Mengenang Dahsyatnya Tsunami Aceh - Tsunami Datang Menerjang, Menghantam Apa Saja (2)
Setelah menyaksikan itu (orang-orang berlari panik karena air laut naik), saya akhirnya memilih menutup ruko.
Penulis: AnsariHasyim | Editor: Amirullah
Oleh Ansari Hasyim (Wartawan Serambi Indonesia - aceh.tribunnews.com)
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Setelah menyaksikan itu (orang-orang berlari panik karena air laut naik), saya akhirnya memilih menutup ruko. Sekonyong-konyong kemudian saya teringat ibu, bapak, abang, adik, kakak ipar dan anggota keluarga lainnya yang masih berada di rumah.
Tak pikir panjang lagi, saya pulang dengan mengayuh sepeda sekuat tenaga. Sepanjang jalan saya melihat warga sudah berlarian keluar dari rumah mereka, jalan-jalan lorong juga sudah dipadati kendaraan.
Saya hentikan laju sepeda karena tak mungkin berhasil melawan arus dengan warga yang berlarian keluar dari rumah. Tepat di depan warung kopi Sabirin, tempat pertama kali merasakan guncangan gempa, saya campakkan sepeda di pinggir jalan.
Baca: Mengenang Dahsyatnya Tsunami Aceh - Begini Kengerian saat Air Laut Menerjang Daratan (1)
Suasana kian terasa panik. Teriakan-teriakan warga “Air laut naik...air laut naik...Lari..lari..” kembali terdengar. Belum lagi sampai di rumah, saya bertemu dengan ibu di jalan, dipapah adik saya Riska Ramadhani.
Sedangkan yang lainnya abang, kakak ipar dan bapak menggendong cucunya yang masih kecil terus berlari. Ibu yang saat itu dalam keadaan kurang sehat, hampir terjatuh, hingga membuatnya tak bisa berjalan. Kami berdua menuntun ibu sekuat tenaga.
Di saat bertemu ibu inilah, saya melihat pemandangan mengerikan. Dari arah belakang rumah, saya menyaksikan gelombang air laut yang berasal dari laut Syiah Kuala mulai menuju ke arah kami. Wujudnya seperti awan hitam bergerak ke depan diselimuti langit yang mendung.
Baca: Saracen, Panser Pengangkut Peti Jenazah Para Perwira Korban G30S/PKI
Dari kejauhan sekitar satu kilometer jaraknya, saya masih bisa melihat satu per satu atap rumah beterbangan ke udara seperti kapas ditiup angin, hancur lebur dilumat gelombang raksasa itu.
Sejauh mata memandang, saya bisa memastikan, semua rumah yang disapu gelombang berada di Desa Diwai Makam, sebuah dusun yang dikeliling tambak di Kecamatan Kuta Alam, dan hanya berjarak sekitar satu kilometer dari laut Syiah Kuala. Semuanya tidak tersisa.
Pohon bakau, dan kelapa yang semula bisa terlihat dari tempat saya berdiri, kini sudah tidak tampak lagi. Daratan sudah berganti dengan gelombang air laut hitam pekat yang makin lama semakin mendekat ke arah saya dan warga lainnya yang tengah berlarian.
Baca: Hotel Roa Roa di Palu Hancur Akibat Gempa dan Tsunami, Banyak Orang Diperkirakan Terjebak di Dalam
Setelah melumat habis rumah warga di Diwai Makam, gelombang raksasa itu kemudian melewati hamparan tambak, sehingga saya dapat melihat dengan jelas pergerakannya. Di tengah jalan, ibu saya Adawiyah, merasa sudah kelelahan.
Ibu minta berhenti. Ia meminta kami agar terus berlari, dan tidak perlu memikirkannya. Karena ibu khawatir kalau kami masih memapahnya akan memperlambat usaha kami untuk menyelamatkan diri.
Sementara air laut yang mengejar kami semakin dekat disusul suara gemuruh. Saya tak tega membiarkan ibu sendiri. Sekuat tenaga yang ada, bersama adik, kami memapah ibu.
Saya spontan teringat, ibu akan kami bawa ke masjid saja. Karena bangunan yang paling aman dan terdekat saat itu adalah masjid. Saya pikir jarak antara kami dengan masjid hanya terpaut sekitar 30 meter lagi.
Baca: ‘Teluk Sinabang’ Gagal Sandar di Meulaboh
Saya harus memapah ibu sampai ke masjid. Suara gemuruh gelombang yang tertiup angin semakin dekat terdengar di telinga. Akhirnya saya, ibu, dan adik berhasil mencapai Masjid Darul Makmur, Lambaro Skep.