Polem Brahim

"Bertahanlah Ayah!" Aku berdiri di hadapan tubuh yang terbaring setengah kaku. Sesekali ia menatap dengan pandangan sayu

Editor: bakri

***

Aku berlari terengah-engah. Dadaku kembang kempis.  “Dia tidak bisa juga Cek!” Aku memegang kedua lututku menopang tubuh. Wajahku pucat karena sedih dan letih. “Apa? Tidak bisa juga?” Pak Cek, adik ayahku, seakan tak percaya. “Coba kau tanya sama Pak Marwan. Dia sudah mengambil S2. Sepertinya untuk sekadar memandikan mayat, ia bisa.”

Akhir-akhir ini, mencari orang yang bisa memandikan mayat cukup susah. Sosok itu semakin langka, apalagi di kampungku. Semenjak Teungku Rasyid dan Teungku Ilyas meninggal, tidak ada lagi yang bisa meneruskan prosesi sakral itu. Aku mendesah.

“Baiklah!”

Aku berlari lagi menyusuri lorong-lorong rumah warga yang berimpitan menuju rumah Pak Marwan.

“Maafkan aku Dek Gam, bukan aku tak mau. Tapi aku tak bisa, tak ngerti” Aku menghela nafas putus asa. Dalam hati berkecamuk luka, amarah, dan penyesalan. “Kenapa dulu tak kau pelajari caranya. Kenapa kau tak peduli ketika teungku mengajarimu!” Aku protes pada diri sendiri.

Kubayangkan mayat ayah yang kian tersiksa. Sejak pukul 01.35 dini hari hingga siang ini, mayatnya belum dikubur juga. Aku teringat pesan teungku dulu; mayat tak boleh lama dibiarkan. Ureung deuk peureulee keu bu, ureung meuninggai peureulee keu kubu. Petuah itu terngiang-ngiang. Tapi apa daya, tak ada yang bisa memandikannya.

“Coba kau pergi ke kampung sebelah, Dek Gam!” Pak Marwan akhirnya angkat bicara. “Di sana ada seorang yang paham agama dan biasa memandikan mayat. Namanya Tu.”

Tanpa berpikir lama aku pulang mengambil sepeda di rumah. Aku mengayuhnya sekuat mungkin. Sesampai di sana, kutanyakan pada seorang bocah kecil berdiri setengah telanjang di pinggir jalan. Dia menunjukkan sebuah rumoh Aceh  yang sudah reot.

“Assalamualaikum”

“Waalaikum salam”

Tak berapa lama pintu berdecit. Lelaki tua keluar. Ia tersenyum ramah.     

“Ada apa Neuk, ada yang bisa saya bantu?”

Tiba-tiba aliran darahku serasa beku. Ada sesuatu bergolak kencang dalam hati dan pikiran. Seolah ada gempa, ada tsunami yang merobohkan tembok prasangkaku hingga berkeping-keping. Tangan kanannya memegang butiran tasbih. Aku baru sadar, Tu adalah panggilan lain untuk Polem Ibrahim yang selama ini kuanggap tukang sihir. Itu hanya gosip manusia awam yang tak paham. Ia seorang yang taat, seorang yang terkucilkan zaman. Oh, betapa banyak orang yang tak bisa membedakan mana bejat mana mulia. Maafkan aku Tu Brahim.

Aku menceritakan perkara yang menimpa. Menit itu juga ia langsung menuju rumahku. Ia memandikan ayah dengan telaten. Tidak hanya itu, ia menyalati, menguburkan, dan membacakan doa.

Kini hari-hari perih itu telah berlalu. Namun, ada sesuatu dalam hati kecil yang sesekali menohok. Aku merasakan sepotong kekhawatiran. Aku gelisah.  “Jika Tu Brahim lebih dulu meninggal, siapa lagi yang akan memandikanku nanti?”

* Penulis adalah Mahasiswa TEN IAIN Ar-Raniry, bergiat di Forum Alumni Muharram Journalism College (FAMJC) dan Komunitas Menulis Jeunurob (KMJ)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved