KAI

Seputar Shalat Tarawih

Saya ingin bertanya tentang shalat tarawih: Apakah lebih afdhal bila dilakukan sendirian di rumah atau berjamaah di mesjid

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Seputar Shalat Tarawih
Muslim Ibrahim
Diasuh oleh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA.

Pertanyaan:
Ustadz Pengasuh KAI yth.
Assalamualaikum wr. wb.

Saya ingin bertanya tentang shalat tarawih: Apakah lebih afdhal bila dilakukan sendirian di rumah atau berjamaah di mesjid?; Apakah lebih baik dikerjakan langsung sehabis shalat Isya atau ditunggu dulu hingga ke akhir malam? dan; Apakah lebih baik bagi perempuan untuk shalat di rumah atau di masjid; dan kalau di masjid apakah lebih baik ikut shaf bersama laki-laki ataupun mendirikan jamaah sendiri (gender)?

Demikian, dan atas kesediaannya memberikan jawaban dibarengi dengan dalil yang mantap kami ucapkan banyak terima kasih.

Kelompok Pengajian Mahasiswa Lhokseumawe.

Jawaban:

Waalaikumus salam, wr. wb.

Tidak dapat pengasuh sembunyi lagi kegembiraan pengasuh karena pertanyaannya cukup menarik. Lebih-lebih lagi karena berasal dari sesebuah kelompok pengajian. Ini menunjukkan bahwa para remaja kita mulai semangat dalam mendalami syariat Islam. Karena itu, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pengasuh mengemukakan sejumlah dalil hadis bersama perawinya, agar para pembaca terutama kelompok pengajian yang bertanya dapat menelaah sendiri dan membahasnya di dalam pengajian.

Menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan berbagai macam ibadah adalah perkara yang sangat dianjurkan. Di antaranya adalah shalat Tarawih. Rasulullah saw pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para sahabat di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid.

Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat Tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun. Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah saw selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadhan tanpa mewajibkannya. Beliau saw bersabda: “Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat.” (HR Bukhari, Muslim, Malik, Abu Daud dan Ahmad).

Juga ‘Amr bin Murrah Al-Juhani: “Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah saw, kemudian berkata: ‘Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?’ Maka jawab Rasulullah saw: ‘Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Kedua hadis di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat Tarawih berjamaah yang ditetapkan Rasulullah ada yang melalui perkataan, perbuatan dan keterangan tentang fadhilatnya.

Penetapan beliau melalui perkataan sebagaimana yang terlihat dalam riwayat Tsa‘labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata: Rasulullah saw pada suatu malam di bulan Ramadhan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: “Apa yang mereka lakukan?” Seseorang menjawab: “Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Alquran, Ubay bin Ka’b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat”. Maka beliau bersabda: “Mereka telah berbuat baik,” atau “Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka.” (HR. Al-Baihaqi dan Abu Daud)

Sedangkan penetapannya dengan perbuatan, disebutkan dalam beberapa hadis, yaitu: Dari Nu‘man bin Basyir ra, ia berkata: “Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah saw pada malam ke 23 di bulan Ramadhan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, An-Nasai dan Ahmad).

Rasulullah saw juga menjelaskan tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah, sebagaimana hadis Abu Dzar ra, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadhan), Rasulullah saw tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadhan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini.” Beliau menjawab: “Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam.” Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah (sahur). (HR Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Ucapan beliau saw “Barang siapa shalat bersama imam...” jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat Tarawih di bulan Ramadhan bersama imam. Nabi saw juga pernah bersabda: “Sesungguhnya seseorang yang shalat (Tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya.” Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: “Seseorang berkata kepada Ahmad: “Saya mendengar shalat Tarawih diakhirkan sampai akhir malam?” Beliau menjawab: “Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai.” Maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan bersegera (di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan sampai akhir malam.

Mengenai perempuan shalat tarawih di mushalla atau mesjid-mesjid memang disyariatkan untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan syarat harus aman dari fitnah. Dalil-dalil tentang kebolehan ini, antara lain Abu Dzar ra berkata: “Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya.” Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki. Umar ra tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka’ab dan bagi wanita Sulaiman bin Abi Khatsmah. Juga hadis `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: “Ali bin Abi Thalib ra selalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadhan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam perempuan.”

Kedua hadis di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi. Keduanya menunjukkan kepada tidak ada halangan bila dibentuk dua jamaah shalat tarwih, yaitu jamaah lelaki dan jamaah perempuan bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu. Hukumnya adalah boleh (mubah). Demikian, Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved