Opini
Melemahnya Diskursus Perdamaian Aceh
TAHUN 2018 sepertinya menjadi titik awal melemahnya diskursus perdamaian Aceh. Asumsi ini dapat dibuktikan
Oleh Mukhlisuddin Ilyas
TAHUN 2018 sepertinya menjadi titik awal melemahnya diskursus perdamaian Aceh. Asumsi ini dapat dibuktikan pada peringatan 13 tahun damai MoU RI-GAM secara sederhana di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Rabu (15/8/2018). Peringatan 13 tahun damai Aceh tanpa aktor nasional dan internasional.
Bukan saja itu, aktor lokal, seperti Muzakir Manaf, Malik Mahmud, Zakaria Saman, Zaini Abdullah juga tidak hadir, hanya diwakili oleh Bakhtiar Abdullah dan lainnya. Perdamaian RI-GAM yang telah berusia 13 tahun tidak lagi menjadi ruang kontemplasi bagi seluruh elemen masyarakat Aceh. Makin terus bertambah usia MoU Helsinki, terkesan makin melemah diskursus dan inovasi perayaannya.
Hakikatnya MoU Helsinki 15 Agustus harus menjadi inspirasi untuk semua elemen di Aceh. MoU Helsinki harus menjadi “pelajaran” bersama, untuk sama-sama dirayakan dan mengambil hikmahnya. Perayaan hari damai Aceh, setiap 15 Agustus yang berdekatan dengan hari kemerdekaan 17 Agustus adalah anugerah yang harus disyukuri. Karena esensi perdamaian adalah dapat membawa masyarakat hidup dalam suasana tenang dan saling menghargai dalam perbedaan.
Pada 2017 lalu, saya pernah menjadi seorang narasumber, pada acara “perdamaian” untuk SMA/sederajat yang diselenggarakan oleh Kesbangpol Aceh. Hadir pula pada acara tersebut Profesor Yusny Saby dan Mantan Ketua KNPI Aceh Jamaluddin. Terlihat anak-anak sekolah terputus mata rantai pembelajaran sejarah Aceh, terutama mengenai sejarah MoU Helsinki dan aktor-aktornya. Kesalahan bukan pada mereka, melainkan pada orang dewasa yang tidak memberi ruang “belajar” sejarah Aceh kontemporer. Jangankan anak-anak, orang dewasa ikut kekurangan literasi tentang perdamaian Aceh. Sebut saja misalnya masih adanya 10 dari 71 Pasal MoU Helsinki belum terealisasi sampai saat ini.
Memang perdamaian belum membawa keberkahan secara kuantitatif. Seperti soal rangking kemiskinan nomor satu di Sumatera, pengangguran, kualitas pendidikan dan penanganan kesehatan dan perekonomian Aceh. Kehidupan di Aceh sangat anomali ditengah dana otsus yang melimpah. Semuanya belum bisa “mendamaikan” Aceh dari kesenjangan. Tapi tidak boleh bosan untuk mengisi diskursus damai Aceh sepanjang masa.
Selalu terbuka
Pintu Aceh kembali konflik selalu terbuka, makanya kita harus menutup rapat-rapat setiap potensi pintu konflik Aceh. Salah satu caranya adalah menjadikan “damai” sebagai “jalan hidup” semua golongan di Aceh. Artinya membangun ruang-ruang diskursus perdamaian tidak boleh lelah dan stagnan. Paul Collier, Anke Hoeffler and Mans Soderbom (2006:2) mengungkapkan bahwa masyarakat pascakonflik selalu menghadapi dua tantangan yang berbeda, yaitu pemulihan ekonomi dan pengurangan risiko.
Dalam sebuah pelatihan “Pembangunan Ekonomi dan Konflik” di International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), fasilitator kami, Dr Zulfan Tadjoeddin mengemukakan, setidaknya terdapat enam resiko pascakonflik di sebuah wilayah: (1) Pengangguran; (2) Distribusi pembangunan yang tidak merata; (3) Pengelolaan sumber daya alam yang didominasi oleh pemain baru; (4) Kontrak sosial; (5) Transformasi sosial; dan (6) Biaya yang tinggi untuk kelas baru.
Pemulihan ekonomi pascakonflik 13 tahun di Aceh belum juga usai. Diperlukan road map (peta jalan) bidang ekonomi baru untuk mengembalikan harapan masyarakat setelah menderita selama konflik Aceh. Peta jalan itu harus dilakukan secara sistematis dan normal, karena masyarakat pascakonflik selalu ada kaitannya dengan keangkuhan dan penderitaan.
Potensi konflik global selalu muncul dengan varian yang berbeda-beda, tapi bungkusnya dominan persoalan “ekonomi”. Demikian pula dengan konflik Aceh, Kell, Siapno, Robinson, Aspinall, Rizal Sukma melihat bahwa eksploitasi sumber daya alam, pemerintah otoriter, dan supresi militer sebagai faktor utama konflik di Aceh. Namun, bungkus utama yang hendak diperbincangkan adalah “ekonomi” dengan segala variannya.
Begitu juga Aceh hari ini, kalau sektor ekonomi tidak diperbaiki akan menjadi batu sandungan membuka jalan konflik baru. Pada sisi lain, situasi orang Aceh saat ini mulai apatis dengan pembangunan ekonomi. Apalagi tokoh-tokoh penggerakan eksponen GAM sudah diwarnai dalam setiap kontestasi. Periode konflik 1976-2005 dan 10 tahun belakangan pascadamai MoU RI-GAM, eksponen GAM menjadi “penentu lokal” dalam mewarnai setiap agenda sosial keagamaan dan politik di Aceh.
Melemahnya diskursus perdamaian di Aceh pada usia MoU 13 tahun ini, dapat dilihat sebagai “tanda-tanda” bahwa tidak dominannya eksponen GAM dalam pembangunan Aceh ke depan. Eksponen GAM telah berada di mana-mana, tapi penerimaan mereka tidak lagi membumi akibat selalu “diwarnai” dalam setiap kontestasi.
Melemahnya diskursus damai Aceh, karena perdamaian tidak mampu melakukan penetrasi dalam mereduksi kemiskinan dan kualitas hidup orang Aceh. Satu elemen penting perusak perdamaian adalah perilaku koruptif, bukan saja di Aceh, di Mindanau, Filipina Selatan, juga terjadi hal serupa. Bisa jadi, ini memiliki korelasi terhadap penerimaan masyarakat dalam menyambut 13 tahun MoU Helsinki pada 15 Agustus 2018 lalu. Di sisi lain dapat juga dibangun asumsi bahwa melemahnya diskursus damai di Aceh, akibat adanya gerilya KPK di Aceh dalam bebeberapa pekan terakhir.
Lima situasi
Terlepas dari adanya aksi KPK di Aceh. Reaksi masyarakat Aceh terhadap perayaan 13 tahun MoU Helsinki dapat dilihat dalam lima situasi: Pertama, penikmat damai. Orang Aceh kebanyakan menjadi penikmat damai walau kemiskinan menderanya. Penikmat damainya tidak mengenal latar belakang, bisa saja mereka eksponen GAM, TNI/Polri, ASN, dan LSM. Semuanya menikmati hidup damai tanpa permusuhan, apalagi kembali ikut vertikal skala nasional.
Kedua, menghindari konflik horizontal. Fokus utama dalam potensi konflik ini adalah konflik etnik. Secara prinsip konflik etnis adalah perdebatan atau perselisihan antar kelompok etnis terkait dengan masalah politik, ekonomi, sosial budaya atau wilayah. Indikasi konflik ini juga dapat dilihat munculnya kaum terpelajar tapi miskin dari daerah tertentu di Aceh.