Mahasiswa Unsyiah Meneliti Persepsi Masyarakat Soal Konflik Aceh, Begini Hasilnya
Penelitian yang dilakukan melalui wawancara dan diskusi kelompok terarah (FGD) itu berlangsung sejak April sampai Juni 2019.
Penulis: Eddy Fitriadi | Editor: Yusmadi
Laporan Eddy Fitriady | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Sejumlah mahasiswa Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Unsyiah yang tergabung dalam Tim Program Kreativitas Mahasiswa-Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH), meneliti tentang persepsi masyarakat terhadap proses pengungkapan kebenaran konflik Aceh (Perspektif Psikologi).
Penelitian yang dilakukan melalui wawancara dan diskusi kelompok terarah (FGD) itu berlangsung sejak April sampai Juni 2019.
Tim tersebut diketuai Nailur Rahmah, dan beranggotakan Mutiara Ramadhan dan Fitri Auliani. Penelitian tersebut didampingi dosen Unsyiah, Haiyun Nisa SPsi MPsi Psikolog, yang mengangkat isu proses pengungkapan kebenaran yang saat ini begitu banyak menuai persepsi dari kalangan masyarakat.
Penelitian berawal dari ketertarikan mahasiswa terhadap ‘Rapat Dengar Kesaksian Korban Konflik Aceh’, yang diselenggarakan di Anjong Mon Mata Banda Aceh pada tahun 2018.
Baca: Muhammad Nazar, Ingatkan Konflik Aceh tak Pernah Sepi dari Susupan Lawan
Baca: AHY Tulis Tesis Tentang Resolusi Konflik Aceh
Baca: SBY: Berdosa Kita Kalau Usai Konflik Aceh tak Sejahtera
Hal itu diungkapkan Ketua Tim PKM-PSH Unsyiah, Nailur Rahmah kepada Serambinews.com, Sabtu (15/6/2019). Hasil dari penelitian itu, katanya, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki persepsi yang beragam terkait dengan proses pengungkapan kebenaran konflik Aceh.
Menurut para penyintas konflik dan masyarakat umum, proses pengungkapan kebenaran ialah langkah tepat untuk membantu penyintas konflik, mengekspresikan perasaan mereka tentang yang dialaminya masa lalu.
“Proses pengungkapan kebenaran juga dapat membantu penyintas melakukan katarsis sosial, untuk mencapai pemulihan psikologis bagi para penyintas konflik,” kata Nailur Rahmah.
Di samping itu, lanjutnya, proses pengungkapan kebenaran juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis para penyintas menjadi lebih buruk, sehingga diperlukan intervensi psikologis untuk pemulihan psikososial.
Adapun responden dalam penelitian itu terdiri atas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Di samping itu ada responden Saifuddin Bantasyam dari pihak akademisi, Iskandar Usman Al-farlaky dari DPRA sebagai pihak pengambil kebijakan, serta Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
Penelitian itu juga diperkuat dengan FGD di Aceh Besar dan Pidie terkait pemahaman tentang konflik. (*)