13 Tahun Perdamaian, Politisi PKB: Warga Miskin Aceh belum Nikmati Keadilan Ekonomi

Menurutnya, pemerintahan Aceh belum memiliki visi pembangunan yang jelas, terutama terkait keadilan ekonomi.

Editor: Yusmadi
zoom-inlihat foto 13 Tahun Perdamaian, Politisi PKB: Warga Miskin Aceh belum Nikmati Keadilan Ekonomi
ist
Indra P Keumala

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH -- Kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinky pada 15 Agustus 2005 silam menjadi babak baru mewujudkan pembangunan sosial, politik dan ekonomi warga Aceh pascakonflik dan bencana tsunami.

Komitmen memperbaiki Aceh tertuang dalam Memorandum of Understanding atau biasa disebut dengan MoU Helsinky, berisi sejumlah butir kesepakatan sebagai solusi meredakan ketegangan antara Aceh dengan Jakarta, yang kemudian dikonkritkan melalui penerbitan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Terkait itu, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Indra P Keumala mengatakan, peringatan perdamaian Aceh tahun ini mesti dijadikan momentum bagi semua pihak untuk melihat peluang dan tantangan yang dihadapi Aceh.

Menurutnya, pemerintahan Aceh belum memiliki visi pembangunan yang jelas, terutama terkait keadilan ekonomi.

Baca: Semangat Perdamaian Harus Tetap Menguat

"Kita harus berpikir ulang tentang visi dan tujuan damai yang sudah tercetus 13 tahun lalu. Siapa pemilik damai itu, rakyat Aceh atau cuma boleh dinikmati segelintir pihak? Dan kalaupun benar milik seluruh rakyat maka kenapa banyak rakyat Aceh yang masih miskin," ujar Indra di Banda Aceh, Rabu (15/8/2018).

Dikatakan, momentum perdamaian telah melahirkan peluang bagi Aceh untuk mengelola sumberdaya tertentu secara mandiri.

Bahkan, sebutnya, provinsi ujung barat Indonesia ini memiliki sejumlah kekhususan yang tak dimiliki daerah-daerah lainnya di Indonesia.

"Kita diberikan banyak kekhususan, mulai dari aturan khusus, alokasi dana otonomi khusus hingga pembentukan partai lokal. Tapi faktanya hari ini, banyak warga miskin Aceh yang belum tersentuh keadilan ekonomi," katanya.

Lebih jauh, Indra mengkritisi tata kelola anggaran Aceh yang sejak 2007 lalu memperoleh tambahan alokasi dana otonomi khusus sebagai konsekwensi atas lahirnya UUPA.

Namun dalam perjalanannya, papar dia, pemanfaatan anggaran sebegitu besar itu tidak diikuti dengan perumusan program kerja strategis yang punya dampak besar bagi peningkatan kualitas hidup rakyat Aceh.

"Yang selalu ditonjolkan melulu hanya soal biaya kesehatan gratis. Sementara perihal penciptaan lapangan kerja, mutu pendidikan yang terus merosot, dan angka kemiskinan yang saban tahun membengkak justru tidak mampu dipikirkan jalan keluarnya," jelasnya.

Baca: Pemerintah Aceh Gelar Peringatan 13 Tahun Damai Aceh di Masjid Raya

Kendati demikian, mantan aktivis Kontras Aceh ini mengakui bahwa sejumlah butir kesepakatan yang tertuang di dalam MoU Helsinky belum sepenuhnya terwujud.

Untuk itu, ia meminta agar Pemerintah Aceh bersama DPRA dan pihak terkait lainnya melakukan upaya bersama agar turunan kesepakatan tersebut dapat segera terealisasi.

"Ada beberapa hal krusial yang harus diperjuangkan bersama, misalnya tentang penyelesaian sederet kasus pelanggaran hak asasi manusia. Walaupun demikian, keadilan ekonomi juga tidak boleh dilupakan," tandasnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved