan kekhususan Aceh. “Kekhususan Aceh sudah sering kali dilanggar melalui kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat, baik lembaga politik maupun kementerian,” imbuhnya.

Tetapi kondisi tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik di Aceh. Menurut Taufiq, pelanggaran kekhususan Aceh terjadi karena eksekutif dan legislatif tidak kompak dan berbeda kepentingan.

“Eksekutif dan legislatif tidak kompak, lemah, dan sangat tergantung ke Pusat. Masing-masing selalu mengadukan setiap persoalan ke Pusat. Itulah sebabnya kekhususan Aceh dilanggar dengan semena-mena,” kata Taufiq.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Aceh Peduli UUPA juga mengultimatum KPU agar membatalkan suratnya dalam waktu 14 hari kerja. Jika itu tidak dilakukan, pihaknya akan menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Mantan Bupati Aceh Jaya, Azhar Abdurahman, ikut mengomentari surat KPU yang mengatur kuota caleg 100 persen. Azhar mengatakan, keputusan KPU itu akan semakin memperkeruh keharmonisan hubungan Pusat dengan Aceh.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved