Opini
Mendewasakan Pendidikan Aceh
JIKA usia Pendidikan Aceh diukur sejak 2 September 1959, usai Presiden Soekarno meletakkan batu pertama Kota Pelajar
(Refleksi Hardikda Aceh 2018)
Oleh Rini Wulandari
JIKA usia Pendidikan Aceh diukur sejak 2 September 1959, usai Presiden Soekarno meletakkan batu pertama Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam dan diikuti peresmian Fakultas Ekonomi sebagai fakultas pertama, maka usianya kini sudah mencapai 59 tahun. Usia kepala lima dalam ukuran usia manusia yang tidak lagi muda, namun telah menjelma menjadi “pendidikan Aceh” yang dewasa.
Layaknya manusia, ada pasang surut ketika melewati masa merangkak, berdiri, berjalan. Ada kalanya jatuh dan bangun, namun itu adalah dinamika yang normal. Begitupun dengan nasib masa depan pendidikan Aceh. Kelahiran dua civitas akademika Aceh, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan IAIN yang kini telah menjelma menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry adalah buah manis, atau karya besar tokoh-tokoh pendahulu Aceh di bidang pendidikan, seperti disebut Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
Dan, seperti dikatakan oleh banyak orang, tugas menjaga dan meneruskan perjuangan lebih berat dari kerja rintisan awal tersebut. Kerja berikutnya akan berhadapan dengan banyak rintangan. Tidak hanya persoalan pola pikir (mindset), budaya, namun juga perbedaan pendapat dalam memilih kebijakan dan strategi mana yang harus didahulukan untuk mencapai hasil yang terbaik. Apalagi jika rintangan tersebut berhadapan dengan persoalan politik, pastilah akan menjadi lebih rumit dan pelik.
Meskipun pemberlakuan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan, namun dalam menyikapi regulasi tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas koordinasi antarjenjang pemerintahan, agar perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan menjadi sinergi yang saling menguatkan.
Semakin berat
Kini tantangan pendidikan Aceh menjadi semakin berat, terutama ketika perubahan waktu, tidak saja mengubah pola pendidikan, namun melahirkan generasi yang berbeda jauh dengan generasi sebelumnya. Generasi yang harus bergerak cepat mengikut zaman yang popular dengan sebutan generasi Z atau generasi milenial, sebagai kelanjutan generasi Y.
Kita tentu masih ingat bagaimana kita tertatih pada 2015-2016 lalu, ketika hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan peringkat kompetensi guru Aceh berada pada urutan tiga terendah secara nasional. Lalu pada 2016 Aceh menempati peringkat 23 nasional. Kemudian secara perlahan bangkit berada pada urutan 15 nasional pada 2017, berdasarkan data Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), UKG yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI).
Perkembangan itu menunjukkan bagian dari etos kerja yang dilakukan Pemerintah Aceh untuk mengejar berbagai ketertinggalan bidang pendidikan yang ada. Apalagi ketika pemerintah secara serius memilih tema besar Hardikda dengan “Aceh Carong Menuju Era Industri 4.0”. Pemilihan tema ini, seperti diamanatkan oleh Plt Gubernur Aceh, agar dapat mengakselerasi target capaian pembangunan bidang pendidikan agar sesuai dengan target pendidikan nasional.
Di dalamnya memuat dua tantangan besar, yaitu: Pertama, melanjutkan kerja-kerja mengejar ketertinggalan dan; Kedua, mengatasi tantangan besar millennium baru, generasi Z, generasi yang terhubung dengan kecepatan gerak perubahan, karena mengacu pada perkembangan tehnologi yang kian pesat.
Apa langkah dan strategi jitu yang harus dipikirkan oleh pemerintah Aceh, terutama dalam bidang pendidikan untuk mengatasi dua tantangan besar tersebut? Langkah yang perlu dilakukan dalam mengejar kemajuan (bukan ketertinggalan, red.) antara lain pengembangan sumber daya manusia (SDM) harus memiliki etos kerja yang berdaya saing, di samping melengkapi dengan pembangunan fisik yang terprogram secara baik. Maksudnya, meskipun untuk kondisi Aceh saat ini, pembangunan fisik tidak termasuk dalam kategori kekurangan, namun beberapa arah pembangunan fisik yang seringkali luput adalah infrastruktur pendukung pendidikan yang tidak kalah penting.
Kita sering melihat di layar televisi, anak-anak menyeberangi sungai hanya sekadar untuk bersekolah dan di beberapa kabupaten di Aceh masih ditemukan anak-anak bersekolah dengan fasilitas rakit yang sudah berlangsung puluhan tahun dan puluhan generasi yang berganti. Semestinya kasus seperti ini menjadi perhatian utama bagi pemerintah di daerah untuk memasukkan dalam agenda pembangunan setiap tahunnya. Rasanya tidak mungkin jika pemerintah di daerah tidak menyadari kondisi tersebut.
Kondisi tersebut dapat mengganggu proses belajar dan mengajar bagi anak didik dan pengajar yang bersemangat untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga tidak menjadi alasan bagi siapa pun yang bermotivasi untuk bersekolah tinggi terkendala hanya karena faktor infrastruktur yang tidak ramah pendidikan tersebut.
Usaha lain yang harus menjadi prioritas adalah memaksimalkan pendayagunaan sarana dan prasarana yang sudah tersedia, misalnya gedung sekolah di kampung yang dibangun dengan dana besar, ternyata kemudian terbengkalai. Jika faktornya adalah kelangkaan murid, pemerintah tentu harus lebih jeli melihat fenomena ini. Termasuk dengan lahirnya kebijakan pemerintah yang menegaskan tidak adanya sekolah unggul dan sekolah underdog. Karena hal ini menjadi salah satu akar persoalan lemahnya penerimaan masyarakat terhadap sebuah sekolah karena cap unggul atau tidak unggul, sekolah kampung dan sekolah kota.
Pemerataan tenaga pengajar menjadi persoalan yang harus diantisipasi secara ketat, termasuk rencana penerimaan seribuan tenaga pengajar baru pada 2018, yang harus dikaji secara tepat untuk mengatasi beberapa persoalan pendidikan Aceh sekaligus. Baik persoalan kelangkaan murid karena faktor ketidaktersedian guru di daerah terpencil, maupun kualitas sekolah yang tidak sesuai standar karena faktor ketiadaan guru berkualitas dan kurangnya sarana prasarana. Tenaga lulusan baru (fresh graduate) atau guru honor yang telah mengabdi dan memahami situasi dan kondisi daerah dengan dedikasi dan komitmen harus menjadi pertimbangan yang kuat untuk memutus rantai ketertinggalan pendidikan Aceh agar terjadi pemerataan.