Opini
CAT ‘Carong Atawa Tan’
RIBUAN Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) gagal mengikut tahapan seleksi kompetensi bidang (SKB) rekrutmen CPNS
Oleh Rahmad Nuthihar
RIBUAN Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) gagal mengikut tahapan seleksi kompetensi bidang (SKB) rekrutmen CPNS, karena tidak memenuhi passing grade. Para peserta jalur formasi umum gagal memenuhi satu dari tiga materi yang diujiankan, baik Tes Intelegensi Umum (TIU), Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), maupun Tes Karakteristik Pribadi (TKP).
Hal itu diakui Wakil Ketua DPRA, Dalimi SE Ak yang mengatakan bahwa passing grade pada sistem CAT (Computer Assessment Test) terlalu tinggi. Akibatnya, dalam sehari yang ikut ujian SKD 1.000-1.500, tetapi yang lulus ujian CAT ini bisa dihitung dengan jari (Serambi, 8/11/2018).
Melihat problema tersebut, CAT menurut saya identik dengan singkatan carong atawa tan (pintar atau tidak). Sebab, untuk mengikuti SKB, peserta CPNS diharuskan terlebih dulu lulus CAT. Dengan CAT ini pemerintah dapat menjaring putra-putri terbaik di Indonesia agar dapat bergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Dengan perkataan lain, lulus CAT berarti betul-betul carong (pintar).
Berkaitan dengan hal tersebut, ada yang menarik dari seleksi kompetensi dasar yang diujiankan dengan komputer. Satu di antaranya adalah soal yang diujiankan. Merujuk pada Permenpan-RB No.37 Tahun 2018 tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi Dasar Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018, jumlah soal yang diujiankan sebanyak 100 butir. Masing-masing soal terdiri atas TWK 35 butir, TIU 30 butir, dan TKP sebanyak 35 butir.
Dari 100 soal tersebut, peserta CAT diberikan waktu selama 100 menit. Jika dihitung rata-rata waktu mengerjakan soal sebanyak 100 butir (100/90 menit) adalah 1,111 menit persoal. Namun, bukan alasan terbatasnya waktu tersebut. Pemerintah hanya meminta kepada peserta formasi umum untuk lulus passing grade mampu menjawab TIU sebanyak 16 soal, TWK 15 soal, dan TKP 30 soal dengan nilai perjawaban yang diperoleh sebanyak 5.
Dengan adanya CAT, negara melihat calon PNS ini carong atawa tan dalam memilih jawaban ataupun carong atawa tan dalam menyiasati waktu. Selain itu, negera juga adil dalam menyiasati nilai passing grade. Terdapat pengecualian nilai passing grade bagi formasi khusus yang terdiri atas (a) cumlaude, (b) penyandang disabilitas, (c) putra/putri Papua dan Papua Barat, (d) olahragawan berprestasi internasional; (e) diaspora; dan (f) tenaga guru dan tenaga medis/paramedis dari eks tenaga honorer kategori-II.
Tiga solusi
Menjawab persoalan tersebut, saya menyarankan kepada Panselnas agar menerapkan tiga solusi berikut: Pertama, seluruh soal harap dibagikan kepada publik setelah seluruh rangkaian SKD selesai. Hal ini seperti pelaksanaan ujian nasional. Akan tetapi, sejak proses rekrutmen dilaksanakan satu pintu melalui SSC BKN, saya belum menemukan soal SKD yang dibagikan.
Apabila soal CAT ini dianggap “keramat” dan tidak dibagikan kepada publik, ini merupakan bentuk ketidakadilan dan melanggar prinsip keterbukaan publik. Bukankah Permenpan-RB No.36 Tahun 2018 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018, di dalamnya terdiri atas enam prinsip: (1) kompetitif, (2) adil, (3) objektif, (4) transparan, (5) bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan (6) tidak dipungut biaya.
Lalu bagaimana penjabaran definisi transparan? Apakah transparan di sini hanya sebatas pengertian dari Permenpan RB No.36 Tahun 2018 yang bermakna “transparan, dalam arti proses pelamaran, pendaftaran, pelaksanaan seleksi, pengolahan hasil seleksi, serta pengumuman hasil kelulusan dilaksanakan secara terbuka”?
Transparan dapat dimaknai secara luas. Di sini kita juga meminta transparansi dari Panselnas Rekrutmen CPNS 2018 agar membagikan soal SKD kepada publik. Dengan demikian kita dapat mengevaluasi diri bahwasanya dulu pernah gagal di bagian apa.
Selain itu, dengan adanya hal ini naskah soal dan jawaban tersebut dapat diuji validitas dan reliabilitas. Sungguh aneh jika pemerintah menutup informasi mengenai soal SKD ini. Atau jangan-jangan naskah soal dan jawaban tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu, jika tidak dibagikan kepada publik, tidak tertutup kemungkinan pada saat penginputan naskah soal dan jawaban terjadi human error. Bisa saja jawaban yang benar, tetapi pilihan jawabannya salah.
Kedua, penilaian SKD menjadi 60% dan SKB 40%. Jika merujuk pada Permenpan-RB No.37 Tahun 2018, pengolahan hasil seleksi bobot nilai SKD 40%, sedangkan SKB 60%. Ini sangat rawan terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Materi yang diujikan pada SKB terdiri atas tes potensi akademik dan wawancara. Penyusunan naskah TPA pun diberikan kewenangan kepada instansi terkait, bukan BKN walaupun dibuat dalam sistem CAT.
Begitu juga tes wawancara. Tidak tertutup kemungkinan yang diluluskan pada tes wawancara adalah yang kenal dengan si pewawancara. Akan tetapi, bila peserta tersebut orang “baru”, justru nilainya sedikit. Tes wawancara ini pun sifatnya subjektif. Hal ini disebabkan pewawancara adalah panitia instansi terkait.
Alangkah bagusnya jika pewancara ini sebanyak tiga orang, komposisinya adalah BKN, pihak kepegawaian setempat, dan psikolog. Selain itu, proses wawancara diharapkan “terbuka”, seperti tes SKD. Terbuka maksudnya di sini bisa disaksikan oleh pihak lain dan seluruh proses wawancara diharapkan direkam dan online. Dengan perkataan lain, tidak ada pihak yang dijatuhkan pada saat wawancara. Hal ini tentu sudah diterapkan oleh pihak Kemenkeu pada saat penyeleksian penerima beasiswa LPDP.