Opini

Untuk Apa Damai?

13 TAHUN sudah usia perdamaian Aceh. Ini, tentunya bukanlah waktu yang lama, tetapi bukan juga waktu yang singkat

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/SUBUR DANI
Suasana peringatan 13 tahun damai Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Rabu (15/8/2018) 

Oleh M. Adli Abdullah

13 TAHUN sudah usia perdamaian Aceh. Ini, tentunya bukanlah waktu yang lama, tetapi bukan juga waktu yang singkat. Perjalanan selama 13 tahun damai Aceh, yang dirasakan berkurang hanya hilangnya tindakan kekerasan, tetapi esensi damai itu sendiri, sejauh ini belum benar-benar terasa dalam masyarakat.

Secara umum orang memaknai damai adalah hilangnya suasana perang, sudah tidak ada lagi tindak kekerasan, atau sudah tidak ada lagi konflik di tengah masyarakat. Pemaknaan damai seperti ini, dalam teori perdamaian menurut Johan Galtung sebagai damai negatif (negative peace). Dalam konsep ini perdamaian hanya dilihat apa yang tampak di permukaan, walau realitas sesungguhnya masyarakat masih mengalami penderitaan.

Sebenarnya damai yang sesungguhnya yang sangat diharapkan oleh masyarakat Aceh adalah terciptanya keadilan sosial dan terbentuknya suasana aman, nyaman, dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Damai seperti ini dalam teori perdamaian disebut damai positif atau positive peace (Johan Galtung, Globalizing God, 2008: 16).

Damai positif baru akan terwujud bila terpenuhinya tiga komponen, yaitu reintegrasi, rekonsiliasi, dan kohesi sosial antarpihak yang berkonflik maupun dengan masyarakat benar-benar terealisasi dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Sehingga usaha mewujudkan perdamaian di Aceh seharusnya tidak hanya untuk mengurangi dan menghilangkan tindak kekerasan semata.

Damai di Aceh yang telah berlangsung selama 13 tahun yang dimulai sejak perjanjian damai ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Mardeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia, belum mengarah kepada terwujudnya rasa tenteram, harmoni, dan sejahtera dalam realita kehidupan sosial masyarakat Aceh.

Provinsi termiskin
Apa sesungguhnya yang terjadi di Aceh pascadamai ini? Terlihat pascadamai masyarakat Aceh bukannya tambah sejahtera, yang terjadi malah kemiskinan bertambah. Bahkan di era Aceh damai dengan mendapatkan dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2008 sampai 2018 ini, mencapai Rp 65,48 triliun, Aceh bukan tambah maju bahkan mendapat gelar “juara satu” provinsi termiskin di Sumatera dan menempati “juara enam” provinsi termiskin di Indonesia.

Dana yang sangat besar tersebut pascadamai bukannya membuat masyarakat tambah sejahtera dan taraf kehidupan yang layak, tetapi yang terjadi adalah pemiskinan. Peminggiran sosial terus terjadi, yang tampak bertambah hanya orang kaya baru, isteri baru. Kesenjangan sosial sangat tinggi, kehidupan sangat glamour sampai jatuh ke dalam pelukan sang model, yang akhirnya harus berurusan dengan KPK.

Dalam hal politik pun, pascadamai Aceh dibolehkan mendirikan partai lokal (parlok), yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Sehingga kepentingan politik Aceh akan ditampung dalam parlok ini untuk membawa aspirasi rakyat Aceh di bidang politik. Tetapi yang terjadi sekarang adalah parlok kita seperti kehilangan arah dan ideologi politiknya. Ini setidaknya, terlihat dari calon legislatif yang dikirim ke pusat melalui partai politik nasional (parnas) yang direkomendasi Partai Aceh, terkesan asal rekomendasi saja, tanpa ada ikatan kontrak dengan parnas.

Bahkan yang lebih sedih lagi, sesama pengurus partai politik lokal cakar-cakaran dalam memperjuangkan kepentingan pribadi. Sebenarnya permasalahan internal ini dapat diselesaikan oleh ureung tuha dan para juru runding yang terlibat langsung sebagai bidan lahirnya parlok sebagai alat politik rakyat Aceh dan mengetahui asbabun nuzul-nya proses damai. Tetapi sesama mareka pun saling tuding, tidak kompak dan terperangkap dalam permainan politik pihak lawan. Jangankan untuk menjadi pemersatu rakyat Aceh, memersatukan antarelemen “pejuang” saja, seperti antara siang dan malam.

Sebetulnya, di sinilah Wali Nanggroe sebagai ureung tuha Aceh berperan, sebagaimana diamanatkan Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang menyebutkan bahwa keberadaan Lembaga Wali Nanggroe sebagai alat pemersatu rakyat Aceh. Akan tetapi kenyataannya, lembaga ini pun seperti berada di “menara gading”. Tidak pernah terdengar kiprah dan fatwanya, dan tidak terasa ada wujudnya dalam masyarakat. Padahal, dalam kurun waktu 2014-2017, lembaga ini sudah menghabiskan anggaran sebesar Rp 66,083 miliar (lihat; LKPJ Gubernur Aceh).

Kita takutkan kondisi Aceh kekinian semakin mengerucut seperti yang pernah disampaikan oleh Johan Galtung. Berdasarkan pikirannya, di Aceh kini yang sudah wujud hanya perdamaian negatif, yaitu hilangnya kekerasan sedangkan perdamaian yang sesungguhnya “perdamaian positif” belum dirasakan dalam masyarakat. Sebaliknya kaum elite dapat merasakan nikmatnya perdamaian dan membanjirnya uang di Aceh.

Hal itu, tidak terlepas karena banyak korban beude cukeh, seperti pernah ditulis oleh Harisah dalam bukunya Aceh dan Peristiwa; Lethat ka mate boh beude cukeh, dumna ka aleh dalam kuburan. Ingat syedara keu bansa Aceh, ka udep leubeeh dalam sosahan. Jangan sampai, hanya karena kuatnya “kehendak untuk berkuasa”, perdamaian untuk menyejahtrakan rakyat Aceh terabaikan sebagaimana dikatakan Nietzsche (Porter, Nietzsche’s Theory of the Will to Power. A Companion to Nietzsche, 2006), kaum elite berusaha tampil seolah-olah altruis (pemberi kesejahteraan), padahal mereka mengingkari janjinya.

Rakyat jelata jangan hanya dijadikan objek, hanya perlu untuk berlindung diri di saat konflik dan susah, lalu kalau sudah damai pelindungnya ditinggalkan seperti disindir dalam hadih madja Aceh; Meunyoe peureulee teuntee jisayang, cit macam-macam janji jibuka. Janji meumadu meujampu santan, tapi di dalam bandum doseuta. Watee meukarat rakyat jipadan, watee ka aman hana soe nit na. Oh tan keurajeun ureung le sawan, oh tan jabatan ureung le gila.

Mesti terus didengungkan
Pertanyaan untuk apa damai Aceh, mesti terus didengungkan. Berbagai dawa dan karu sabe keudroe-droe harus dihentikan. Jangan gara-gara soal tumpok dan kekuasaan, kita pertaruhkan damai Aceh yang diraih dengan darah banyak orang. Ingatlah itu semua tidak boleh sia-sia sebagaimana hadih maja di atas. Sesungguhnya, masyarakat Aceh ingin hidup dalam suasana perdamaian positif, dapat hidup harmoni walau berbeda kelompok. Perdamaian dapat membawa keberkahan ekonomi untuk semua golongan masyarakat. Perdamaian dapat membawa spirit melihat Aceh hebat.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved