Opini

Kepentingan Aceh dan ‘The Winning President’

SECARA kuantitatif, jumlah elektoral Aceh sebenarnya hampir tak berarti dalam lautan elektoral nasional

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Kepentingan Aceh dan ‘The Winning President’
IST
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, M.A., Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala

Oleh Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, M.A., Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.

SECARA kuantitatif, jumlah elektoral Aceh sebenarnya hampir tak berarti dalam lautan elektoral nasional, pada setiap pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Namun, tak berarti tidaklah sebangun dengan tidak bermakna. Tidak mengherankan ketika Presiden Joko Widodo melalui seorang menterinya mengatakan ia akan “sedih” kalau di Aceh ia tidak menang, sekalipun secara nasional ia menang. Demikian juga dengan Prabowo Subianto, sekalipun 3,5 juta pemilih di Aceh sama dengan jumlah pemilih kabupaten Bogor, ia telah menggarap Aceh selama 10 tahun terakhir dengan sangat seksama dan berkelanjutan, utamanya dengan Partai Aceh.

Aceh adalah sebuah kawasan dengan ciri elektoral yang sangat unik, untuk tidak disebut aneh, karena sering berseberangan dengan arus besar elektoral nasional. Dalam catatan sejarah, pemilihan umum (Pemilu) pertama pada 1955, partai dengan ideologi agama, Masyumi menang di Aceh, sementara secara nasional dimenangkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Selanjutnya dalam sejarah pemilihan Orde Baru, hampir setiap pemilu, ketika Golongan Karya (Golkar) secara nasional menang, Aceh tetap saja memenangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hanya ada satu kemenangan Golkar pada 1992, yang sangat diingat, yaitu ketika Aceh dipimpin oleh Gubernur Ibrahim Hasan. Pemilu 1992 dan 1997 Golkar tetap menang. Pada Pemilu 1999 ketika PDIP menang nasional, Golkar tetap saja menang di Aceh.

Perilaku elektoral Aceh kembali mengulangi kebiasaan lama ketika terjadi pemilihan langsung presiden. Pada 2004, ketika arus besar elektoral nasional memilih SBY-JK, masyarakat Aceh justru memilih Amin Rais-Siswono. Hal yang sama terjadi pada Pilpres 2014, ketika Jokowi-JK menang, pemilih Aceh justru memilih Prabowo-Hatta. Hanya pada Pilpres 2009 Aceh ikut arus nasional untuk SBY-Boediono.

Observasi sederhana jelas terlihat, pemilih Aceh sampai hari ini masih menempatkan bobot agama sebagai komponen penting, dengan beberapa pengecualian tertentu. Jika pada pemilu pertama (1955), persoalan ideologis agama menjadi isu sentral dalam pemilu, memang pada masa itu persaingan ideologis menjadi sangat penting -Islam, nasionalis, dan komunis. Akan tetapi pada masa Orde Baru, ketika PPP dan PDI adalah bagian “nyata” dari rezim, masyarakat Aceh masih saja terperangkap dalam “obsesi” formalisasi politik Islam melalui partai Islam, yang menyebabkan Golkar sulit menang di Aceh.

Realisme pragmatis Ibrahim Hasan
Perubahan besar perilaku elektoral Aceh terjadi ketika Gubernur Aceh pada masa Ibrahim Hasan memperkenalkan istilah “membaca tanda-tanda zaman”, yang sesungguhnya tidak lain dari sebuah anjuran realisme pragmatis untuk masyarakat Aceh dalam melihat kenyataan dan mengedepankan azas manfaat. Ibrahim Hasan melihat dengan nyata betapa sejumlah provinsi di luar Aceh yang mempunyai basis keislaman yang kuat dan pernah memberontak melawan pemerintah pusat, kemudian berbalik arah mendukung pemerintah Orde Baru dengan memenangkan Golkar secara sungguh sungguh.

Akibatnya, terjadi lompatan pembangunan yang tidak hanya besar, tetapi juga luar biasa di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. Observasi Ibrahim Hasan menjadi lebih valid ketika ia menyaksikan kemenangan Golkar di provinsi-provinsi itu tidak melunturkan nilai-nilai tradisional dan kehidupan keagaamaan. Bahkan justru semakin memperkuat praktik nilai-nilai lokal dan keagamaan yang berkontribusi pada keragaman kehidupan kebangsaan. Keputusan elite dan masyarakat di ketiga provinsi itu menjatuhkan pilihan mereka untuk kemenangan Golkar, justeru membuat provinsi mereka berada pada lini terdepan pembangunan nasional.

Kemampuan manajemen politik dan gaya persuasif Ibrahim Hasan berhasil merubah landskap politik Aceh, Golkar menang pada 1987, dan Aceh menikmati kucuran anggaran terbesar pembangunan sepanjang sejarah, bahkan melebihi jumlah anggaran yang diberikan untuk propinsi terbesar di Indonesia pada saat itu. Pendekatan realisme-prgamatis Ibrahim Hasan dibuktikan dengan membangun Aceh secara besar besaran berupa sejumlah pekerjaan fundamental dan monumental yang masih menjadi andalan daerah sampai dengan hari ini.

Elektoral Aceh secara resmi meninggalkan formalisasi politik Islam, ketika partai-partai politik yang berbasis Islam tidak mendapatkan kemenangan yang berarti pada 1999 dan pemilu-pemilu berikutnya. Perilaku itu berubah lagi ketika Amien Rais yang dianggap sebagai sosok representasi Islam modernis dipilih oleh masyarakat Aceh, sementara di tingkat nasional Amien Rais justeru tidak mendapatkan angka yang berarti.

Ada dua penafsiran mengenai pilihan masyarakat Aceh terhadap Amien Rais pada 2004, ia sebagai simbol anti establishment --rezim Orde Baru-- maupun representasi ideologis Islam, ataupun gabungan keduanya. Yang jelas, masyarakat Aceh pada saat itu memilih presiden yang tidak mendapatkan dukungan pemilih nasional. Gabungan purnawirawan ABRI dengan sosok SBY dan JK sebagai representasi Golkar di Aceh, dikalahkan dengan argumentasi ideologis keislaman yang kental melalui Amien Rais.

Kemenangan fenomenal
Masyarakat Aceh baru memilih presiden terpilih, the winning president pada Pilpres 2009, setelah SBY membuktikan kemampunnya menavigasi dua perkara besar di Aceh, perdamaian dan tsunami. Kemenangan itu tidak hanya berarti, tetapi juga fenomenal. SBY mendapatkan kemenangan dengan dua modal besar itu. SBY bahkan mampu membuat partai besutannya sebagai partai baru pemenang jumlah kursi DPR RI terbesar di Aceh pada Pemilu 2009. Rakyat Aceh, saat itu juga “tega” meninggalkan JK dengan hanya memberi 9 persen, padahal ia adalah tokoh utama yang memungkinkan perdamaian Aceh terjadi.

Ketika Pilpres 2014 berlangsung, elektoral Aceh menjadi bingung, karena keduanya --Prabowo Subianto dan Joko Widodo-- adalah murni representasi nasionalis yang kuat sekaligus tidak memiliki bobot ideologis keislaman yang berarti. Kehebatan kubu Prabowo Subianto cukup jelas ketika ia mampu merangkul Partai Aceh, sehingga membuat publik bingung, dan sebagiannya melupakan catatan kelabu Prabowo sebagai sosok penting operasi militer yang mempunyai sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.

Kebingungan publik pada saat itu menjadi lebih sempurna karena perseteruan elite eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tentang calon presiden yang didukung, uatamanya ketika Gubernur Zaini Abdullah menyatakan secara publik mendukung Joko Widodo. Kebingungan publik dan perseteruan politik elite GAM pada akhirnya terbukti pada hari pemilihan. Prabowo Subianto menang tipis pada angka 51 persen plus.

Gendang besar politik Pilpres kali ini telah terseret dalam kekusutan isu program, nasonalisme, dan politik identitas. Di Aceh, seperti juga di sejumlah daerah lainnya, bobot ideologis agama kali ini kembali menggema dengan luar biasa. Ruang publik kini mulai penuh dengan isu fabrikasi agama, seakan kiamat agama Islam akan terjadi, dan sebaliknya juga akan ada rezim khilafah seandainya yang satu lagi berkuasa.

Sebagian publik lupa, siapa pun yang akan terpilih, segera setelah presiden dilantik, negeri ini akan kembali berjalan normal tanpa harus menjadi rezim khilafah atau menjadi rezim yang anti agama. Sangat sering, pekerjaan politik pertama setelah pemilu ataupun pemilihan presiden negara demokratis adalah meninggalkan “limbah” janji kampanye yang berlebihan, terutama isu-isu yang sensitif dengan konstitusi dan akal sehat kehidupan kebangsaan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved