Opini
Sisi Lain Gempa Lombok
GEMPA yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) berkekuatan 7 SR pada Minggu (5 Agustus 2018) telah memporak-porandakan
Oleh Abd. Halim Mubary
GEMPA yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) berkekuatan 7 SR pada Minggu (5 Agustus 2018) telah memporak-porandakan ribuan bangunan dan juga menelan korban jiwa lebih dari 100 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Sedangkan jumlah pengungsi akibat kehilangan tempat tinggal mereka mencapai angka 200 ribu jiwa lebih. Bencana alam ini kembali mengingatkan kita pada sejumlah bencana serupa yang pernah menimpa Aceh. Mulai gempa dan tsunami (2004), Aceh Tengah (2013), dan Pidie Jaya (2016) yang juga merenggut banyak korban jiwa.
Di balik terjadinya sebuah bencana alam, ada sejumlah hal lainnya yang mengikuti dari peristiwa tersebut. Seperti viralnya seorang imam shalat di media sosial yang terus mengimami shalat, padahal saat itu gempa sedang terjadi dengan guncangan keras. Atau video viral lainnya seperti orang berlarian di mal untuk menyelamatkan diri. Dua hal berbeda tempat ini memang sejenak mengingatkan kita bahwa di saat yang bersamaan ketika gempa berlangsung, ada orang yang sedang menghadap Allah Swt sebagai sarana menuju akhirat, dan sisi lain ramai orang yang memenuhi pusat-pusat perbelanjaan untuk urusan duniawi.
Atau ada juga sebagian orang yang punya pandangan lain lagi, misalnya mengaitkan gempa di Lombok karena adanya hubungan kedekatan yang barbau politik antara Presiden Jokowi dengan Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) dalam menghadapi Pilpres 2019 mendatang. Sebagian orang kerap mengaitkannya jika dukungan TGB untuk Jokowi, sebagai dampak dari gempa yang melanda provinsi yang dipimpin TGB. Meski pandangan ini tidak bisa diterima akal sehat, tapi demikianlah yang marak di linimasa. Sehingga berita hoaks pun banyak tersebar di media sosial untuk mendramatisir suasana politik.
Namun satu hal yang pasti, gempa atau bencana alam lainnya yang bisa terjadi di manapun dan kapanpun tanpa mengenal waktu. Kita yang percaya kepada Allah, fenomena alam seperti itu kita tamsilkan sebagai teguran Allah terhadap hamba-Nya. Sehingga tulisan ini bukan untuk memperdebatkan dimensi politik yang yang disinyalir oleh sejumlah pihak, tapi lebih kepada empati kita terhadap membangun solidaritas kemanusiaan. Bukankah Aceh sendiri juga pernah mengalami hal serupa, seperti gempa dan tsunami hingga yang terakhir gempa di Pidie Jaya?
Hilangkan prasangka
Korban jiwa dan kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa di Lombok, seharusnya bisa menyadarkan diri kita agar tidak terlalu beropini yang bisa mendeskreditkan salah satu pihak, apalagi yang mengaitkannya dengan nuansa politik. Sebab yang dibutuhkan oleh para korban gempa Lombok sekarang adalah kepedulian kita terhadap apa yang terjadi di sana. Mereka sama sekali tidak peduli dengan prasangka yang berseliweran dan dialektika politik yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ketika gempa menguncang Lombok pada Minggu malam, 5 Agusutus 2018, di Stadion Lhong Raya, Banda Aceh, kita tengah “berpesta” dalam perhelatan pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII dengan beragam acara kemegahan nan spektakuler. Memang antara kedua peristiwa ini tidak ada sangkut pautnya. Namun di tengah pesta kebudayaan tersebut, mari sejenak kita meluangkan waktu untuk merawat ingatan kita sebentar terhadap saudara-saudara kita yang tengah mengalami bencana, yang saat ini tentu butuh bantuan dan donasi dari kita semua. Belum lekang dari ingatan kita dengan apa yang terjadi ketika gempa dan tsunami menimpa Aceh, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya yang menyedot perhatian besar dunia.
Mungkin jika kita harus sendiri mengahadapi bencana yang maha dahsyat serupa tsunami pada 2004, kita tidak akan sanggup menghadapinya. Namun atas kepedulian masyarakat internasional yang memberikan bantuan berupa tenaga, dana, dan doa dari seantero penjuru Indonesia dan mancanegaralah, akhirnya kita perlahan-lahan dapat bangkit dari keterpurukan dan bisa bangun kembali menata kehidupan pascabencana alam tersebut. Maka ketika ada musibah serupa yang menimpa daerah lain, sudah sepatutnya juga kita melakukan hal yang sama.
Memang ada banyak cara untuk melakukan penggalangan bantuan kemanusiaan, seperti aksi donasi bantuan dalam bentuk dana yang digalang di sekolah, perkantoran, instansi pemerintah dan swasta, hingga melakukan shalat gaib adalah sejumlah contoh yang bisa kita lakukan. Selain itu, ada juga yang terjun langsung ke daerah berdampak bencana baik sebagai relawan, tenaga ahli seperti dokter, psikolog, dan teknisi.
Aceh sendiri sebagai daerah rawan bencana alam, sudah menjadi semacam “laboratoruim besar” dunia kebencanaan baik dari segi topografinya, hingga mitigasi kebencanaan. pascagempa dan tsunami yang menimpa Aceh (2004) secara ketahanan kesiagaan bencana, kita mungkin sedikit lebih terlatih dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Karena belajar dari pengalaman yang pernah ada dalam menghadapi bencana alam, Aceh lebih berpengalaman dibandingkan daerah lainnya.
Respons positif juga disuarakan Pemerintah Aceh yang langsung melakukan penggalangan bantuan kemanusiaan untuk korban gempa Lombok sebagai bentuk solidaritas. “Saya pikir secara universal kita hidup di bumi yang sama. Ketika kita musibah, kita dibantu orang, maka kita juga harus melakukan hal yang sama, gerakan solidaritas membantu saudara-saudara kita yang terkena musiba,” kata Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah (Serambi, 7/8/2018).
Dari hasil koordinasi di bawah Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) hingga Rabu (8/8/2018) saja sudah terkumpul bantuan dana sebesar Rp 300 juta dari berbagai sumber. Bahkan institusi perguruan tinggi di Aceh, Unsyiah misalnya, juga akan mengirimkan tenaga ahli ke Lombok, seperti tenaga dokter dan ahli teknik. Saya pikir, gerakan aksi solidaritas sudah tumbuh dengan baik dan menjadi bagian dari sosial budaya bangsa kita saat ini. Hampir semua institusi di Aceh tergerak hatinya begitu ada satu daerah di Indonesia yang terkena musibah, tanpa diperintah pun kita dengan tulus ikhlas membantu meringankan beban saudara-saudara kita itu.
Posko Peduli Lombok
Sementara di arena PKA VII juga sudah didirikan “Posko Bersama Aceh Peduli Lombok” masing-masing dibuka di Taman Ratu Safiatuddin dan Lapangan Blang Padang yang merupakan arena Expo PKA VII. Kedua posko tersebut berada dibawah BPBA dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Aceh. Sehingga PKA VII yang kebetulan bersamaan dengan bencana gempa Lombok, punya sisi kepedulian kemanusiaan dalam perhelatannya dan menjadi bagian dari kepekaan sosial yang lahir dari entitas seni dan budaya bangsa. Artinya, seni dan budaya memang harus bisa menghadirkan diri di mana saja, sejauh itu untuk membangun human interest dan kepedulian sosio-kultural.
Saya teringat ketika bencana gempa tsunami Aceh 2004, yang peristiwanya berdekatan dengan perayaan Tahun Baru 2005. Sejumlah tempat hiburan baik di hotel, destinasi wisata, dan televisi yang akan mengisi acara hiburan menyambut malam pergantian tahun, serentak mengubah format acaranya dari yang terkesan hiburan dan hura-hura semata, berubah menjadi empati untuk korban tsunami dan gempa Aceh kala itu. Mereka juga melakukan penggalangan solidaritas kemanusiaan yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat Aceh yang tertimpa musibah.
Semua peristiwa di atas tentu mengingatkan kita tentang betapa kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta, ketika alam sedang tidak bersahabat dengan manusia. “Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. al-Anbiya: 31). Allah Swt telah mengingatkan kita tentang alam dan dampaknya bagi kemanusiaan. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita, bahwa gunung yang ada di bumi, berperan sebagai penstabil agar bumi tidak guncang.