Breaking News

Opini

Rotasi Birokrasi Era Disrupsi: Bukan Kursi, tapi Motivasi

Rotasi birokrasi memang hal lumrah, tetapi dalam skala besar sering muncul pertanyaan: Apakah ini sekadar pergantian kursi atau hadirnya energi baru

Editor: mufti
For serambinews.com
Ali Mulyagusdin, Founder/Direktur Eksekutif Strategic Energy & Investment Aceh 

Ali Mulyagusdin, Founder/Direktur Eksekutif Strategic Energy & Investment Aceh

PEMERINTAH Aceh baru saja melakukan rotasi besar, melantik 294 pejabat eselon III dan IV secara serentak setelah beberapa pergantian kepala dinas. Peristiwa ini menarik perhatian publik. Rotasi birokrasi memang hal lumrah, tetapi dalam skala besar sering muncul pertanyaan: Apakah ini sekadar pergantian kursi atau hadirnya energi baru?Dalam konteks global yang penuh gejolak, pertanyaan ini semakin relevan. Kita berada di era disrupsi, ketika perubahan terjadi mendadak dan mengguncang fondasi organisasi. Yang menentukan bukanlah seberapa sering kursi birokrasi berganti, melainkan sejauh mana SDM yang mendudukinya tanggap, termotivasi, dan kompetitif.

Disrupsi ekonomi global tidak bisa diabaikan. Dunia menyaksikan perubahan cepat dalam geopolitik, teknologi, dan pasar internasional. Kebijakan ekonomi bisa bergeser drastis, sebagaimana jika Indonesia mengganti Menteri Keuangan dengan pendekatan berbeda dari pondasi yang dibangun sepuluh tahun terakhir. BRICS pun kini menentang dominasi Dolar AS.

Konflik regional seperti Thailand-Myanmar mengganggu rantai pasok. Pergolakan politik Nepal yang dipicu Gen-Z menunjukkan betapa cepat perubahan datang. Teknologi digital melahirkan model bisnis baru sekaligus mematikan yang lama. Bila tak dipahami, disrupsi bisa berubah menjadi bencana.

Kita masih ingat runtuhnya Lehman Brothers 2008, yang memicu krisis global. Aceh tidak imun dari situasi semacam ini. Daerah ini masih bergantung pada pasok provinsi tetangga dan Dana Otsus. Dampaknya langsung terasa pada harga bahan pokok, investasi, hingga lapangan kerja. Karena itu, birokrasi Aceh tak bisa bekerja dengan pola lama. SDM harus tanggap, inovatif, dan mampu bersaing.

Rotasi tanpa motivasi

Rotasi pejabat sering disebut penyegaran, namun tidak otomatis berarti perbaikan. Kursi bisa berganti, tetapi tanpa motivasi kuat, hasilnya nihil. Yang muncul justru birokrat dalam mode bertahan hidup (survival-mode), hanya bermain aman, enggan mengambil risiko, dan tidak melahirkan inovasi. Akibatnya, energi habis untuk adaptasi tanpa peningkatan kualitas. Masalah utama birokrasi kita terletak pada obsesi terhadap kursi, sementara motivasi sering terpinggirkan.

Solusi yang diperlukan adalah menyiapkan SDM pengemban amanah yang tanggap, termotivasi, dan kompetitif. Dalam literatur manajemen, konsep kompetensi berbasis motivasi telah lama mendapat perhatian. Richard Boyatzis dalam The Competent Manager (1982) menyatakan bahwa, “A competence is an underlying characteristic of a person which results in effective and/or superior performance in a job.” Kompetensi bukan hanya keterampilan teknis, tetapi sifat dasar yang berhubungan langsung dengan kinerja unggul.

David Sparrow dan Boam tahun 1992, dalam Competency Based Human Resource Management, menegaskan, “Competence should be understood as a combination of knowledge, skills, attitudes, and motivation which together predict consistent patterns of performance.”

Motivasi menempati posisi istimewa, penggerak utama yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan benar-benar diterapkan dalam kinerja sehari-hari. Tanpa motivasi, pengetahuan hanya menjadi teori dan keterampilan sebatas rutinitas. Motivasi yang kuat menarik semua kemampuan individu berubah menjadi energi produktif yang melahirkan kinerja unggul bahkan di tengah ketidakpastian.

Teori Sparrow juga sangat memengaruhi strategi perusahaan global. Banyak organisasi besar menjadikan motivasi sebagai pondasi kompetensi. Google, misalnya, menilai Curiosity & Innovation Drive sebagai indikator utama rekrutmen. Mereka percaya rasa ingin tahu yang kuat melahirkan inovasi berkelanjutan.

Toyota dengan filosofi Commitment to Excellence & Continuous Improvement (Kaizen) menekankan komitmen karyawan terhadap perbaikan berkelanjutan, yang hanya mungkin jika motivasi internal tinggi. Unilever membangun strategi Purpose-Driven Performance, yakni mendorong karyawan bekerja dengan kesadaran akan tujuan besar perusahaannya, sehingga motivasi melampaui sekadar mengejar keuntungan.

Tesla di bawah Elon Musk juga memperlihatkan bagaimana Mission Orientation & Risk-Taking mendorong orang berani mengambil risiko besar demi terobosan radikal. Semua contoh ini menunjukkan betapa kompetensi motivasi menjadi kunci daya saing organisasi modern.

Untuk itu, seleksi dan penempatan harus berbasis motivasi, bukan sekadar formalitas. Motivasi di sini berarti dorongan internal pribadi untuk berkontribusi, belajar, dan membawa perubahan. Setelah itu, pembekalan dan on-boarding yang serius harus dilakukan.

Pejabat baru tidak boleh dilepas begitu saja, melainkan dipandu memahami visi besar Aceh, tantangan global, dan standar baru pelayanan publik. Evaluasi berbasis kinerja nyata juga wajib diterapkan secara rutin dan adil. Dengan cara ini, rotasi benar-benar menjadi disrupsi positif, bukan sekadar administratif.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved