Game FPS Makin Diminati
Game bergenre First Person Shooter (FPS), yang membuat penggunanya bisa bermain dengan sudut pandang
* Mengandung Konten Kekerasan dan Sadisme
BANDA ACEH - Game bergenre First Person Shooter (FPS), yang membuat penggunanya bisa bermain dengan sudut pandang orang pertama, kini semakin digemari di Aceh. Para pencintanya yang rata-rata generasi milenial (kelahiran 1980-an dan 2000-an) bahkan rela menghabiskan waktu berjam-jam di kamar, warung internet (warnet), atau warung kopi demi menyelesaikan misi-misi yang ada pada game action tersebut.
Berdasarkan amatan Serambi, sebagian besar game FPS yang paling disukai remaja di Banda Aceh saat ini bertema perang dan gangster. Tak hanya lewat konsol permainan video atau personal komputer yang dihubungkan internet, game seperti itu juga bisa dinikmati para pengguna android. Grafis yang detail dengan jalan cerita yang seru, membuat game FPS begitu ‘dicandui’ anak muda saat ini.
Namun tak dapat dipungkiri, game dengan genre perang seperti itu memuat konten kekerasan, pornografi, bahkan sadisme. Tak jarang, Serambi menemukan bocah-bocah yang masih berseragam sekolah, tengah asyik bermain game jenis itu di beberapa rental game Banda Aceh. Memprihatinkan, anak kecil itu terlihat sangat piawai memainkan perannya dalam game yang jelas-jelas menampilkan premanisme, perjudian, prostitusi, dan tindakan melawan hukum lainnya.
Praktisi IT Banda Aceh, Teuku Farhan yang dimintai tanggapannya terkait fenomena tersebut mengatakan, kecanduan anak muda terhadap game jenis itu saat ini sudah pada level mengkhawatirkan. Dia mengibaratkan kaum milenial yang menghabiskan waktu di warung kopi dan game online seperti ‘zombie’. “Kecanduan anak muda terhadap game FPS sungguh memprihatinkan. Perlu kesadaran bersama dari orang tua dan pemerintah untuk segera menangani adiksi game ini,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Farhan, dirinya menemukan game genre FPS yang menjadikan orang-orang Arab sebagai target musuh. Hal itu, menurutnya, sangat membahayakan bagi masyarakat Aceh yang notabene muslim. Sebab orang-orang Arab yang identik dengan Islam dicitrakan sebagai teroris. “Game kini bukan lagi sekadar hiburan, tapi sudah menjadi ideologi,” katanya lagi.
Menurut Farhan, Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten/Kota harus bertindak segera dengan membuat larangan, layaknya imbauan untuk tidak merayakan tahun baru. Selain itu, pemerintah juga bisa merazia dan menindak warkop, warnet, dan rental game yang membiarkan pengunjungnya bermain game FPS. “Berbeda dengan game bergenre sport, hobby, dan brain training, FPS identik dengan kekerasan, pembunuhan, dan sadistis,” tegas Direktur Eksekutif Masyarakat Informasi Teknologi (MIT) Aceh itu.
Sementara itu, dosen Konseling dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang juga Direksi Psikodista Konsultan, Nur Janah Al-Sharafi Psikolog menyebut, game ibarat dua sisi mata uang. Pada satu sisi, game memiliki sisi positif yaitu melatih skill kognitif seseorang, namun di sisi lainnya ada dampak negatif berupa kecanduan yang menyebabkan masalah sosial. Menurut dia, kenyataan itu menjadi tantangan berat bagi orang tua dan guru dalam mendidik putra putri mereka.
“Kita mesti jernih melihat plus dan minusnya game ini. Game dapat melatih skill kognitif seseorang seperti mengasah konsentrasi, fokus, dan memecahkan masalah. Selain itu juga mengajarkan sportivitas dalam bermain, kreativitas, koordinasi, dan lain-lain,” katanya. Begitu juga bagi pengelola warkop, yang juga mendapat keuntungan dari ramainya pengunjung yang bermain game sambil minum kopi atau makan mi.
Namun di sisi lain, game tertentu juga memiliki dampak negatif berupa kecanduan, fobiasosial, malas, dan sulit berekspresi. “Bahkan pada beberapa kasus sempat terjadi depresi, halusinasi, serta perilaku menyimpang lainnya seperti mencuri, pelecehan seksual, kekerasan, dan lain-lain,” sebutnya.
Menurut Nur Janah, konten kekerasan dan pornografi dalam sebuah game masuk ke otak individu, khususnya di bagian otak depan. Otak ini lah yang mengatur sifat-sifat mulia pada manusia. Melalui proses yang melibatkan hormon, individu bisa melakukan hal sesuai yang ia tonton. “Jika pada anak, unsur imitasi atau keinginan meniru lebih besar. Sedangkan pada remaja dan dewasa, rasa penasaran justru lebih dominan,” jelas dia.
Saat ditanya apakah game yang berkonten kekerasan dapat mengubah perilaku seseorang menjadi agresif, Nur Janah menyebut prosesnya tidak sesederhana itu. Beberapa riset menunjukkan adanya efek yang spontan dan bersifat jangka pendek. “Kekerasan dan sadisme pada manusia merupakan akumulasi banyak hal seperti pola asuh orang tua, kebiasaan, pengalaman traumatis, pengaruh teman sebaya, konsumsi buku, lagu, serta kisah dendam dan kebencian yang diwariskan,” kata dia.
Selain itu, berdasarkan beberapa literatur yang ia baca, bermain game pada pelaku kekerasan bisa diposisikan sebagai masa ‘rehearsal’ atau masa latihan. Sehingga jika ‘lulus’ pada masa tersebut, mereka jadi lebih siap sebagai pelaku kekerasan. Menurutnya, ketergantungan terhadap game itu bisa disembuhkan melalui terapi khusus. “Bisa disembuhkan dengan cognitive behavior therapy, hypnotherapy, pendampingan, serta pemberian aktivitas positif bagi individu tersebut,” pungkasnya.
Tokoh Perempuan Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, game kekerasaan mampu mengubah kepribadian para pemainnya. Bahkan, ia pernah pernah menemukan orang yang sudah ketagihan game seperti lupa diri.
Hal itu disampaikan Illiza yang juga mantan wali kota Banda Aceh dalam talkshow di Serambi 90,2 FM, Senin (18/3). Talkshow itu membahas salam Serambi Indonesia yang mengangkat tema “Hukum Matilah Teroris Dua Masjid” yang juga menghadirkan Redaktur Pelaksana Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika sebagai narasumber internal.